Makna Filosofi dan Konsep dari Suara Gamelan Bali


Estetik Filsafat Musik Tradisional Bali

Estetika filsafat musik tradisional Bali tercermin dari pandangan hidup dan perlakuan orang Bali terhadap seni musik. Apakah musik hanya sekedar hiburan dan kemewahan, atau musik memiliki fungsi-fungsi untuk mencapai suatu tujuan tertentu, misalnya mencari perlindungan, atau secara magis diharapkan dapat mempengaruhi suatu keadaan. 

Estetika Ilmiawi

Secara ilmiawi keindahan musik Bali tradisional tercermin dari konsep keseimbangan dalam berbagai dimensi seperti dua, tiga, empat, lima, enam, dan tujuh. Keseimbangan yang berdimensi dua, yaitu adanya dua kekuatan oposisi yang mesti dipadukan untuk memenuhi unsur keindahan, seperti misalnya konsep lanang-wadon, polos-sang-sih, pengumbang-pengisep, pesu-mulih, dan mebasang-metundun.

Dalam ilmu estetika hal demikian dikenal dengan asimetric balance yaitu keseimbangan yang tidak simetris, namun hasil perpaduan keduanya adalah sebuah keindahan.

Keseimbangan berdimensi dua merupakan ciri khas gamelan Bali karena memiliki makna kebersamaan dan saling membutuhkan. Secara musikal hal ini juga berkaitan dengan kualitas suara musik. Dalam musik Bali dikenal adanya pengumbang dan pengisep, dua hal yang berbeda namun jika dimainkan secara bersamaan akan melahirkan suara pelayangan dan hal ini adalah suara khas gamelan Bali.
Keseimbangan berdimensi tiga dalam musik Bali dapat diamati dari struktur musik Bali yang umumnya terdiri dari tiga bagian utama yaitu kawitan, pengawak, pengecet. Konsep ini bukan hanya menyangkut masalah struktur atau komposisi musik, melainkan juga merupakan konsep estetis.

Pada bagian kawitan terdapat pola-pola permainan yang pada prinsipnya berfungsi untuk memperkenalkan sepintas berbagai hal seperti jenis instrumen, melodi-melodi dominan, pola ritme yang jika dihubungkan dengan manusia inilah perwajahan musik yang akan ditampilkan.

Pengawak merupakan bagian utama dimana seluruh instrumen telah berfungsi untuk membentuk dan menghidupkan kesatuan musikal. Jika dikaitkan dengan badan manusia, disinilah terletak organ-organ vital yang sangat menentukan kehidupan manusia.

Demikian halnya dengan pengecet merupakan bagian akhir yang sifatnya lincah dan dinamis, dan hal ini sesuai dengan sifat kaki manusia sebagai bagian tubuh yang paling lincah karena kaki adalah organ mobilitas manusia.

Keseimbangan musik Bali berdimensi empat, lima, dan tujuh dapat diamati dari jumlah nada-nada gamelan Bali yang biasanya terdiri dari empat nada (Angklung dan Jegog), lima nada (Gong gede, Gong kebyar, Pa-legongan, Bebarongan, Joged Pingitan), dan tu-juh nada (Selonding, Gambang, Pegambuhan, Smar Pagulingan, Semarandhana).

Konsep estetika ilmiawi musik tradisional Bali juga dapat diamati dengan meminjam teori estetik umum yang dikemukakan oleh Beardsley. Dalam teori ini Beardsley (dalam Dickie, 1979:149) menyebutkan sebuah karya seni akan memiliki mutu yang tinggi jika menganut tiga unsur utama yaitu unity (keutuhan), complexity (kerumitan) dan intencity (kekuatan).

Unity adalah kesatuan hubungan bentuk-bentuk, artinya semua unsur yang membentuk saling bersinergi, unsur yang satu membutuhkan kehadiran yang lain. Unity juga bermakna utuh, kompak dan tidak ada cacatnya. Namun harus diakui unity berpotensi menimbulkan sesuatu yang monoton sehingga sering membosankan. Oleh sebab itulah dalam karya seni juga diperlukan unsur complexity yaitu kerumitan, keanekaragaman, variasi, atau penampilan bentuk-bentuk lain. Karya seni yang memiliki nilai keutuhan dan kerumitan mutu estetiknya belum sempurna jika tidak ada intensity yaitu kekuatan, keyakinan, kesungguhan. Intensitas berpotensi memberikan kesan lebih kuat dari yang lain sehingga lebih menonjol dan mampu menarik perhatian khusus.
Mutu estetik musik tradisional Bali dapat diamati berdasarkan ketiga kriteria seperti tersebut di atas. Pertama, instrumentasi musik tradisional Bali yang terdiri dari berbagai jenis instrumen dengan bentuk, bahan, teknik pukul, dan warna suara yang berbeda-beda, telah tersusun menjadi satu kesatuan yang utuh. Semua instrumen memiliki fungsi-fungsi untuk mendukung kesatuan perangkatnya, sehingga ketiadaan salah satu instrumen dapat mengurangi keutuhan. Kedua, keanekaragaman instrumen dalam gamelan Bali merupakan unsur kompleksitas karena menimbulkan berbagai jenis dan warna suara. Ketiga, dalam setiap komposisi musik Bali ada beberapa instrumen yang dikemas khusus untuk memberikan kekuatan dan penonjolan untuk memecahkan unsur monoton yang ditimbulkan oleh keutuhan dan kekacauan atau ketidak-teraturan yang ditimbulkan oleh kerumitan. 

Estetika Filsafat

Musik bagi masyarakat Bali adalah seni yang telah terasakan dalam berbagai realitas fungsi dan penggunaannya sejak masa lampau hingga masa kini. Nilai estetis yang terkandung dari keabsahan fungsinya ini dapat memberi rasa tentram, tenang dan nya-man, bahkan rasa penyerahan diri. Padanya tidak hanya terkandung unsur indah yang dinikmati secara visual dan auditif dengan mendekati persoalan dari luar, tetapi juga dengan peninjauan ke dalam, yang merupakan kegiatan intelek, budi, spiritual dan rohaniah.

Oleh sebab itulah musik Bali yang memiliki akar dan perjalanan budaya panjang, telah menjadi sebuah seni tradisi yang dirasakan sebagai milik bersama berdasarkan atas cita rasa masyarakat pendukungnya. Penghormatan terhadap eksistensi musik Bali menyebabkan munculnya berbagai konsep filosofis baik yang tertuang dalam mitologi, cerita, anjuran, dan larangan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya dalam Lontar Prakempa dan Lontar Aji Gurnita.

Konsep estetik lain yang juga mendasari seniman Bali dalam berkarya adalah apa yang disebut dengan taksu dan jengah.

Taksu adalah inner power (kekuatan dalam) yang memberi kecerdasan, keindahan, dan memiliki zat. Dalam kaitannya dengan aktivitas seni Bali, taksu juga kreativitas budaya murni (genuine creativity), suatu kreativitas yang memberikan kekuatan spiritual kepada seorang seniman untuk mengungkapkan dirinya ‘lebih besar’ dari kehidupan sehari-hari.

Seorang pemain gamelan dapat dikatakan memiliki taksu apabila ia mampu mentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yang ditampilkan. Seniman muncul dengan stage presence yang memukau, sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakat pendukungnya.

Jengah dalam konteksnya dengan seni Bali, memiliki konotasi sebagai “competitive pride” yaitu semangat untuk bersaing guna menumbuhkan karya-karya yang bermutu. Sementara taksu mempunyai arti sebagai kreativitas budaya, maka jengah adalah sifat-sifat dinamis yang dimiliki oleh budaya itu, suatu proses atau gerak yang menjadi pangkal segala kemajuan dalam kehidupan masyarakat.

Konsep taksu dan jengah bertujuan memberi stimulasi kepada seniman untuk berkarya dengan sebaik-baiknya, tekun, dan penuh pengabdian pada seni itu sendiri. Apabila dihubungkan dengan fungsi ritual seni sebagai media persembahan kepada Tuhan, maka nilai estetis yang dominan muncul adalah nilai estetis yang religius yang memberikan rasa tentram dan nyaman. Kenyataannya konsep-konsep nilai estetis religius sampai sekarang masih berlaku khususnya bagi seni-seni ritual di Bali.

Musik tradisional Bali juga menganut konsep persembahan. Bahwa estetika Bali mengacu pada tulisan-tulisan kuno, yang telah diolah dan disesuaikan dengan falsafah hidup orang Bali yang sarat dengan simbol-simbol. Akibat dari sikap tersebut tidak ada kecendrungan sang seniman untuk menonjolkan kepribadian dirinya (berekspresi) tetapi cendrung mengikuti pola yang telah ditentukan, hal ini menyebabkan banyak karya-karya yang tidak diketahui penciptanya. Dalam berkarya seniman Bali berusaha mencapai hasil pekerjaan yang sesempurna mungkin. Tidak menjadi persoalan jika orang lain meniru karyanya atau cara kerjanya, malahan hal itu merupakan kebanggaan karena dengan itu mereka membuktikan keunggulannya sebagai seniman.

Dalam menciptakan karya seni, seniman Bali biasanya merasa diri bersatu (manunggal) dengan obyek yang dikerjakan. Hal ini mungkin pengaruh dari filsafat Tat Twam Asi yang tanpa disadari meresap ke dalam kepribadian manusia Bali mulai dari anak-anak sampai dewasa.

Berkat falsafah ini seniman Bali terbawa oleh prinsip keserasian antara bhuana alit (tubuh manusia) dan bhuana agung (alam semesta), karena dalam bhuana agung dirasakan ada pengaturan yang pasti oleh Tuhan, maka untuk menjaga keserasian itu sang seniman berusaha mewujudkan pengaturan penempatan segala-galanya yang berkaitan dengan pekerjaan sesuai peranan dan hirarki. Penyesuaian mengenai ruang maupun kedudukan (spasial dan hirarki) merupakan salah satu prinsip keindahan atau estetika Bali yaitu kegiatan intelektual yang meliputi ilmu maupun falsafah.


Sumber :

I Putu Ariyasa Darmawan dan Ida Bagus Wika Krishna
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja


I Gede Arya Sugiartha
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


I Kadek Sugiarta, I Gede Arya Sugiartha dan Kadek Suartaya
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


I Putu Danika Pryatna dan Hendra Santosa
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


Pande Made Sukerta
GENDING GENDING GONG GEDE

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Sejarah & Purbakala,
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Jakarta 2002



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga