Implemantasi Tri Hita Karana untuk Harmonisasi dan Kedamaian


 

Tri Hita Karana dalam Praktek

 

Tri hita karana seharusnya lebih dipahami sebagai filosofi hidup untuk mewujudkan sikap hidup seimbang dan konsisten untuk sradha dan bhakti pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, mengabdi pada sesama manusia dan memelihara kesejahteraan alam lingkungan. Tri hita karana tidak bisa dipahami sepotong-potong. Tri hita karana sebagai suatu kesatuan yang utuh, sinergis dan konsisten sebagai filosofi hidup universal. Tri hita karana merupakan sebuah konsep yang sangat monumental dan bersifat adiluhung dalam membangun keharmonisan yang penuh dengan nilai-nilai kebajikan, nilai moral, nilai etika, nilai persatuan, sehingga terjadi kehidupan yang harmonis antara semua ciptaan Tuhan sebagaimana pada umumnya masyarakat di Bali terbiasa mengucapkan Om Swastyatu sebagai perwujudan harapan semoga selalu selamat dalam lindungan-Nya, menjadi kalimat awal dalam tegur sapa dengan sesama sebagai bentuk implementasi aspek parhyangan. Begitu pula dengan mengucapkan kata Om shantih, shantih, shantih Om untuk mengakhiri pertemuan sebagai perwujudan harapan, semoga selalu damai di hati, damai bersama, dan damai dengan lingkungan alam menjadi bentuk implementasi aspek pawongan dan aspek palemahan.

Dalam tri hita karana Umat Hindu diajarkan bahwa strada bhakti pada Tuhan harus juga diwujudkan dengan menjaga keharmonisan dengan sesama, serta menjaga hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan di sekitar kita. Umat Hindu juga diminta untuk selalu memegang teguh ajaran wasudewa kutum bhakam, kita semua bersaudara. Yang menekankan arti penting persaudaraan yang sejati, karena kita semua berasal dari sumber yang sama yakni dari Tuhan Yang Maha Esa.

Cara damai Tri Hita Karana tidak dapat dipenuhi dengan hanya menekankan aspek spiritual melalui pendekatan filosofis. Ini harus dipraktikkan secara konkret dalam bentuk aturan dan norma sosial. Keharmonisan kehidupan sosial tidak dapat bertahan tanpa sesuatu yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Dengan demikian, masyarakat membutuhkan aturan dan kontrol sosial berbasis moral yang dapat menjamin kebebasan individu. Keyakinan moral harus menjadi solusi untuk masalah ini sebagai “gerbang” untuk mengundang kreativitas, produktivitas, dan tanggung jawab anggota masyarakat untuk berkontribusi peran mereka demi kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat itu sendiri.

Untuk memenuhi tujuan yang disebutkan di atas, orang Bali membuat sistem awig-awig dan desa pekraman. Kedua aturan ini akan menjadi pelindung (pamikukuh) dan juga “motivator” untuk Tri Hita Karana. Desa Pekraman juga berfungsi sebagai sumber kebahagiaan dan kesejahteraan (kasukertan) dalam masyarakat Bali. 

Pengaruhnya, pada kenyataannya, kenyataan yang digambarkan di desa pakraman sebagai norma dan sistem nilai yang dibagikan kepada pedoman perilaku. Sebagai gantinya, tri hita karana adalah batang tubuh dari awig-awig desa pakraman, aturan, dan / atau hukum adat yang mengikat perilaku sosial keagamaan dalam rangka mewujudkan sukerta tata parhyangan, pawongan, dan palemahan. Desa pakraman adalah sebuah desa untuk umat Hindu, yaitu tempat untuk memperoleh kasukertan (kesejahteraan).

Desa pekraman, awig-awig, dan pararem (peraturan tradisional Bali) sebagian besar berpusat di Pawongan karena mengatur hubungan antara sesama anggota desa atau Banjar. Namun, ketiga aturan itu juga memuat Parahyangan dan Palemahan sebagai satu kesatuan dari Tri Hita Karana. Lingkungan manusia (Pawongan) selalu membutuhkan dukungan dari lingkungan eksternal, terutama lingkungan transendental (Parahyangan) dan lingkungan (Palemahan) untuk menciptakan hubungan yang harmonis. Hubungan yang harmonis karenanya dapat menjadi sumber kesejahteraan dan kebahagiaan.

Desa Pekraman dan awig-awig berperan terbesar adalah menciptakan jejaring kehidupan di antara anggota masyarakat. Budaya Bali memandang manusia lebih sebagai makhluk sosial daripada individu. Ini berarti bahwa orang Bali tidak pernah sendirian, kesepian, atau dikucilkan dari masyarakat, kecuali jika mereka melanggar hukum adat atau hukum pidana. Aturan itu mengikat orang Bali melalui kepatuhan hukum alam / Palemahan, hukum moral / Pawongan, dan kekudusan hukum ilahi / Parahyangan. Sukarma menyimpulkan bahwa “… Melalui tiga jenis hukum, manusia dipaksa untuk mengakui hukum-hukum itu dan mendorong kebebasan negara untuk menentukan kualitas tanggung jawab mereka. Untuk mencapai kebebasan dan tanggung jawab, itu adalah inti dari semua pengendalian moral ”.

Hubungan antara manusia dan Tri Hita Karana kemudian didefinisikan dalam konsep dharma dan karma. Dharma dapat didefinisikan dengan “perilaku baik” dan definisi karma dapat dianggap sebagai “buah dari perbuatanmu”. Jika manusia melakukan perbuatan baik, mereka akan menemui hasil yang baik. Di sisi lain, jika mereka berperilaku buruk maka perbuatan terburuk akan menang. Konsep Dharma dalam Tri Hita Karana membawa tiga dimensi: dharma palemahan, dharma pawongan, dan dharma parahyangan.

Dharma palemahan berarti manusia harus mengikuti hukum kodrat. Hukum kodrat sangat ketat dan tidak dapat dihindari karena alam bersifat memaksa dan memiliki kehadiran yang lebih besar daripada manusia. Inilah yang disebut agama Hindu oleh Hukum Rta. Hukum kodrat terdiri dari kehidupan, kematian, penuaan, pergerakan air, letusan gunung berapi, dan sebagainya. Manusia tidak dapat melakukan apa pun untuk menghindarinya, sehingga manusia harus menyadari posisi mereka dan beradaptasi dengannya (mawas diri). Namun, manusia juga dapat mengeksploitasi alam dengan keserakahan mereka. Dengan demikian kondisi ini mengakibatkan bencana yang membahayakan manusia itu sendiri. Bukannya Alam adalah “kemarahan” atau “kejahatan” yang dapat membalas dendam kepada manusia, tetapi Alam memiliki keseimbangannya sendiri. Jika intrusi keserakahan manusia mengganggu keseimbangan ini, maka Alam akan mengembalikan keseimbangannya melalui caranya. Manusia dengan demikian bisa mendapatkan dampak negatif dari “keseimbangan ulang” Alam ini. Untuk menghadapi situasi ini, manusia perlu mengembangkan “pengendalian diri” untuk menghentikan keserakahan mereka yang merusak.

Dharma pawongan didasarkan pada perilaku ideal terhadap manusia lain. Ini disebut keharusan moral antara hubungan manusia yang dharma akan menjadi kewajiban kebaikan yang baik. Dharma pawongan berdasarkan Tri Kaya Parisudha yang melibatkan berpikir benar (Manacika), berbicara benar (Wacika), dan tindakan yang baik (Kalika). Tri Kaya Parisudha juga menggarisbawahi pentingnya “pengendalian diri” yang mencakup:

Pertama, tindakan pikiran, termasuk (1) tidak bertindak, (2) tidak marah kepada semua makhluk, dan (3) percaya pada hukum Karma Phala. Kedua, tindak tutur termasuk (1) tidak berbicara dengan kasar, (2) tidak mengatakan hal buruk, (3) tidak mengatakan fitnah, dan (4) tidak berbohong. Ketiga, tubuh bertindak, termasuk (1) tidak membunuh, (2) tidak mencuri, dan (3) tidak mengumbar nafsu bercinta.

Terakhir, Dharma Parahyangan mencakup sisi transendental kehidupan manusia, terutama ketulusan Tuhan. Jika manusia memiliki cinta yang tulus terhadap Tuhan, mereka akan menyerahkan diri pada kehendak Tuhan dan bertindak sebagai sifat ciptaan Tuhan. Parahyangan adalah konkretisasi ajaran moral Hindu yang mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan Dewa ritual dan upacara keagamaan lainnya. Pusat Dharma Parahyangan terletak pada konsep Bhakti.

Bhakti adalah pusat doktrin moral, yaitu kontrol diri yang diperlukan untuk mengatur perilaku moral. Perilaku yang didasarkan pada bhakti terlalu jauh dari keinginan ikan dan melanggar perintah dan larangan moral. Misalnya, jangan melanggar larangan Tuhan, yaitu “tidak boleh mencuri” atau “tidak boleh melakukan kekerasan” berarti telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip bhakti.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga