Konsep Kepercayaan Agama Hindu Bali


Konsep Desa Kala Patra

Konsep Desa Kala Patra ini merupakan konsepsi utama bagi kebudayaan Bali. Konsep ini pula yang menyebabkan bentuk luar agama Hindu yang dalam pelaksanan kegiatan agama tidaklah sama di setiap daerah. Meskipun ajarannya tetap sama, tetapi cara pengamalan dalam budaya pendukungnya selalu berubah dan berbeda antara satu desa dengan desa yang lainnya, sesuai dengan desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan). Konsep ini merupakan kesadaran untuk sama (dalam ajaran), tetapi berbeda (dalam cara pengamalan), yang kemudian dikenal dengan istilah bhinneka tunggal ika.

Di mana pun masyarakat Bali berada, mereka tidak harus menerapkan seperti adat daerahnya, namun mereka dapat menyesuaikan dengan kebiasaan adat di mana mereka berada. Seperti adat di Kota Karangasem dalam melaksanakan upacara maupun upakara yadnya maupun kegiatann upacara lainnya, sangat berbeda dengan adat yang dianut oleh masyarakat Denpasar misalnya. Demikian pula antar daerah-daerah atau kabupaten di Bali mempunyai adat kebiasaan yang berbeda dalam melakukan upacara maupun upacara keagamaan.

Konsep Karmaphala

Konsep Karmaphala, merupakan hukum sebab akibat. Dengan kesadaran akan”waktu”, masyarakat Bali dibimbing untuk berpikir lurus, karena apa yang mereka  alami  sekarang,  sesungguhnya  tidak  terlepas  dari  apa  yang   diperbuat sebelumnya, sedang apa yang mereka akan alami kelak sangat tergantung dari apa yang mereka kerjakan sekarang.

Menurut catatan keterangan yang diperoleh dari informan tentang karma pahala dinyatakan bahwa seseorang yang berbuat baik pasti baik akan diterimanya, demikian juga sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Tetapi dalam kehidupan di alam ini terkadang ada seseorang yang selalu berbuat baik, namun ia tetap hidupnya tetap serba kekurangan alias menderita dan sebaliknya ada seseorang yang selalu berlaku curang atau jahat, tetapi nampak hidupnya malah bahagia dan sangat berlebihan. Berkaitan dengan itu sebetulnya karmaphala itu jenisnya ada tiga macam, yaitu

  1. Karmaphala Sancita adalah phala dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang akan datang,
  2. Karmaphala Prarabda adalah phala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya, dan
  3. Karmaphala Kriyamana adalah pahala yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.

Jadi adanya orang menderita dalam hidup ini walaupun ia selalu berbuat baik, karena disebabkan oleh sancita karma (karma terdahulu) yang buruk yang mau tidak mau ia harus merasakan buahnya sekarang karena kelahirannya terdahulu belum habis dinikmatinya. Sebaliknya orang yang berbuat curang atau berbuat jahat dalam kesehariannya, nampaknya dalam kehidupan sekarang bahagia, karena sancita karmanya yang terdahulu baik, tetapi nantinya akan menerima pula hasil perbuatannya sekarang yang tidak baik itu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum alam.

Hukum karmaphala itu tidak menyebabkan putus asa dan menyerah pada nasib tetapi positif dan dinamis, serta hal ini harus disadari. Kita harus sadar bahwa penderitaan kita di saat ini adalah akibat dari perbuatan masa lampau. Perlu disadari bahwa suatu saat penderitaan itu pasti akan berakhir dan diganti dengan kebahagiaan, asal kita berbuat baik selalu walaupun pada saat kita menderita. Perbuatan kita yang baik sekarang ini akan mengakibatkan kebahagiaan nanti. Dengan kesadaran ini masyarakat Bali tidak perlu sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong ketika mengalami kebahagiaan.

Itu semua adalah hasil perbuatan kita sendiri. Walaupun hukum karmaphala itu seolah-olah berdiri sendiri di dalam lingkaran sebab-akibat, tetapi hal itu tidak terlepas kekuatan Hyang Widhi. Perbuatan itu akan menentukan pahalanya, tetapi mengenai macamnya buah dan waktu memetiknya itu tergantung kepada keadilan Hyang Widhi. Jadi kelahiran kita ke dunia walaupun dalam penderitaan, ini tetap merupakan suatu keuntungan, karena kita atau manusia masih mendapatkan kesempatan untuk berbuat baik, meningkatkan kebenaran jiwa kita untuk menentukan hidup yang akan datang, demikian yang dikatakan oleh informan Bpk.Made Sudira.

Konsepsi Karmaphala menyebabkan pula masyarakat Hindu di Bali memandang keluarga secara lebih luas. Keluarga (meskipun yang inti), dalam pandangan mereka tidak saja terdiri dari bapak, ibu, serta anak-anak, tetapi juga mereka yang telah meninggal (leluhur) dan yang hidup akan datang (numadi). Kepercayaan ini yang kemudian disertai dengan sistem penghormatan kepada leluhur, seperti telah dikemukakan, bahwa kepercayaan ini sudah berkembang di daerah Bali sebelum masuknya agama Hindu. Karena itu tidak mengherankan kalau hubungan antara anak dengan orang tua di Bali, sangat erat. Juga adanya hubungan

kekerabatan. Sistem penghormatan kepada leluhur dalam bentuk bangunan Merajan, Dadia, Pedarman, dan Kawitan lebih mempererat hubungan kekerabatan, khususnya di antara mereka yang satu warga (satu ikatan keturunan).

Demikian orang Bali pada umumnya percaya akan hukum karmaphala, setiap perbuatan akan mendatangkan akibat, baik berupa hadiah atau hukuman. Karmaphala dipahami sebagai buah perbuatan, kadang-kadang dihubungkan dengan keinginan leluhur atau buah perbuatan sendiri di waktu lampau, sewaktu eksistensi kehidupan dahulu. Hukum karmaphala begitu melekat sebagai hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat. Kekuasaan manusia terhadap hukum karma sangat terbatas, hanya dapat diperbaiki dalam eksitensi berikutnya.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga