- 1Tentang Galungan dan Kuningan
- 1.1Mitologi Galungan
- 1.1Makna Filosofis Galungan
- 1.1Ada 3 Jenis Galungan
- 2Upacara Menyongsong Galungan
- 2.1a. Tumpek Wariga
- 2.2b. Soma Pahing Wuku Warigadian
- 2.3c. Sugihan
- 2.4d. Wuku Dungulan
- 2.4.11. Hari Panyekeban.
- 2.4.22. Hari Panyajaan.
- 2.4.33. Penampahan.
- 2.4.44. hari Galungan
- 2.1E. Pamaridan Guru
- 2.2F. Wuku Kuningan
- 2.2.11. Hari Ulihan
- 2.2.22. Pamacekan Agung
- 2.2.33. Hari Buda Pahing Kuningan
- 2.2.44. Panampahan Kuningan
- 2.2.55. Hari Kuningan
- 2.3G. Wuku Pahang (Pegat Wakan)
- 3Puja Stawa Hari Penampahan & Galungan
- 3.3.1Dudonan
- 3.3.2Mantra babanten muah pegadangan Galungan
Mitologi Galungan
Didalam Lontar usana bali diceritakan, bahwa perayaan Galungan adalah suatu peringatan atas kemenangan Bhatara Indra dalam pertempurannya melawan raja Mayadanawa. Mitologi ini mengandung suatu kias tentang Mayadanawa, tentang pergulatan antara Dharma melawan Adharma yang berakhir dengan kemenangan Dharma.
Lebih jauh menurut lontar Usana Bali diceritakan bahwa sebelum pemerintahan raja Mayadanawa di Bali, pelaksanaan ajaran agama Hindu berjalan dengan baik. Pelaksanaan itu diawali dari mulai Sang Tapa Hyang yaitu Sang Kulputih yang berasal dari Jawa datang ke Bali dan bertempat tinggal di Besakih sebagai Pamangku, dalam waktu yang cukup lama. Sejak beliau mulai pamangku, muncul air Kiduling Besakih yang kemudian diberi nama air suci Sindhu (Titrha Sindhu). Air suci tersebut dipergunakan sebagai sarana penyucian terhadap diri Sang Kuluputih setiap Purnama dan Tilem. Beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana, dapat mengetahi keadaaan secara lahir dan batin. Beliau pulalah yang melaksanakan upacara-upacara pemujaan secara lengkap dengan sarana-sarana upacaranya berupa babanten, yang dipersembahkan dengan puja mantra dan diantarkan dengan suara bajra yang nyaring tanda turunNya para Dewa.
Setelah Sang Kulputih juga diceritakan kedatangan Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali, mengajarkan tentang pembuatan tempat-tempat suci sampai ke Desa-desa, seperti Kahyangan Tiga, upakara-upakara pada saat saat hari raya, yang pada prinsipnya lebih memantapkan agamanya. Pelaksanaan ini telah pula dikukuhkan dalam Raja Purana dan prasasti. Disamping Mpu Kuturan, juga diceritakan pemerintahan raja-raja yang lain seperti Jayapangus, Sang Ratu Detya di Balingkang dan Ratu Mayadanawa di Bedulu.
Diantara pemerintahan raja-raja tersebut ketika pemerintahan raja Mayadanawa terjadi pergolakan yang hebat, karena pemerintahannya sangat berbeda dengan raja-raja yang lainnya. Beliau dikenal sebagai raja yang sakti, loba, angkara murka, raja diraja dan menganggap dirinya paling sakti, lebih sakti dari para Dewa dan malahan dinyatakan bahwa dirinyalah sebagai Dewa. Beliau melarang segala upacara-upacara yang telah biasa terlaksana sebelumnya, sehingga bumi Bali menjadi kering dan tidak menghasilkan apa-apa. Perlakuan tersebut mengakibatkan rakyat Bali hidupnya sangat sengsara.
Hal ini sangat dirasakan oleh Sang Kulputih, sehingga beliau bersama-sama dengan para Pamangku dari berbagai desa-desa lain memohon ke Pura Besakih, agar dapat diselamatkan dari serangan raja Mayadanawa. Permohonan tersebut direstui oleh Dewa-dewa di Indraloka, dan kemudian mengutus Bhatara Mahadewa dan Bhatari Danuh serta Bhatara-Bhatara semuanya untuk turun ke Bali, dan menghaturkan pula duduk persoalannya kehadapan Bhatara Pasupati yang dilanjutkan dengan mohon kematian raja Mayadanawa, karena segala perbuatannya telah mengakibatkan kehancuran di bumi Bali itu.
Segala petunjuk tersebut dilaksanakan dengan baik, sehingga pelaksanaan kepergiannya itu diantarkan dari alam niskala Indraloka, dan akhirnya Bhatara Indra berada di Bali diiringi oleh para Dewa yang telah lengkap dengan senjata untuk berperang, disertai dengan jutaan pengikutnya dalam keadaan siap tempur. Kedatangan pasukan Bhatara Indra itu telah didengar oleh raja Mayadanawa di Bedulu, sehingga segera para patih, mantri dan punggawa semuanya dikumpulkan, karena kerajaannya akan mendapat serangan untuk dihancurkan. Untuk menyelidiki kebenarannya, maka diutuslah patih Kala Wong berangkat, serta melaporkan hasilnya dengan segera pada raja Mayadanawa. Ternyata semua hasil penyelidikannya itu benar.
Pasukan yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan semua pengiringnya, telah berada di Besakih dan memenuhi tempat yang ada, lalu saat itu beliau memanggil Bhagawan Narada dengan widyadaranya akan diutus selaku duta ke Bedahulu, menyelidiki perlakuan raja Mayadanawa mempersiapkan dirinya menghadapi serangan.
Perintah tersebut dilaksanakan dan hasilnya segera dilaporkan pula bahwa pasukan Mayadanawa sudah siap sedia. Turunlah pasukan Bhatara Indra dan terjadilah peperangan dengan hebatnya, yang mengakibatkan banyak yang mati, diantaranya para patih raja Mayadanawa yang diandalkan banyak mati terbunuh Kejadian ini segera dilaporkan oleh Kala Wong pada raja dan Mayadanawa menjadi marah serta segera pergi ke medan perang untuk mengadakan perlawanan terhadap musuh-musuhnya itu.
Di lain pihak pasukan Bhatara Indra telah siap untuk mengadapinya, karena telah diketahui para pengikut Mayadanawa semakin berkurang. Menghadapi ini lalu Maydanawa dengan patih Kala Wong mempergunakan kesaktiaanya untuk menghindar dan dan mengelabui serangan musuhnya, yaitu dengan berkali-kali mengubah rupanya. Selain itu air yang mengalir di sungai dibuatnya beracun, agar usahanya ini berhasil, namun cepat pula diketahui oleh Bhatara Indra sehingga beliau segera mengutus Bhagawan Narada dengan Bhagawan Whraspati dan para Bhujangga Resi Siwasogata untuk memohon keselamatan dengan Weda Yoga Sandhinya, supaya air yang beracun itu cepat berubah menjadi tirtha amertha sebagai sumber kehidupan terhadap para pengikutnya semua. Upacara permohonan itu segera dilaksanakan, namun tirtha amerta belum juga muncul. Pada kesempatan itu lalu turunlah Bhatara Indra dengan Bhatara Mahadewa dari Padmasana menancapkan gaganco dan umbul-umbul terus dilanjutkan memohon dan memuja dengan Weda Yoga Sandhinya, akhirnya dengan tiba-tiba muncul percikan tirtha dengan kekuatan yang luar biasa, serta dapat menghidupkan semua pengikut yang tadinya telah mati keracunan. Tirtha tersebut kemudian diberi nama Tirtha Empul.
Selanjutnya perjuangan untuk mengejar pasukan Mayadanawa dikerahkan lagi menuju ke Manukaya dan mengurungnya dari segala penjuru. Pada kesempatan ini Mayadanawa sering berpindah-pindah dan berubah-ubah bentuknya akibat dari kesaktiannya, sehingga tidak terlihat oleh Bhatara Indra dalam pengejarannya, namun akhirnya Mayadanawa dapat pula terbunuh dengan mengeluarkan darah dari sekujur tubuhnya sampai mengalir ke arah selatan dan konon sungai ini kemudian bernama We Petanu / Tukad Petanu. Dengan sudah terbunuhnya Mayadanawa itu, maka dimulailah melaksanakan pemujaan dan persembahan upacara-upacara yang terputus itu kembali, dan diperingati sebagai hari Kemenangan Dharma melawan a-Dharma.
Lebih jauh dapat dikaji dari mitologi Galungan tersebut, bahwa dengan berhasilnya kemenangan dharma merupakan hari turunnya Dharma untuk ditegakkan kembali oleh sebab itu, maka hari raya Galungan juga disebut hari Pawedalan Jagat, yang merupakan peringatan untuk mengucapkan kelahiran dunia dengan segala isinya, yang permohonannya ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sebagai sumbernya Pawedalan Jagat, maksudnya bahwa dunia dengan segala isinya telah lahir kembali, karena semenjak pemerintahan raja Mayadanawa, pemeliharaannya baik secara lahir maupun batin tidak mendapatkan perhatian, yang mengakibatkan keadaan jagat jaman itu mengalami kehancuran. Dalam mitologi Galungan patut disyukuri hikmahnya dengan melaksanakan peringatannya setiap 210 hari/6 bulan sekali secara lahir batin, demi kelangsungan tegak dan kokohnya dharma itu sepanjang masa.
Tokoh Mayadanawa dalam mitologi ini, perlu juga dikaji lebih mendalam, siapakah sebenarnya beliau itu. Berdasarkan sumber tertulis yang dapat ditemukan dan kepercayaan dimasyarakat, bahwa raja Mayadanawa itu adalah seorang raja keturunan dari Singha Mandawa, yang dalam suatu prasasti (875) menyebut nama Sri Agni Nripati dengan pusat kerajaan mula-mula bera di daerah Kintamani, tetapi kemudian karena istananya terbakar dan berusaha mencari daerah yang lebih makmur, dipindahkan ke daerah Pejeng/Bedahulu. Beliau mula-mula menganut agama Waisnawa, kemudian beragama Siwa, yang selanjutnya karena merasa dirinya kuat, lalu menganggap dirinya sebagai Dewa dan melarang rakyatnya memuja leluhurnya ataupun Dewa yang telah diyakininya. Larangan inilah yang dirasakan sebagai paksaan, sehingga untuk membela kebenaran berdasarkan keyakinannya dihadapi dengan peperangan, yang akhirnya dapat mengalahkan Mayadanawa dalam tahun 887 caka.