Mitologi Palinggih Multikultur di Pura Gambur Anglayang


Setelah melakukan persembahyangan, akhirnya para nahkoda, awak kapal, begitu juga masyarakat sekitar, kembali bekerja sama untuk mencoba melalakukan perbaikan terhadap kebocoran yang terjadi pada badan kapal. Selama perbaikan berlangsung, maka selama itu pula perahu kapal tetap diizinkan bersandar di dermaga Kuta Banding. Selama kapal bersandar, terjadi jalinan interkasi yang semakin erat antara masyarakat lokal dengan para pedagang yang berlatar belakang multi etinik. Keduanya, saling bercengkrama begitu juga saling bertukar pengalaman seputar kondisi serta pengalaman perekonomian masing-masing. Ternyata, para awak kapal tersebut memiliki pengetahuan dan pengalaman, yang tidak saja terpaku pada bidang pada sektor ekonomi semata. Namun, mereka juga memiliki pengetahuan serta pengalaman lebih terkait dengan wawasan keprajuritan, militer, pertanian, maupun kelautan. Para awak kapal, akhirnya memberikan seluruh pengetahuan yang dimilikinya, pada masyarakat sekitar yang notabene berprofesi sebagai pedagang, nelayan dan petani. Sehingga masyarakat lokal di kawasan dermaga Kuta Banding, mendapatkan inspirasi baru untuk melakukan pengembangan potensi daerah yang sesuai dengan keahlian dan profesi mereka masing-masing.

Setelah beberapa lama melakukan perbaikan, akhirnya kebocoran pada badan perahu berhasil diperbaiki. Air laut yang sebelumnya meresap masuk ke badan kapal, akhirnya dapat dikuras sehingga perahu berada pada kondisi normal dan stabil. Normalnya kondisi perahu, membuat seluruh awak kapal merasa lega, karena mereka dapat kembali melakukan misi perdagangan begitu juga kembali ke kediamannya masing-masing.
Sebelum kembali melakukan pelayaran, maka antara awak kapal yang beragam etnik dan masyarakat lokal saling mengucapkan rasa terimakasih. Awak kapal berterimakasih kepada masyarakat lokal, karena dengan setia dan ikhlas telah menampung awak kapal selama perbaikan kapal, begitu juga telah berkenan untuk ikut serta membantu melakukan perbaikan pada badan kapal yang mengalami kerusakan. Sedangkan masyarakat lokal sangat berterimakasih kepada para awak kapal, karena telah bersedia berbagai ilmu dan pengalaman terkait dengan kehidupan ekonomi perdagangan, militer, pelayaran, dan pertanian kepada mereka, sehingga memiliki inspirasi serta pengetahuan baru dalam meningkatkan kesejatraan mereka. Sehingga terwujudlah sebuah sebuah jalinan interaksi serta ingetrasi sosial yang sangat mendalam, antara individu atau masyarakat dalam bingkai keberagamaan suku, ras, dan agama.

Ucapan rasa terimakasih serta kuatnya integrasi dari masyarakat multi etinik tersebut, pada akhirnya diimplementasikan secara bersama melalui pembangunan Palinggih, diareal Palinggih utama yang sebelumnya dijadikan sebagai tempat memohon keselamatan dan pernyataan Kaul Sesangi. Palinggih tersebut, pada intinya merupakan bagian dari pembayaran atau pelunasan terhadap Kaul Sesangi yang sempat di sampaikan oleh para awak kapal, ketika mengalami kepanikan menghadapi kebocoran yang terjadi pada awak kapal. Disisi lian, pembangunan Palinggih tersebut, juga dijadikan sebagai simbolisme maha suci, yang tercipta dari adanya sikap saling menghormati, membantu, begitu juga toleransi yang terwujud dalam bingkai masyarakat multikultur.
Pendirian maisng-masing Palinggih, memang tetap mempergunakan acuan kontruksi arsitektur yang berlaku secara umum di Bali. Akan tetapi, pada beberapa Palinggih memang ditempatkan beberapa patung atau Arca yang memiliki corak berbeda sebagaimana corak patung Bali pada umumnya. Hal ini dilakukan atau diusulkan oleh para awak kapal, sebagai rasa hormat, terimakasih dan penghargaannya terhadap masyarakat lokal dari etnik Hindu Bali, yang telah berkenan memberikan bantuan selama perbaikan kerusakan kapal dilakukan. Meskipun demikian, masyarakat lokal yang berasal dari etnik Hindu Bali juga memiliki rasa terimakasih, hormat serta penghargaan yang tinggi terhadap para awak kapal, yang notabene memiliki latar belakang perbedaan ras, suku dan agama, atas pengetahuan baru yang telah diberikan. Ucapan rasa terimakasih dari masyarakat lokal (etnik Hindu Bali), akhirnya diimplementasikan dengan memberikan penyebutan atau penamaan terhadap masing-masing Palinggih yang baru dibangun, sesuai dengan klasifikasi etnik yang dimiliki oleh masing-masing awak kapal.

Sehingga dengan adanya aksi saling menghormati dan menghargai yang disimboliskan melalui pendirian Palinggih tersebut, maka terwujudlah sebuah Pura yang menghimpunan beberapa Palinggih atau bangunan suci, dengan penamaan yang memakai keberagaman etnis. Adapun klasifikasi Palinggih yang memiliki penamaan berdasarkan latar belakang etnik antara lain : Palinggih Ratu Agung Dalem Mekah (etnis Islam); Palinggih Ratu  Agung Syahbandar (etnis Cina dan Buda); Palinggih Ratu Agung Melayu (etnis Melayu); Palinggih Ratu Ratu Bagus Sundawan (dari etnis Jawa Barat dan beragama Kristen); dan Palingih Bhatara Ratu Gede Siwa (Palinggih pokok, yang berasal dari etnis Hindu Bali).

Kemudian, Pura yang didalamnya menyimpan Palinggih bernuansa multikultur tersebut, diberi nama Pura Gara. Namun seiring waktu berjalan, akhirya penamaan begitu juga penyebutan terhadap istilah Pura Gara kembali mengalami perubahan menjadi Pura Kerta Negara Loka atau yang saat ini, lebih populer disebut dengan nama Pura Negara Gambur Anglayang.

Seiring dengan perkembangan sistem tata kelola pemerintahan Desa, begitu juga adanya kontribusi besar dari Pangempon dan pemerintah daerah, akhirnya Pura Gambur Anglayang juga mengalami beberapa proses renovasi. Pelaksanaan renovasi tersebut, didasarkan atas kondisi Palinggih begitu juga bangunan penunjang pada Pura yang sudah mulai mengalami kerusakan. Pemugaran yang dilakukan, tetap mempertahankan posisi asli dari kedudukan atau struktur penempatan Palinggih sebelumnya. Disisi lain, penggunaan ornament serta karakteristik asli pada Palinggih, juga tetap dipertahankan sebagaimana kondisi asli sebelumnya. Sehingga hal ini mampu mempertahankan suasana begitu juga karakteristik multicultural yang menjadi daya tarik utama dari keberadaan Pura Negara Gambur Anglayang. 


Sumber
Palinggih Multikultur di di Pura Gambur Anglayang

I Made Adi Surya Pradnya



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga