Rangkaian Upacara & Bebantenan Hari Galungan dan Kuningan


Upacara Menyongsong Galungan

Upacara-upacara awal menyongsong Galungan, ada beberapa yang patut dilakukan sebagai wujud catur marga berupa pengamalan-pengamlannya secara lahir dan batin.

a. Tumpek Wariga

Upacara Tumpek Wariga ini sering dikenal dengan sebutan Tumpek pangarah, pangatag, uduh, dan bubuh. Upacara ini diperingati seiap hari sabtu yaitu 25 hari sebelum galungan ( Saniscara Keliwon Wuku Wariga) setiap enam bulan 210 hari sekali. Mengapa disebut dengan Tumepek Wariga? Karena diadakan tepat pada hari sabtu.

Tumpek Wariga ini adalah memberi arahan minta tolong yang dilakukan oleh umat Hindu kepada sesama makhluk hidup Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berfungsi untuk membantu memberikan daun, bunga, buahnya yang akan dipakai untuk menyongsong galungan. Upakara pada tumpek wariga berupa peras, tulung, sasayut, tumpeng bubuh, tumpeng agung, memakai ulam bayi atau guling itik, panyeneng dan sasayut cakrageni, pabersihan dan segehan.

Cara untuk mempersembahkan dengan diletakkannya pada sebuah asagan dekat pohon yang merupakan objek yang diupacarai. Pohon tersebut dikenakan pakaian yang ditempeli candiga/cenigan, sampyan gantung-gantungan dan sasap. Pelaksanaannya diawali dengan masageh dibawah depan asagan yang ditujukan kepada para bhutakala. Upakara-upakara lainnya terletak pada asagan yang ditujukan kehadapan Dewa Sangkara/Dewa Tumbuh-Tumbuhan/Sarwa tumuwuh dengan menghaturkan bubur pada pohon yang dianggap mistis. Mereka menggunakan Isyarat atau pertanda mapengaruh.

b. Soma Pahing Wuku Warigadian

Acara ini dilaksanakan setelah berlalu 2 hari upacara Tumpek Wariga. Dalam upacara ini memakai Sedahwoh atau sering disebut dengan daun beserta dengan buah yang dilengkapi dengan kemampuan canang maraka.

c. Sugihan

 Sugihan Jawa
Hari pengadaan acara Sugihan jawa sering disebut dengan Wraspati Wage Wuku Sungsang yang diadakan setiap 6 bulan sama halnya seperti Sungihan Pangenten (Jawa). Dalam agama Hindu sugihan jawa memiliki arti yang lebih luas (seperti yang di terangkan sebelumnya) yaitu merupakan hari yang baik untuk pembersihan dan penyucian Bhuwana agung/Alam semesta dan isinya. Dan ada juga pembersihan tempat-tempat suci seperti Pura, paibon, Sanggah, Marajan hal ini sering disebut dengan Sakala. Sedangkan melaksanakan upacara menghaturkan upakara pebersihan atau pasucian, pada benda yang suci seperti Pratima, pralingga ida sang hyang widhi wasa disebut dengan Niskala. Para pendeta mengucapkan mantram untuk melaksanakan pembersihan.
Upacara/banten yang digunakan berupa:

    1. Untuk dipalinggih utama, berupa Daksina,peras, soda,canang
    2. Untuk palinggih lebih kecil, berupa canang pabersihan, canang burat wangi lenga wangi.
    3. Penyucian secara umum memakai “Parerebuan” yang terdiri dari: Sorohan Dapetan Tumpeng 5.

Penyelenggaraan Upacara :

Cara yang pertama dilakukan adalah pembesihan secara sakala kemudian dilanjutkan dengan pembersihan niskala dengan menghaturkan upacara “marerebu”. Bukan hanya ini saja jenis upacara yang dilakukan, tetapi ada juga yang memakai upakara parerebuan, yang memakai gulungan itik. Dalam hal nini yang dihaturkan terlebih dahulu pada bangunan suci yang utama yaitu dari Padmasa, dilanjutkan dengan Sanggah Kamulan dan berikutnya sampai pada bangunan kecil yang terakhir. Setelah marrebu selesai dilanjutkan dnegan menghaturkan upakara/banten yang lainnya.

