Makna Filosofi dan Konsep dari Suara Gamelan Bali


Penggunaan gamelan gambelan dalam upacara Yajña telah diatur dalam Lontar Prakempa dan Aji Ghurnita. Ajaran dalam Lontar ini tidak hanya memuat tentang filosofi gambelan Bali, seperti dewa penguasa dari masing-masing suara yang dihasilkan oleh gamelan Bali atau fungsi dari masing-masing barungan gamelan Bali, namun juga memuat estetika dari suara gamelan, etika dalam memainkan gamelan, dan etika seorang yang menjadi guru gamelan Bali.

Setiap pelaksanaan upacara Yajña tidak bisa dipisahkan dengan seni gambelan. Begitu juga seni karawitan dalam pelaksanaan upacara Yajña tidak hanya sebagai seni hiburan atau peramai, tetapi memiliki makna filosofi dari setiap suara yang dimunculkan. Fungsi seni karawitan Bali dalam upacara Dewa Yajña dapat dikategorikan sebagai seni wali. Kidung Wargasari mempertegas penggunaan beberapa barungan gamelan dan tarian sakral ketika pelaksanaan upacara Dewa Yajña, seperti berikut:

Wunen-wunene kakuwung, méndak Ida Bhatarane, gong gambang lan angklung, guntang kalawan sékati, tapél pajégan kapuji, saron semar pégulingan, ramya pada nabuh, swara ngarényih-rényih.

 

Asal Mula Nada (Suara)

Bunyi gamelan diyakini disusun berdasarkan pada suara gemuruh yang berada di dasar bumi yang disebut prakempa. Bunyi tersebut menyebar ke seluruh penjuru dunia yang kemudian disebut bunyi pangider bhuana yang dalam teori penciptaan alam disebut sebagai “dentuman besar” (big bang). Dalam kitab suci Veda bunyi penciptaan alam itu disebut sebagai Nada Brahman atau suara Om yang vibrasi dan resonansinya masih diabadikan hingga saat ini di dalam ether atau akasa.

Bunyi tersebut kemudian disusun (direkonstruksi) oleh Bhagawan Wiswakarma ke dalam dua kelompok bunyi yang disebut kelompok laras pelog dan kelompok laras selendro. Kelompok laras pelog merupakan simbol dan Dewa Kama Jaya atau simbol maskulin sedangkan kelompok laras selendro merupakan simbol Dewi Kama Ratih atau simbol feminim.

Gamelan laras pelog jika dipukul akan mengeluarkan nada-nada dang, dung, deng, dong, ding sedangkan gamelan laras selendro jika dipukul seakan mengeluarkan nada-nada ndong, ndeng, ndung, ndang, nding.

Bunyi yang dikeluarkan oleh setiap bilah gamelan sesungguhnya melambangkan nyasa atau simbol dari salah satu ista dewata. Setiap lembar bilah gamelan hakikatnya bagaikan penghubung (frekwensi) pada salah satu ista dewata. Jadi gamelan sesungguhnya adalah teknologi tingkah tinggi yang merupakan implementasi dari teologi Hindu.

Sumber Suara Gambelan

Dalam Lontar Prakempa dan Aji Ghurnita diulas asal mula bunyi berdasarkan aspek ruang kosmos (Pengider bhuana) beserta hasil penempatan dan turunan nada-nada pada penjuru mata angin, yaitu :

  1. Di Timur rupanya putih aksaranya Sang dan suaranya dang
  2. Di Tenggara rupanya dadu, aksaranya Nang dan suaranya ndang
  3. Di Selatan rupanya merah, aksaranya Bang, dan suaranya ding
  4. Di Barat Daya rupanya jingga, aksaranya Mang, dan suaranya nding
  5. Di Barat, rupanya kuning, aksaranya Tang, dan suaranya deng
  6. Di Barat Laut rupanya hijau, aksaranya Sing, dan suaranya ndeng
  7. Di Utara rupanya hitam, aksaranya Ang, dan suaranya dung
  8. Di Timur-Laut rupanya biru, aksaranya Wang, dan suaranya ndung
  9. Di tengah rupanya lima warna, aksaranya Ing, di tengah atas I di tengah Bawah Y, dan suaranya di atas dong, dan di bawah ndong.

Terdapat pula korelasi dengan aksara (huruf tradisional), urip (angka), Dewa (penguasa karakter bunyi), warna, dan senjata gaib yang menjadi simbol sebelum pelafalan bunyinya.

Hal-hal tersebut kemudian menjadi sebuah kontruksi sistematika pengaturan bunyi yang bermuara pada estetika (witning sarire lango). Selanjutnya akan tercipta gubahan-gubahan terstruktur untuk menghasilkan sebuah pola lagu atau gending.

Lontar Prakempa

Lontar Prakempa menyebutkan pada hakekatnya lontar ini berintikan empat aspek pokok yaitu tatwa (filsafat atau logika), susila (etika), lango (estetika), dan gagebug (teknik).

  • Aspek tatwa dalam Prakempa menjelaskan tentang penciptaan bunyi gambelan Bali yang erat kaitannya dengan unsur Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi, bayu, apah, teja, dan akasa. Bunyi diciptakan oleh Bhagawan Wiswakarma dengan sepuluh nada yaitu 5 nada pelog dan 5 nada selendro.
  • Aspek susila membahas masalah perlakuan manusia terhadap gamelan mulai dari kaitan fungsi dan jenis gamelan, stratifi kasi, dan upacara. Selain itu juga dibahas mengenai anjuran yang mesti ditaati dan larangan yang mesti dihindari oleh penggiat gamelan Bali.
  • Aspek lango (estetika) membahas masalah-masalah keindahan musikal seperti sistem pelarasan dan fungsi nada, ekspresi musikal, komposisi, dan ang-sel. Aspek terakhir yaitu gagebug membahas mengenai teknik memainkan gamelan Bali.

Disebutkan dalam Lontar Prakempa, bahwa setiap instrumen gamelan Bali memiliki teknik tersendiri dan mengandung aspek physical behavior dari instumen tersebut.
Aspek susila yang termuat dalam Lontar Prakempa tercermin realitasnya dalam hal bagaimana orang Bali menghormati gamelan sebagai produk seni yang bermutu tinggi. Sumber dan tempat penciptaan musik yang dikiaskan terjadi di Sorga dengan kreator orang-orang suci dan bijak, memberikan makna bahwa karya ini merupakan hasil ciptaan seniman-seniman besar yang berkedudukan tinggi sehingga dapat memberikan kesenangan, kepuasan, dan keten-traman bagi yang mendengarkannya. Oleh sebab itulah gamelan sangat dimuliakan, tidak boleh dilangkahi. Hal ini ditegaskan dalam Lontar Prakempa berikut ini:

Yan tan sang wruh sawuwus pascaning tatabuhan, kang wus dadi guruning tatabuhan, anetepaken kang sastra iki, ayu palanya tekeng patinya wekasan. Mwah yan tan angweruhi ri pamutusing sastra iki, papa palanya tekeng patinya, atmanya dadi dasaring kawah Tambragohmuka, tan walya jadma mwah, matemahan guricak mwah salwiring duleging rat, apan anamohaken tutur yukti. Kengetakene ayua lupa.
Artinya:
Apabila orang tidak mengetahui dan bij ak-sana dari bunyi-bunyian tetabuhan dan telah menjadi guru dari tetabuhan, menetapkan dan teliti menurut aksara ini, selamat pahalanya hingga sampaimeninggal dunia di kemudian hari. Demikian juga sebaliknya apabila tidak mengetahui dengan intisari dari aksara ini, neraka pahalanya hingga sampai saat matinya, rohnya menjadi alasnya kawah Tambragohmuka, tidak bisa menitis menjadi manusia lagi, menjadi kuricak (binatang rayap) dan segala yang tidak disenangi orang, karena tidak menghiraukan dan tidak menghayati nasehat-nasehat yang sejati. Ingatlah selalu jangan sekali-kali dilupakan.
(Bandem, 1988:77)

Semua anjuran dan larangan seperti di atas kendatipun bersifat mitologis pada dasarnya ditujukan untuk memperkuat nilai estetis musik Bali sebagai karya seni yang dianggap bermutu tinggi dan sebagai seni yang dihormati oleh masyarakat pendukungnya. Selain aspek tatwa dan susila, Lontar Prakempa juga membahas tentang hari yang baik dan jenis sesajen untuk mengupacarai gamelan. Disebutkan dalam Prakempa sebagai berikut:

Mwang yaning angupakara salwiring tatabuhan rikala wuku Krulut, ring dina Saniscara Keliwon. Bebantenya, kang inarep sesayut pengambeyan, pras, panyeneng, sodan, daksina, blabaran, katipat gong kelanan, canang burat wangi lenge wangi, pasucian, rantasan, kumkuman saha panyamblehan. Mwah pangulapan panegteg, prayascita sakeng sang wiku. Lyan sakeng rika sakarepta ngawewehin wenang, mwah rikala samangkana sang wruh tatabuhan asuci laksana. Mangkana kalinganya.
Artinya:
Dan apabila merayakan segala tetabuhan, pada waktu wuku Kerulut, pada waktu hari Sabtu, Keliwon. Bahan-bahan sesajennya, yang utama memakai sesayut pengambeyan, peras, penyeneng, sodaan, daksnina, blabaran, ketipat gong kelanan, canang burat wangi lenge wangi, pasucian, rantasan, kumkuman, dengan penyamblehan (ayam panggang). Dan pengu-lapan penegteg, prayascita sari sang wiku. Lain dari pada itu boleh juga ditambah sekehendak kelalaian dan pada waktu itu orang yang telah meresapi tetabuhan membersihkan diri secara spiritual. Demikian seterusnya.
(Bandem, 1988:76-77)

Upacara bermakna penghormatan terhadap kuasa Tuhan sebagai sumber keindahan bunyibunyian. Dengan upacara para seniman diharapkan mendapat kekuatan magi simpatetis untuk menuntun mereka agar mampu menyajikan keindahan suara gamelan yang dimainkan. Setelah melakukan upacara, semua seniman membunyikan gamelan sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan.

Lontar Aji Ghurnita

Lontar Aji Ghurnita merupakan sebuah lontar tutur yang pada pokoknya menguraikan tentang nasehat Bhagawan Narada kepada setiap pemimpin di Madya Loka, ketika membuat pergelaran di negaranya, khususnya tentang seni karawitan.
Secara garis besar, pada lembar 1b sampai lembar 6b menguraikan dasar seni karawitan Bali, tentang laras pelog dan laras selendro, termasuk aksara dan dewa penguasa masing-masing suara gamelan.

Lembar 6b sampai dengan lembar 12b menguraikan tentang tutur Catur Muni-muni, catur berarti empat, muni-muni berarti gegambelan, antara lain gegambelan Smara Pagulingan bernama Smara Aturu, alunannya pegambuhan sebagai iringan dari tarian Barong Singa.

  • Gegambelan Smar Patangyan bernama Smara Awungu, alunannya pasesendonan, sebagai iringan tarian legong.
  • Gegambelan Smar Palinggyan bernama Smara Alungguh, alunannya pagagudenan, sebagai iringan joged papingitan.
  • Gegambelan Smar Pandiryan, bernama Smara Angadeg, alunannya pakakincangan, sebagai iringan Barong Rentet.

Gegambelan Smara Turu, adalah hasil turunan dari Indra Loka, Smara Awungu meniru dari Yāma Loka, Smara Alungguh meniru dari Bharuna Loka, dan Smara Angadeg meniru dari Kwera Laya.

Lembar 5a, 9a, 16b, dan 23b menguraikan tentang persembahan untuk perangkat gamelan beserta dengan sarana upacaranya, yaitu pada hari Sabtu Kliwon atau Tumpek Krulut. Tidak hanya perangkat gamelan saja yang diupacarai pada saat Tumpek Krulut, namun semua sekaa atau anggota juga memberikan penghormatan atau sembah bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa.
Lembar 16b Lontar Aji Ghūrnita menguraikan asal mula tetabuhan, bermula dari bayu atau tenaga, diwujudkan berupa suling dan rebab.

Lembar 17a menguraikan suara suling terdengar halus manis, sedangkan suara rebab terdengar galak manis.

Lembar 17b sampai dengan lembar 18b menguraikan konsep rwa bhineda dari suling dan rebab, yaitu filosofi Semara Ratih dan Om Kara Ngadeg dan Om Kara Sumungsang.

Proses Penciptaan Gamelan

Lontar Aji Ghurnita menguraikan filosofi penciptaan gamelan pokok yang ada saat ini, yaitu Smara Pagulingan, Smar Patangyan, Smar Palinggyan, Smar Pandiryan, Selonding, Babonangan dan Gong.
Semua gamelan terinspirasi dari alunan gamelan dari Smaralaya, bernama Mlad Prana atau Gambuh, akhirnya ditirukan oleh Dewa Indra menjadi Smara Pagulingan, Dewa Yama menciptakan Smar Patangyan, Dewa Baruna menciptakan Smar Palinggyan, Dewa Kuwera menciptakan Smar Pandiryan, pertapa di tengah hutan dalam memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa menciptakan barungan Selonding, Bhuta Kala menirukan Mlad Prana dengan bentuk yang sederhana dan memiliki warna suara yang sangat bersemangat diberi nama Babonangan, dan Dewata Nawa Sanga serta para Rsi menirukan Mlad Prana dengan warna suara yang sangat khidmat dan berwibawa diberi nama Gong.

  • Smar Pagulingan alunannya pagambuhan, artinya musik yang dihasilkan bernuansa klasik dan berwibawa.
  • Smar Patangyan alunannya pasesendonan, musik yang muncul bernuansa sendu, tariannya beruansa sendu atau sedih, banyak mengunakan vokal dalam tabuhnya.
  • Smar Palinggyan alunannya pagagudenan, musik yang ditimbulkan mencerminkan suasana kepahlawanan dalam reportoar atau kumpulan lagu-lagunya.
  • Smar Pandiryan alunannya pakakincangan, musik yang ditimbulkan lebih enerjik, lincah dan memiliki kesan ceria.

Proses penciptaan gamelan dalam Lontar Aji Ghurnita tidak bisa lepas dari estetika Hindu. Konsep estetika Hindu secara ringkas  yaitu kesucian (Shiwam), kebenaran (Satyam), dan keseimbangan (Sundaram).

  1. Kesucian (Shiwam) pada intinya menyangkut nilai-nilai Ketuhanan yang juga mencakup Yajña dan taksu.
  2. Kebenaran (Satyam) mencakup nilai kejujuran, ketulusan, dan kesungguhan. Sesuai dengan ajaran agam Hindu, persembahan dan Yajña yang dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali seyogyanya dilaksanakan dengan penuh kejujuran hati, rasa tulus, dan niat yang sungguh-sungguh.
  3. Keseimbangan (Sundaram) yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terefleksi dalam beberapa dimensi.

Satyam atau kebenaran adalah dasar filosofi, sejarah, etika, kutukan, dan ajaran seni karawitan Bali bersumber dari Lontar Aji Ghurnita. Pengaruh Lontar terhadap seni karawitan di Bali sebagai guru utama dalam membuat sebuah karya, berfungsi sebagai dasar berkarya.

Lontar Aji Ghurnita dalam seni karawitan di Bali juga sebagai sumber referensi dalam menggarap tabuh yang sesuai pola dan tradisi. Siwam atau kesucian seni karawitan Bali dalam Lontar Aji Ghurnita tersirat adanya dewa dewi penguasa masing-masing suara gamelan, dan adanya proses penyucian dari perangkat gamelan serta guru atau sekaa gong. Sundaram atau keseimbangan seni karawitan Bali dalam Lontar Aji Ghurnita banyak tertuang pada konsep keseimbangan dua dan tiga, yaitu rwa bhineda dan tri angga.
Keseimbangan dua seni karawitan Bali yang sering disebutkan dalam Lontar Aji Ghurnita yaitu adanya laras pelog dan selendro, ngumbang ngisep, lanang dan wadon, serta adanya konsep patutan atau patet atau saih. Keseimbangan tiga seni karawitan Bali yang disebutkan dalam Lontar ini yaitu konsep tri angga, terdiri dari pengawit atau pembuka tabuh, pengawak atau badan tabuh, dan pengecet atau penutup tabuh.

Konsep Purusa dan Pradhana

Konsep Purusa atau laki-laki dan Pradhana atau perempuan sebagai dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan jelas menyebutkan bahwa gamelan muncul dari Smaralaya, yaitu kahyangan Sang Hyang Smara dan Sang Hyang Ratih, sebagai jiwa dari Purusa dan Pradhana.

Laras dalam gamelan juga menyiratkan adanya unsur Purusa dan Pradhana. Sederetan nada yang berurutan dalam satu angkep/oktaf atau lebih, memiliki frekuensi/getaran per detik tinggi rendah (pitch) dan jarak tertentu.

Dasar pelog dan selendro disebutkan pada lembar 1b sampai 2a Lontar Aji Ghurnita bahwa:

Inilah kebenaran dari pelok dan selendro, selendro dan pelok, menurut suaranya, rebab dan kecapi, sebagai munculnya kehidupan yang disebut pengedengin wsi, semua itu adalan gambelan dari tarian gambuh, yang menurut pelok Panca Swara adalah: dang (A) Iswara, deng (E) Brahma, dong (O) Mahadewa, dung (U) Wisnu dan ding (I) Siwa. Kalau disesuaikan dengan selendro Panca Swaranya juga sama, yaitu : ndang (A) Mahadewi, ndeng (E) Saraswati, ndong (O) Gayatri, ndung (U) Sri Dewi, nding (I) Uma Dewi.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa setiap bilah gamelan dalam laras pelog maupun selendro memiliki dewa dan dewi yang menguasai sesuai dengan pengideran Dewata Nawa Sanga. Laras pelog Panca Swara:

  1. dang berada di timur dengan dewanya Dewa Iswara
  2. deng berada di selatan dengan dewanya Dewa Brahma,
  3. dong berada di barat dengan dewanya Dewa Mahadewa
  4. dung berada di utara dengan dewanya Dewa Wisnu, dan
  5. ding berada di tengah dengan dewanya Dewa Siwa.

Laras selendro Panca Swara :

  1. ndang berada di timur dengan dewinya Dewi Mahadewi
  2. ndeng berada di selatan dengan dewinya Dewi Saraswati
  3. ndong berada di barat dengan dewinya Dewi Gayatri
  4. ndung berada di utara dengan dewinya Dewi Sri Dewi
  5. nding berada di tengah dengan dewinya Dewi Uma Dewi

Makna dasar dari laras pelog dan selendro, bahwa laras pelog memiliki karakter purusa atau laki-laki, sedangkan laras selendro memiliki karakter pradhana atau perempuan.

Masing-masing tangga nada ini memiliki sifat yang berbeda yaitu laras pelog bersifat khidmat dan laras slendro bersifat riang gembira. Watak nada-nada dalam laras pelog dan slendro sering dikaitkan dengan watak para dewa penunggunya, yaitu:

  1. Wisnu memiliki sifat sejuk, mengalir seperti air.
  2. Iswara memiliki sifat dinamis seperti angin, berubah cepat dan kencang.
  3. Brahma memiliki sifat keras dan dinamis seperti api yang bisa membinasakan.
  4. Mahadewa memiliki sifat tenang dan agung, seperti pertiwi, pemberi kesuburan dalam kehidupan.
  5. Siwa memiliki sifat keteguhan, menguasai, mengatasi, dan mengatur segala yang ada seperti langit.

Berdasarkan uraian tersebut, laras pelog dimainkan di depan laras selendro, namun tetap sesuai urutan suaranya, seperti urutan bilah gender pada gamelan, yaitu ding, dong, deng, dung, dang.

Laras pelog panca swara dan selendro panca swara merupakan simbol aksara suci Sa, Ba, Ta, A, I, dan Na, Ma, Si, Wa, Ya, yang digabung menjadi Dasa Aksara Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya.

Konsep Dewa Catur Loka Phala

Catur Loka Phala merupakan empat dewa penjaga atau penguasa atau pelindung alam atau dunia, yaitu: Indra, Yama, Baruna, dan Kuwera. Dewa Catur Loka Phala menguasai empat gamelan pokok yang disebut dengan Catur Muni-Muni, yaitu Smar Pagulingan, Smar Patangyan, Smara Palinggyan dan Smar Pandiryan. Keempat Loka Phala menguasai masing-masing kahyangan yang disebut dengan loka, dan membuat empat gamelan Muni-Muni.

Lontar Aji Ghurnita menjelaskan tentang Catur Muni-Muni sebagai empat gamelan yang ada di Catur Loka Phala.

  1. Dewa Indra di Indra Laya memiliki gambelan Smara Turu,
  2. Dewa Yāma di Yāma Loka memiliki gambelan Smara Awungu,
  3. Dewa Bharuna di Bharuna Loka memiliki gambelan Smara Alungguh,
  4. Dewa Kuwera di Kwera Laya memiliki gambelan Smara Angadeg.

Lembar 7b menyebutkan di dunia nyata (sekala), sang prabu juga sama dengan penghuni Catur Loka Phala di niskala.

Konsep Dewata Nawa Sanga

Dewata Nawa Sanga merupakan sembilan dewa yang menguasai sembilan arah mata angin. Dewata Nawa Sanga disebutkan merupakan dewa yang menguasai 5 nada pokok dalam laras pelog dan selendro, sekaligus dengan sakti-Nya masing-masing, yaitu Dewa Īswara, Dewa Brahmā, Dewa Mahādewa, Dewa Wisnu, dan Dewa Śiwa.

Kelompok dewa yang disebutkan pertama adalah Dewata Nawa Sanga sebagai penguasa arah mata angin beserta Sakti-Nya; Dewi Mahādewī, Śaraśwati, Gayatri, Śri Dewi, dan Uma Dewi. Selanjutnya disebutkan ada Sang Sadyo Jata, Sang Bama Dewa, Sang Tat Purusa, Sang Aghora, dan Sang Isana, Sang Korsika, Sang Garggha, Sang Maitri, Sang Kurcya, dan Sang Pyětaňjala, serta Dewa Mahesora Rūdra, Śangkara, Śambhū, dan Buddha. Dewa dan Dewi yang disebutkan di atas merupakan penguasa suara pelog dan selendro.

Lembar 3b dan 4a menyebutkan Panca Aksara, Panca Geni dan Panca Tirttha. Panca Tirttha dan Panca Geni adalah dua kekuatan dalam kehidupan budaya Bali yang tak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai simbol keharmonisan. Dengan melihat kedudukan para dewa dan atributnya dalam kosmologi gamelan Bali, jelas ini mencerminkan bahwa gamelan Bali itu bersifat religius berdasarkan prinsip yang dinamakan Siwam (kesucian), Satyam (kebenaran) dan Sundaram (keindahan).

Konsep Bhakti Saat Tumpek Krulut

Ritual dalam agama Hindu tidak bisa berdiri sendiri, berbagai unsur, aktifitas, makna, warna, karakter manusia, dan seni saling melengkapi dalam sebuah ritual. Seorang seniman akan berfokus dalam memberikan persembahan seni dalam sebuah ritual. Ajaran Bhakti tersirat dalam kewajiban menyucikan barungan gamelan pada saat Tumpek Krulut. Proses penyucian gamelan tidak hanya sebatas ritual mengupacarai gamelan, namun lebih kepada pemujaan terhadap dewa penguasa suara, penguasa masing-masing bilah gamelan, dan seisi alam semesta.

Proses penyucian gamelan dilaksanakan pada saat Tumpek Krulut, yaitu setiap Sabtu Kliwon wuku Krulut yang datang setiap 210 hari sekali. Ketika dilaksanakan penyucian ini, ada dewa yang disebutkan dipuja oleh anggota sekaa gong dalam sembah pertama, yaitu Sang Hyang Agni, Surya, Candra, Lintang dan kepada Sang Hyang Akāca. Sembah kedua ditujukan kepada Sang Hyang Bayu, Sabda, Idep, dan sembah ketiga ditujukan kepada Sang Hyang Menget. Terakhir, dalam memohon tirta kumkuman, memuja Sang Hyang Gangga sebagai dasar tirta kumkuman tersebut.
Urutan persembahan dalam menyucikan gamelan Bali berdasarkan uraian Lontar Aji Ghurnita adalah pertama memakai bunga kehadapan Sang Hyang Agni, Surya, Candra, Lintang dan kepada Sang Hyang Akāca, karena Beliau mengetahui, menciptakan semesta, sebagai bukti persembahan. Dewa yang dipuja pertama merupakan konsep Natural Politheisme.

Natural Politheisme adalah keyakinan terhadap adanya banyak Dewa sebagai penguasa berbagai aspek alam, misalnya Dewa matahari, angin, bulan, dan sebagainya. Persembahan kedua memakai bunga lima warna, ditujukan kepada Sang Hyang Bayu, Sabda, Idep. Beliau merupakan jiwa dari diri manusia, yang menghidupi tubuh. Terakhir memakai kwangen dipersembahkan kepada Sang Hyang Menget. Sembah puyung satu kali, ditujukan kepada Sang Hyang Gangga, karena Sang Hyang Gangga merupakan dasar kumkuman tersebut.
Sang Hyang Bayu, Sabda, Idep disebutkan sebagai jiwa dari diri manusia, yang menghidupi tubuh, merupakan tujuan persembahan selanjutnya dalam penyucian gamelan. Bayu merupakan tenaga, sabda adalah kekuatan, dan idep adalah pikiran, ketiga unsur ini disebut dengan Tri Pramana yang menjiwai manusia. Ketiga unsur ini yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya karena manusia memiliki pikiran. Tanpa ketiga unsur ini manusia tidak akan sempurna, oleh karena itu ketiga unsur yang menjiwai manusia wajib untuk dipuja dalam penyucian gamelan.
Sang Hyang Gangga sebagai dasar kumkuman atau air suci merupakan salah satu bentuk Tuhan merupakan sumber segala. Gangga merupakan nama sebuah sungai di India yang sangat disucikan oleh umat Hindu. Nama Gangga juga disebutkan dalam mantra pembuatan sebuah tirtha oleh sulinggih sebagai sumber mata air. Sebagai sumber mata air, Gangga dipuja sebagai kekuatan air suci dalam upacara yajña. Upacara penyucian barungan gamelan saat Tumpek Krulut memuja Sang Hyang Gangga sebagai dasar kumkuman merupakan bentuk penghormatan terhadap kekuatan air agar berubah fungsi dari air biasa menjadi air suci.

Konsep Ketuhanan

Banyaknya nama dewa yang disebutkan dalam Lontar Aji Ghurnita, pada hakekatnya adalah Esa, namun memiliki fungsi yang berbeda-beda dengan nama yang berbeda.
Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan kembali kepada Tuhan, Tuhan hadir di mana-mana, Ia bersifat wyāpi-wyāpaka, meresapi segalanya, tidak ada tempat yang tidak Ia tempati. Ia adalah sumber hidup, sumber tenaga dari Dialah segala yang ada ini dan kepadaNya pula segala yang ada ini kembali, karena itu Ia disebut Sangkan Paraning Dumadi, asal dan kembalinya semua makhluk. Tuhan hadir di mana-mana, Ia bersifat wyāpi-wyāpaka, meresapi segalanya, tidak ada tempat yang tidak Ia tempati. 

Lontar Aji Ghurnita menguraikan setiap bilah atau suara dari instrumen gamelan pada intinya dikuasai oleh masing-masing dewa atau dewi sesuai dengan konsep pengideran Dewata Nawa Sanga. Dewa-dewa dalam konsep Dewata Nawa Sanga dijelaskan menguasai masing-masing suara gamelan dengan aksara suci, dan secara umum dikelompokkan dalam laras pelog atau laras selendro.
Setiap bilah dari gamelan memiliki suatu kekuatan yang menghubungkan manusia dengan yang dipuja. Lontar Aji Ghurnita menyebutkan bahwa masing-masing suara yang timbul dari gamelan, berlaras pelog maupun selendro memiliki dewa yang menguasai bilah gamelan.

Esensi filosofi dari bunyi gamelan yang dipersembahkan dalam ritual adalah bahwa setiap vibrasi gelombang bunyi yang dihasilkan oleh setiap bilah daun gamelan adalah sebuah mantram atau suara puja yang dengan tepat menuju kepada salah satu Ista Dewata.
Ajaran Tuhan ada dimana-mana, dalam Lontar Aji Ghurnita termuat dari adanya bentuk rwa bhineda. Rwa Bhineda merupakan dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan antara keduanya.

Barungan gamelan Bali dibuat secara kompleks dan saling berkaitan antara satu perangkat dengan perangkat lainnya, sehingga memunculkan nilai estetika yang berbeda dengan alat musik lainnya. Keterkaitan ini disebut dengan Rwa Bhineda, dalam Lontar Aji Ghurnita disebutkan unsur-unsur Rwa Bhineda seni karawitan Bali, yaitu adanya pelog selendro, lanang wadon, ngumbang ngisep, Akasa Pertiwi, Smara Ratih, Ong Kara Ngadeg dan Om Kara Sumungsang.


Sumber :

I Putu Ariyasa Darmawan dan Ida Bagus Wika Krishna
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja


I Gede Arya Sugiartha
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


I Kadek Sugiarta, I Gede Arya Sugiartha dan Kadek Suartaya
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


I Putu Danika Pryatna dan Hendra Santosa
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


Pande Made Sukerta
GENDING GENDING GONG GEDE

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Sejarah & Purbakala,
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Jakarta 2002



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga