- 1Tiga Jenis atau Gegelaran Sulinggih (Tri Sadhaka)
- 1.11. Pandita Siwa
- 1.22. Pandita Budha
- 1.33. Pandita Bhujangga Waisnawa
- 2Perangkat Pemujaan Pandita Bali
- 2.1A. Fungsi dan Makna Perangkat Siwa Paksa (Siwopakarana)
- 2.1..1A.1. Fungsi Dulang atau Nare
- 2.1..2A.2. Fungsi dan Makna Tripada
- 2.1..1A.3. Fungsi dan Makna Siwambha
- 2.1..2A.4. Makna dan Fungsi Penuntun Surya
- 2.1..3A.5. Fungsi dan Makna Pawijan
- 2.1..1A.6. Makna dan Fungsi Gandhaksata
- 2.1..2A.7. Fungsi dan Makna Sirowista
- 2.1..1A.8. Fungsi dan Makna Saet Mingmang
- 2.1..2A.9. Fungsi dan Makna Dhupa
- 2.1..1A.10. Fungsi dan Makna Dhipa
- 2.1..2A.11. Fungsi dan Makna Genta
- 2.1..1A.12. Fungsi dan Makna Kalpika
- 2.1..2A.13. Fungsi dan Makna Sesirat
- 2.1..3A.14. Fungsi dan Makna Sirat Lingga
- 2.1..4A.15. Fungsi dan Makna Penastan
- 2.1..1A.16. Fungsi dan Makna Canting
- 2.1..2A.17. Fungsi dan Makna Saab
- 2.1..3A.18. Fungsi dan Makna Lungka-lungka / Patarana
- 2.1B. Fungsi dan Makna Perangkat Budha Paksa (Budha Pakarana)
- 2.1..1B.1. Fungsi dan Makna Rarapan
- 2.1..2B.2. Fungsi dan Makna Pamandyangan
- 2.1..3B.3. Fungsi dan Makna Santi
- 2.1..1B.4. Fungsi dan Makna Ghanta/Genta
- 2.1..2B.5. Fungsi dan Makna Wanci Kembang Ura
- 2.1..3B.6. Fungsi dan Makna Wanci Wija
- 2.1..1B.7. Fungsi dan Makna Wanci Ghanda
- 2.1..2B.8. Fungsi dan Makna Wanci Samsam
- 2.1..3B.9. Fungsi dan Makna Bhajra
- 2.1..4B.10. Fungsi dan Makna Dhupa dan Dhipa
- 2.1..1B.11. Fungsi dan Makna Wanci Genitri
- 2.1..2B.12. Fungsi dan Makna Kereb
- 2.1..3B.13. Fungsi dan Makna Penastan, Canting dan Lungka-lungka / Patarana
- 2.1C. Fungsi dan Makna Perangkat Waisnawa Paksa
- 2.1..1C.1. Fungsi dan Makna Genta Padma
- 2.1..2C.2. Fungsi dan Makna Genta Uter
- 2.1..3C.3. Fungsi dan Makna Genta Orag
- 2.1..4C.4. Fungsi dan Makna Sungu/Sangka
- 2.1..1C.5. Fungsi dan Makna Ketipluk/Damaru
- 2.1..2C.6. Fungsi dan Makna Siwambha dan Tripada
- 2.1..3C7. Fungsi dan Makna Pengili Atma
- 2.1..4C8. Fungsi dan Makna Genah Gandhaksata
- 2.1..5C9. Fungsi dan Makna Karawista/Sirowista, Kalpika, Dhupa, Dhipa, Sirat Lingga, Canting, Dulang, Saab dan Lungka-lungka/Patarana
A.16. Fungsi dan Makna Canting
Fungsi canting adalah untuk mengambil air suci (tirtha) yang digunakan selama proses pemujaan. Selanjutnya, dipakai memercikkan dan menuangkan air suci (tirtha) kepada yang memohon (nunas). Biasanya atau upacara lainnya banyak umat yang memohon air suci (tirtha) secara langsung kepada Sang Pandita.
Pada saat beliau menuangkan air suci (tirtha) digunakan canting. Penuangan air suci (tirtha) dengan menggunakan canting bermakna bahwa air suci (tirtha) yang akan dipercikkan atau dituangkan kepada pemohon (nunas tirtha) tidak boleh menggunakan alat yang tidak suci (bersih).
Dengan bentuk dan fungsi yang bagus, canting tampak memberikan nilai kesakralan dan kesucian yang tinggi, sebagai tempat air suci (tirtha) yang akan dipercikkan kepada umat. Oleh karena itu, menjadi satu rangkaian perlengkapan dari perangkat pemujaan, semua yang digunakan memiliki kesucian, baik sekala maupun niskala.
Canting adalah salah satu di antaranya karena selalu menyertai di mana pun Sang Pandita akan mepuja.
A.17. Fungsi dan Makna Saab
Fungsi saab atau disebut juga tudung atau kereb, secara fisik adalah sebagai pelindung keseluruhan perangkat pemujaan Siwopakarana. Pada saat Sang pandita Siwa akan berangkat menuju ke sebuah tempat upacara, perangkat pemujaan yang sudah disusun pada tiap-tiap dulang ditutup dengan saab / tudung / kereb. Saab /tudung / kereb digunakan sebagai penutup perangkat pemujaan Siwopakarana memiliki makna bahwa perangkat pemujaan yang memiliki nilai-nilai kesucian, juga harus ditutup atau dilindungi menggunakan alat penutup yang juga memiliki nilai kesucian.
Secara umum bentuk saab sebagai penutup, biasanya juga dipakai untuk menutup atau melindungi benda-benda suci lainnya. Sudah dipahami secara umum bahwa saab memiliki makna suci untuk penutup atau sebagai pelindung hal-hal yang bersifat suci.
A.18. Fungsi dan Makna Lungka-lungka / Patarana
Lungka-lungka atau disebut juga patarana merupakan salah satu perangkat yang penting yang digunakan oleh seorang pandita pada saat mepuja atau muput upacara. Lungka-lungka atau patarana adalah alas duduk yang digunakan seorang pandita, baik dari golongan Siwa, Budha, maupun Bhujangga Waisnawa pada saat memimpin dan berlangsungnya sebuah upacara.
Fungsi utamanya adalah sebagai dasar atau alas duduk agar selama Sang Pandita mepuja mendapatkan kondisi yang cukup nyaman. Hal ini sangat lazim melihat waktu atau durasi yang dibutuhkan seorang Ppndita pada saat mepuja muput upacara bisa berjam-jam, minimal waktu yang dibutuhkan 2,5 jam. Oleh karena itu, lungka-lungka atau patarana memiliki fungsi penting bagi seorang pandita.
Lungka-lungka atau patarana dengan bahan dari kapuk yang memiliki kelembutan yng cukup bagus, sangat bagus dipakai sebagai dasar atau alas duduk sehingga Sang Pandita dapat bertahan dengan posisi duduk selama mepuja. Saat sekarang ini lungka-lungka atau patarana sudah banyak dibuat dengan bahan lembut lainnya, seperti spon, Dacron, dan lain-lainnya, artinya tidak harus berbahan kapuk.
Berdasarkan bentuk dan fungsi lungka-lungka atau patarana, diketahui memiliki makna yang sarat dengan nilai tinggi. Seorang Pandita Siwa adalah perwujudan Siwa sekala pada saat mepuja memimpin sebuah upacara. Siwa, sebagai Dewa Pasupati penguasa jagat raya dan kekuatan-kekuatan alam di semesta ini, disimbolkan dengan sikap Siwa yogiswara. Siwa yogiswara adalah sikap seorang yogi yang sedang beryoga, bersemadi untuk mendapatkan kemurnian dan penyatuan dengan sang Penguasa.
Dalam perkembangan agama Hindu diawali di Lembah Sungai Sindhu terdapat peradaban orang-orang Dravida sangat tinggi. Salah satu yang menjadi temuan adanya bukti sejarah berupa seal (meterai) berbahan tanah liat dengan gambaran seorang yogi sedang beryoga. Para ahli sejarah meyakini bahwa sikap yogi yang sedang beryoga dan atribut yang dikenakan tersebut adalah ciri-ciri atribut Siwa. Salah satu di antaranya adalah adanya alas duduk berbentuk segi empat, yang dikenal oleh masyarakat Hindu Nusantara dan Hindu Bali sebagai lungka-lungka atau patarana. Jadi, lungka-lungka atau patarana tidak hanya sekadar alas duduk, tetapi juga bermakna sebagai alas sikap Siwa yogiswara. Sikap Siwa yogiswara ini dapat dilihat pada sikap saat Sang Pandita sedang mepuja (muput upacara), adalah sikap beryoga atau yogiswara.