Sugihan Bali
Pelaksanaannya setiap 6 bulan sekali tepatnya pada hari jumat atau sering juga disebut dengan Sukra Keliwon Wuku Sungsang, perayaan ini terjadi setelah berlangsungnya Sugihan Jawa. Perayaan upacara dalam Sugihan Bali ini bertujuan untuk pembersihan atau penyucian terhadap bhuwana alit atau sering kita sebut dengan diri sendiri yang dilaksanakan dengan doa permohonan

d. Wuku Dungulan

Untuk pelaksanaan uapacara wuku dungulan dibutuhkan pengendalian diri sebab akan banyak godaan-godaan yang akan dihadapi. Dalam upacara ini akan turun Sang Kala Tiga Wisesa yang akan menguji pikiran dan perkataan manusia. Hari-hari yang merupakan upacara dalam Wuku Dungulan ini adalah

1. Hari Panyekeban.

Penyekeban atau Penapean jatuh setiap hari Minggu Pahing wuku Dungulan. Yang asal katanya sekeb berarti dieram dan tap (tape = tapa) berarti yang sesungguhnya berarti panas ialah merupakan sifat dari api ialah energi / tenaga (kekuatan). Seperti nyekeb buah pisang atau umbi ketela pohon agar menjadi matang. Pada hari ini diharapkan kita mampu nyekeb kesadaran murni sebagaimana diuraikan pada Sugihan Bali.

2. Hari Panyajaan.

Dilaksanakan setiap hari Senin Pon wuku Dungulan. Dimana dalam bahasa Bali bahwa kata penyajaan berasal dari kata sajaan berarti sungguh-sungguh.

Maka saat hari Penyajaan ini bermakna bahwa kita telah berniat dengan segenap hati (sungguh-sungguh) atai benar-benar siap dalam mlaksanakan hari kemenangan Dharma (kebaikan) ini. Umat Hindu di Bali, saat hari Penyajaan ini dilakukan dengan tradisi jajan sebagai kelengkapan dalam pembuatan sesajen atau upakara sebagai upaya kesungguhan dalam menyambut hari raya Galungan.

3. Penampahan.

Penampahan jatuh pada hari selasa/ Anggra Wage Wuku Dungulan yaitu sehari sebelum Galungan.
Nampah
yaitu kegiatan memotong hewan seperti ayam, babi untuk dijadikan olahan-olahan seperti sate lembat, sate asem, jepit babi, urutan dan lain sejenisnya.
Hari penampahan merupakan suatu kesempatan terakhir dari Sang Kala Tiga Wisesa yaitu Sang Bhuta Amangkurat untuk menggoda ketabahan hati umat manusia. Kegitan nampah didahului dengan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, agar kelak bila kembali lahir ke dunia mendapatkan kesempatan dan tempat yang lebih baik.

Upacara atau banten pada hari Penampahan Galungan :

    1. Untuk di Pekarangan Rumah yaitu pada halaman atau tengah natah dan di lebuhya itu di depan pintu keluar perumahan, berupa :
      Segehan agung dan Nasi sasah berwarna putih 5 tanding
      diletakkan mengarah ke timur, nasi sasah merah 9 tanding mengarah ke selatan, dan nasi sasah ireng/ hitam 4 tanding, mengarah ke utara.
      Masing-masing dilengkapi ulam daging babi berisi lawar urab merah, urab putih, canang genten, toya anyar, dupa dan tabuh-tabuh.
      Semua upakara banten ditujukan kepada Sang Bhuta Amangkurat/ Sang Kala Tiga Wisesa, bertujuan untuk mengembalikanNya ke tempat asalnya dan menghentikan godaan serta gangguannya dari umat manusia. Diupacarakan siang hari setelah memasak.
    2. Untuk anggota keluarga dan senjata yang digunakan dalam kehidupan, berupa : Byakala/Byakaon, Prayascita dan Tebasan Pamiyak Kala.
      Dilakukan sore hari setelah persiapan selesai.
      Bertempat di Natar pekarangan, ditujukan pada Bhuta Kala/Sang Kala Tiga Wisesa. Upacara mabyaka dilakukan oleh semua anggota keluarga kecuali yang belum maketus atau tanggal gigi.
    3. Sebuah Penjor yang lengkap memakai Sanggah, Sampyan, lamak, gantung-gantungan. Bahan penjor memakai sebatang bambu yang ujungnya melengkung ke bawah, berisi : plawa, pala bungkah, pala wija, pala gantung, raka-raka, kain putih kuning raranggitan dan sampyan penjor pada ujung bambunya. Penjor dipancangkan pada sore hari setelah “mabyaka’ selesai di sebelah kanan pintu keluar pada lebuh, bermakna seagai tanda kemenangan dharma melawan adharma.
4. hari Galungan

Semua anggota keluarga melakukan persembahyangan bersama diawali dari tempat pemujaan para leluhur baik di Pemerajan, Pura Dadia maupun Pura Kawitan lainnya hingga sampai di pura Swagina misalnya pura Subak, Kantor maupun tempat-tempat lainnya bahkan ada yang sampai di pura Dang Kahyangan maupun Sad Kahyangan dimana kita memohon kerahayuan dan sebagai wujud syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widi.

Upacara atau banten pada hari Galungan :

  1. Dihanturkan pada Palinggih seperti: Padmasana, Kamulan, Taksu, Ibu, Dadia, Panti, Paibon, Panunggun Karang, atau lain sejenisnya setingkat dengan itu, berupa:
    Tumpeng Wawakulan atau Jarimpen Dewa, Soda atau Ajuman, Canang Maraka, Canang Pasucian atau Pabersihan, Canang Burat Wangi Lenga Wangi, dan lainnya disesuaikan dengan desa kala patra.
  2. Untuk di Paparuman, Piyasan, Pasambyangan berupa: Sorohan Dapetan Tumpeng Pitu atau Sorohan Peras Pengambyan dilengkapi sasayut, jarimpen, Gebongan, Pajegan, Pasucian Rantasan dilengkapi cecepan ,panastan, dupa, pasepan dan tabuh-tabuh.
  3. Pada Palingih-palinggih kecil seperti: Tugu, ulun sawah atau ladang dan lain sejenisnya terdiri dari : tumpeng penyajaan atau banten pakideh, cacahan, soda, canang maraka, segehan, canang pabersih dan canang genten, toya anyar, dupa atau asep serta tabuh-tabuh.
  4. Pada kamar-kamar di atas tempat tidur yaitu pada Palangkiran, dapur, tempat air, tempat menyimpan beras, padi, tempat bekerja atau berdagang dan lain sejenisnya, berupa tumpeng panyajaan atau banten pakideh, soda dan canang maraka.
  5. Pada binatang-binatang / gumatat-gumitit (sarwa prani), peralatan yang telah membantu dan lain-lain sejenisnya ,dihaturkan upakara yang ditujukan kehadapan “sedahan”, seperti sedahan rayap, semut, berupa tumpeng penyajaan, canang maraka, disesuaikan dengan desa kala patra.
  6. Kehadapan Sang Hyang Galungan/Sang Hyang Dharma atau Bhatara Sarining Galungan, dihaturkan upakara berupa:
    tumpeng 2 buah agar besar lengkap dengan tatandingannya, gebongan, pajegan, tumpeng panyajaan, tumpeng wawakulan/Jaringan Dewa, soda, canang maraka, canang pabersih, canang burat wangi, panyengeng, segehan dilengkapi rantasan, cecepan, panastan, pasepan, toya anyar, tabuh-tabuh.
  7. Pada lebuh di depan pintu keluar pekarangan, berupa : segehan, tumpeng pangayaan, canang maraka, toya anyar, dupa, tabuh-tabuh dan api takep.

Penyelenggaraan Upacara :

  • Selaku awal dilakukan pembersihan pada tempat-tempat pelaksanaan upacara.
  • Memasang sarana perlengkapan berupa busana/raja pangangge, pada palinggih-palinggih, tempat-tempat suci selanjutnya memasang lamak, candiga, sampyan, gatung-gatungan, plawa atau don kayu. Ada kalanya pada hari galungan dilakukan saling “ngejot banten” pada keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan sebelum galungan dan melahirkan anak. Maksudnya adalah untuk memohonkan agar kepada mereka dianugerahkan kekuatan lahir dan batin serta rukun dalam lindungan Sng Hyang Dharma.
  • Menghaturkan upakara yang telah dipersembahkan pada tempanya masing-masing dilanjutkan dengan pelaksanaan persembahyangan bersama, matirtha dan majiba, lanjut ngalebar dan nyurud upakara yang telah dihaturkan.

Ucapan Mantra untuk menghaturkan banten tersebut :

Om pasang tabe pekulun (sang Kadali puspa) Ulun angaturaken sarining Sang Hyang Siwa Raditya, sarining Sang Kadali puspa, sarining ngamanah, angastuti Bhatara Siwa Tata-Gata, mwang Bhatara Dharma, Mwang Budha sarwa Dewa-Dewi sama daya, kajenengan dening Sang Hyang Tri Purusa awas sajinira telung warna kabeh, winugrahan purnaning jadma, menadi sarwa tinandur murah kang sarwa tinuku, dirgayurastu tatastu astu ya namah.

Ucapan Mantra untuk menghaturkan banten di tempat pengayatan :

Pekulun Bhatara sarinin Galungan, manusan nira kina weruhaken sarining Galungan, ingsun weruh sarining Galungan, angisep sari rahina wengi angisep sarining Bhuwana kabeh dadi ya ngulun Bujangga luih akas dang ratu suka sugih sariran ingulun, kedep anak-anak aputu buyut tumus tekeng anak putu buyut ning ngulun Sang Hyang Tri Oda Dasa Saksi anyaksi ngulun.

 




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga