Pelaksanaan (Dudonan) Upacara Ngenteg Linggih


18. Upacara Tawur (Bhuta Yadnya)

Upacara ini tujuannya meningkatkan dan mempermulia segala isi alam dari yang negatif agar menjadi positif untuk keseimbangan ekosistem. Sebab dalam alam yang ekosistemnya seimbang itulah manusia akan memperoleh kehidupan yang bahagia lahir bathin.

Di samping itu kekuatan-kekuatan roh yang negatif dapat dimulyakan sehingga tidak mengganggu kehidupan spiritual manusia, bahkan sebaliknya dapat membantu manusia dalam kehidupannya (bhuta ya, dewa ya). Mengorbankan binatang yang sedang disayangi adalah lambang keikhlasan manusia untuk mengabdi kepada alam, karena manusia telah banyak mendapat kehidupan dari alam ini.

Dengan mengorbankan binatang yang disayangi berarti melepaskan ikatan sifat-sifat keraksasaan, keserakahan manusia. Kalau dunia ini dihuni oleh manusia-manusia yang serakah, yang tidak pernah ikhlas berkorban, alam ini serta kehidupan manusia akan bahaya dan akhirnya  sengsara.

Melenyapkan keserakahan dengan menumbuhkan rasa ikhlas itulah arti dan makna upacara Tawur. Menggunakan binatang-binatang yang sulit didapat adalah lambang kesungguhan hati, melestarikan dan mempermulya segala unsur alam demi kehidupan manusia.

Pelaksanaannya harus dengan kesungguhan hati, baik memohon kehadapan Tuhan Yang Maha Esa maupun dalam usaha-usaha konkrit seperti melindungi sumber-sumber air, menjaga kelestarian tumbuh-tumbuhan di hutan, di ladang, di sawah dan lain-lainnya. Menjaga kesuburan tanah dan memelihara binatang yang amat dibutuhkan dalam hidup ini adalah tujuan Tawur. Upacara ini juga menggunakan penawaratna, berkaitan dengan sanggar tawang tempat ngadegang Hyang Parama Siwa dan sesuai dengan caru yang dipersembahkan yang memakai sarana kerbau dan binatang lainnya.

19. Sate Tungguh/Sate Tegeh/Gayah

Sate Tungguh, atau yang lainnya, dipakai dalam rangkaian Bhuta Yadnya. Sate Tungguh (Tegeh) merupakan perkembangan banten Bebangkit. Bebangkit adalah simbol energi. Tetapi, Sate Tungguh adalah energi yang masih bersifat negatif, yang kemudian menjadi positif setelah diberikan puja mantra oleh Ida Pedanda dengan diberi laba caru yang ada di bawahnya. Karena masih bersifat Negatif maka sarananya dibuat dari daging babi. Daging babi dalam agama Hindu bersifat tamas, yaitu negatif. Atribut-atribut penting dalam Sate Tungguh ini antara lain berbentuk sate babi dalam berbagai hitungan menurut kiblat penguasa penjuru angin, yaitu Dewa Nawa Sanga dengan segala macam senjatanya. Ada berbentuk daging jejaring, isin jeroan babi, kober (bendera), payung dan lain-lainnya yang menggambarkan isi bhuhloka (Mayapada) yang bersifat Tamas (negatif).

20. Pregembal/Sarad

Pregembal, atau yang terbesar, disebut Sarad. Wujud upakara ini bersifat sattwam (positif) diletakkan berdampingan dengan Sate Tungguh, menggambarkan unsur negatif dan positif senantiasa berdampingan dalam kehidupan. Sebagaimana aliran listrik untuk menerangi lingkungan. Karena bersifat sattwam (positif), maka bahannya pun harus bersifat demikian, yaitu beras yang dijadikan tepung dengan warna-warna tertentu. Tepung berwarna itu, dibentuk kedalam bermacam-macam misalnya wujud berbagai jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, manusia (Cili), Planet, Bidadari, dan lain-lainnya yang menggambarkan isi alam semesta. Bentuk keseluruhannya adalah bentuk gunung. Gunung adalah simbol kesucian, sekaligus pusat orientasi kerahayuan (kemakmuran). Semua isi gunung  tercermin di dalam Pragembal, sebagai simbul Bhuana Agung. Ditambah lagi dengan bentuk senjata-senjata Dewa Nawa Sanga untuk mengimbangi persenjataan Sate Tungguh.

Sate Tungguh sampai Gayah didampingi Pragembal sampai Sarad, merupakan simbol keseimbangan kehidupan yang menciptakan kebahagiaan, yaitu Tri Hita Karana. Hal ini merupakan harapan agar manusia mengerti dan hidup seimbang spiritual dan material. Dengan hidup spiritual dan material secara seimbang maka hidup manusia akan mapan.

21. Upacara Mapedanan (Manusa Yadnya)

Upacara ini, dilaksanakan dengan cara berjalan beramai-ramai merebut benda-benda di “Pedanan”. Merupakan lambang untuk melepaskan diri pribadi dari sifat-sifat yang tidak baik. Segala sifat tidak baik, itu disalurkan ke dalam upacara dengan benda-benda di Pedanan, diharapkan sifat-sifat yang negatif yang melekat pada diri pribadi masing-masing hilang lenyap sehingga manusia menjadi suci ikhlas, tidak serakah. Di samping itu ada unsur “Dana Punia” yang diberikan kepada orang-orang lain diluar keluarga yang melakukan upacara Pedanan ini atau Keluarga Besar Grhya Jero Gede Sanur. Mereka dari keluarga yang bersangkutan tidak boleh ikut berebut suatu apapun. Mereka harus mementingkan orang-orang diluar lingkungannya.

22. Upacara Mapepada (Bhuta Yadnya)

Tujuan utama upacara ini adalah menyucikan secara ritual binatang-binatang yang akan dijadikan kurban secara lahir bathin. Karena itu, binatang diupacarai dengan “Sesaji Biyakala”, lambang lahiriah dan “Upacara Prayascita” lambang penyucian rohaniah. Sesudah itu dilakukan upacara Mejaya-jaya, lambang permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tujuan agar roh hewan yang akan dijadikan kurban mendapat tempat yang layak sesuai dengan fungsinya sebagai binatang kurban untuk tujuan yang suci. Terakhir dilakukan upacara Daksina yaitu keliling tiga kali dari timur ke selatan yang melambangkan bahwa upacara ini benar-benar menuju kesucian. Berputar tiga kali ke kanan sebagai jalannya jarum jam adalah lambang menuju jalannya Tuhan.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga