Makna Filosofi dan Konsep dari Suara Gamelan Bali


Teknik Pelarasan (Tuning) pada Gamelan Bali

Gamelan Bali memiliki elemen-elemen yang membentuk suatu karawitan atau musik itu sendiri. Elemen-elemen musik yang terkandung meliputi; ritme), melodi, harmoni,  dinamika, tempo, tone color (timbre, warna nada) dan pola bentuk. Berdasarkan periode perkembangan budaya, para ahli menggolongkan gamelan Bali menjadi tiga kelompok yaitu: (1) Gamelan golongan tua, terdiri dari Gambang, Saron, Selonding Kayu, Gong Beri, Gong Luwang, Selonding Besi, Angklung Kelentangan, dan Gender Wayang. (2) Gamelan golongan madya, terdiri dari Pegambuhan, Semar Pegulingan, Pelegongan, Bebarongan, Joged Pingitan, Gong Gede, dan Bebonangan. (3) gamelan golongan muda, terdiri dari Pearjaan, Gong Kebyar, Pejangeran, Angklung Berbilah Tujuh, Joged Bumbung, Gong Suling, Genta Pinara Pitu, Smarandana, dan Bumbang.

Jenis gamelan tersebut masing-masing mempunyai pelarasan gamelan yang berbeda yang salah satunya adalah gamelan Gong Kebyar. Gong kebyar diminati karena memilki tuning system atau laras standar yang dominan diminati oleh masyarakat.

Pelarasan (tuning system) memiliki peran penting dalam sebuah barungan gamelan. Hal tersebut dikarenakan pelarasan atau sistem nada mampu mempresentasikan karakteristik musikal sebuah lagu yang disusun berdasarkan laras yang digunakan. Pelarasan dengan sistem lima nada atau pentatonis ini memiliki kekhasan pada pitch dan pola jarak nadanya yang berbeda dengan pelarasan diatonis.

Seperti halnya pelarasan gamelan Bali sangat identik dengan rasa dan memilki kebebasan ekspresi oleh pande dalam membuat nada gamelan. Perbedaan laras (saih) yang dihasilkan setiap pande gamelan memiliki karakteristik dalam warna suara gamelan yang dihasilkan. Perbedaan tersebut dikarenakan teknik melaras yang dihasilkan setiap pande gamelan berbeda.

Melaras gamelan merupakan salah satu teknik untuk membenarkan suatu nada yang salah atau bero. Bero merupakan ketidak cocokan nada dari laras tersebut (false). Kita sering mendengar kata-kata “beh suling bero”. Dalam hal ini mungkin sekali suling tersebut sedikit lebih tinggi atau lebih rendah dari suara gamelan atau vokal yang diiringinya. Hal tersebut dikarenakan angkepan atau laras gamelan itu sendiri sudah rusak. Hal ini tidak akan bisa hanya membantu dengan suling saja, melainkan gamelan itu sendiri harus di pangur atau di laras kembali karena pelarasan nada gamelan tersebut sangat penting dilakukan untuk penyajian suatu nada gamelan yang baik.

Sedikitnya ada tiga pelarasan yang paling dikenal, yaitu diatonis, slendro, dan pelog. Pelarasan diatonis merupakan salah satu pelarasan musik yang dikenal di Indonesia sejak lama. Pelarasan gamelan Bali memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan gamelan tradisional lainnya, keistimewaan tersebut diantaranya penggunaan nada dasar (petuding), jarak nada ‘sruti” (interval). Sruti merupakan sebuah terminologi yang berarti jarak antara dua buah nada. Dalam musik barat jarak antara dua buah nada itu dikenal dengan nama interval. Sruti atau interval memegang peranan yang sangat penting dalam pepatutan atau pelarasan gamelan yang dimana gamelan Bali harus memilki sruti dalam pelarasannya.

Teknik Angkepan Gamelan

Dalam pelarasannya, angkepan yang utama dikerjakan seorang pande adalah melaras instrumen ugal. Instrumen ugal merupakan hal utama sebagai guru lagu untuk menyambung ke angkepan berikutnya. Instrumen ugal dilaras menggunakan petuding yang dimana terlebih dahulu membuat pada bagian pengumbangnya. Setelah dibuat ugal bagian pengumbang dilanjutkan membuat ugal bagian pengisepnya.

Instrumen ugal merupakan contoh guru lagu yang nantinya menjadikan angkepan ke instrumen lainnya. Setelah membuat instrumen ugal, dilanjutkan membuat angkepan instrumen gangsa. Pengumbang Instrumen gangsa dibuat dalam pengisepnya instrumen ugal dan setelah membuat pengumbang gangsa dibuatkan pengisepnya gangsa.

Nada pengisep gangsa dicari melalui rasa atau selera yang diinginkan. Membuat nada pengisep gangsa agak berjauhan tetapi tidak mengurangi nada aslinya. Hal tersebut mengakibatkan kesiur yang bagus dan fokus dalam tetebek nada. Instrumen ugal menjadi peran awal dalam terciptanya suatu instrumen gangsa.
Setelah keempat gangsa dibuat ngisep ngumbang, dilanjutkan membuat angkepan kantilan. Pengisep kantil dibuat dari pengumbangnya instrumen gangsa tetapi menggunakan oktaf lebih tinggi dari gangsa. Pengumbang gangsa juga dibuat dalam pengisep gangsa namun diambil dalam oktaf yang lebih tinggi. Karena instrumen kantilan harus memiliki nada lebih tinngi dari gangsa, maka dibuatkan bilah kantilan lebih pendek dan tebal sesuai nada yang diinginkan.

Dilanjutkan dengan membuat instrumen jublag, pengumbang intrumen jublag dibuat dari pengumbangnya instrumen ugal dan pengisep jublag mengikuti pengisep instrumen ugal yang dimana bilah jublag lebih lebar dibandingkan bilah instrumen ugal. Angkepan instrumen jublag harus sama dengan angkepan ugal dimana instrumen ugal menjadi guru lagu dalam terciptanya instrumen jublag.

Untuk membuat instrumen penyacah, pengumbang penyacah dibuat dari pengumbang gangsa dan pengisep penyacah dibuat dari pengisep gangsa. Dimana disini angkepan gangsa sangat berarti untuk terciptanya sebuah angkepan instrumen penyacah.

Setelah dibuatnya instrumen penyacah, melanjutkan ke instrumen jegog. Dimana pengumbang jegog dibuat dari pengumbang ugal dan pengisep jegog dibuat dari pengisep ugal. Angkepan jegog harus sama dengan angkepan ugal yang melainkannya hanya fisik bilah jegog lebih besar dan lebih panjang dari bilah ugal.

Dilanjutkan dengan membuat instrumen terompong. Terompong dibuat dari pengisep ugal yang dimana terompong menjadi suatu melodi yang dimana dalam gending lelambatan, permainan trompong harus mengikuti instrumen ugal atau sama-sama menjadi pengemat nada. Maka dari itu nada terompong dibuat dalam angkepan ugal.

Setelah dibuat instrumen terompong, selanjutnya melaras ke instrumen reong. Dimana intrumen reong dibuat dari pengisep gangsa. Intrumen reong sifatnya enerjik, bila dibuatkan angkepan sama dengan terompong, angkepan atau harmoni lagu tidak akan simetris, maka dari itu membuat angkepan reong dari angkepan gangsa.

Teknik Meninggi Rendahkan Nada

Untuk membuat nada lebih tinggi, Pande memotong bagian bawah ujung bilah. Pande tidak mau memotong dari ujung bilah karena mengedepankan fisik gamelan atau rumus (sikut 4) gamelan masih utuh. Adapun teknik meninggikan nada (membuat nada menjadi lebih tinggi) bilah agar bilah-bilah tersebut tetap kondisi baik/seimbang tebal tipisnya, maka cara penggerendaannya dengan berskala supaya tidak terlalu keras mengecilkan suara gamelan yang dimana akan mengakibatkan fisik gamelan tidak seimbang. 

Teknik untuk membuat nada agar menjadi lebih rendah, memakai teknik menipiskan pada posisi samping di bagian bawah bilah. Untuk menjaga keseimbangan bilah, lebih cenderung menggerinda pada kedua bagian samping bawah bilah. Menurut Pande Sukma, kalau menggerinda pada bagian tengah, bilah akan menghasilkan suara yang mengambang dan bilah akan cepat patah dikarenakan bagian tengah secara umum bila kita memukul instrumen gangsa dengan alat panggul pasti memukulnya pada bagian tengah gangsa. Dalam hal tersebut memilih menggerinda bagian samping bawah bilah dan mementingkan keutuhan ketebalan bagian tengah bilah. Selain hal tersebut, memililih menggerinda bagian tengah supaya bekas gerinda tidak terlihat dari tampak atas yang menguragi kualitas dalam fisik gamelan.

Untuk menjaga kondisi dan kualitas bilah instrumen tetap baik, maka ketika mengerinda bilah-bilah instrumen gamelan harus dibasahi air. Adapun cara mengairi bilah yang sedang digerenda bisa dibawah pancoran air/kran atau disiapkan ember yang berisi air dan gelas plastik/botol plastik yang dipotang dan diberi lobang agar airnya bisa mengalir. Melaras menggunakan gerenda mempercepat proses pengerjaan dibandingknan menyerut dengan kikir tetapi membutuhkan keahlian khusus. Teknik mengerinda tersebut yakni harus mengetahui keadaan panas bahan, penggerindaan dilakukan berskala dan membasahi dengan air setiap proses penggerindaan sehingga bahan atau bilah tidak mudah pecah dan mengganggu proses pencarian nada.

 


Sumber :

I Putu Ariyasa Darmawan dan Ida Bagus Wika Krishna
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja


I Gede Arya Sugiartha
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


I Kadek Sugiarta, I Gede Arya Sugiartha dan Kadek Suartaya
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


I Putu Danika Pryatna dan Hendra Santosa
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


Pande Made Sukerta
GENDING GENDING GONG GEDE

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Sejarah & Purbakala,
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Jakarta 2002



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga