Prilaku menjaga Kesucian Pura sesuai Lontar Krama Pura


Pura adalah tempat suci umat Hindu. Dalam lontar Krama Pura tersurat mengenai tata cara dalam hal berperilaku agar tidak sembarangan di Pura. Hal itu bertujuan untuk menjaga kesucian Pura itu sendiri. Tata cara dalam berperilaku yang tersurat dalam lontar Krama Pura ini merupakan norma kesusilaan yang berlaku bagi setiap umat Hindu khususnya ketika berada di tempat suci Pura. Tulisan ini merupakan ulasan terhadap isi dari salah satu karya sastra agama Hindu di Bali yakni lontar Krama Pura. Data disajikan dengan pendekatan deskriptif dan interpretatif. Adapun ajaran yang tersurat di dalam lontar Krama Pura terkait dengan perilaku di tempat suci Pura adalah suci laksana yang mengarah pada pengendalian pikiran, perkataan, dan perbuatan yang harus disucikan.

Tidak jarang umat Hindu terjebak dalam perilaku yang tidak sesuai dengan sesana sebagai Hindu, sehingga mempengaruhi perilaku yang menyimpang. Jadi perlu digali pedoman untuk berperilaku bagi umat Hindu. Salah satu pedoman untuk berperilaku di kuil adalah Naskah Lontar Kramapura. Lontar Kramapura adalah sejenis papirus Sesana yang berisi ajaran perilaku untuk menjaga kesucian pura. Naskah Lontar ini menguraikan ajaran dan larangan yang tidak diizinkan jika anda ingin memasuki bait suci. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam Lontar Kramapura ini

  1. Doktrin menjaga kesucian Pura dimana doktrin ini memuat tugas untuk para pengempon dan pemaksan Pura untuk menjaga kesucian tetap terjaga.
  2. Ajaran Sesana Pemangkuan, dalam doktrin ini memuat kewajiban para pemangku kepentingan sebagai Pangempon Pura dalam menjaga kesucian dan kesakralan candi melalui peningkatan jnana dengan kewajiban belajar sesana menjadi pemangku.

Naskah Lontar Kramapura ini juga memuat pembatasan tempat-tempat suci seperti

  1. Berbagai macam persembahan yang tidak boleh diletakkan di kuil,
  2. Larangan bagi orang memasuki kuil seperti untuk pria yang sedang menstruasi, cuntaka dan lain-lain.
  3. Larangan bagi orang yang berperilaku buruk seperti mengaku kerauhan, mencuri di kuil, mengatakan bahwa tidak baik di kuil, orang yang berperang di kuil, dan berperilaku yang tidak tahu sopan santun.

Lontar Kramapura tergolong naskah muda karena dilihat dari bahasa yang dipakai sebagai wahananya yaitu bahasa Kawi-Bali. Naskah Lontar ini tersimpan di Kantor Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. Lontar yang disimpan di Kantor Pusat Do-kumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi Bali di-simpan di kropak dengan kode H/XI/DISBUD. Naskah Lontar Kramapura ini ditulis pada lontar yang memiliki panjang 34,5 cm dan lebar 3 cm tersedia dalam bentuk lontar dan terjemahan.

Naskah Lontar Kramapura yang disimpan di Kantor Pusat Dokumentasi Dinas Kebudayaan Propinsi Bali telah dialihaksara dan dialihbahasakan atau diterjemahkan. Pemilihan Naskah Lontar Kramapura yang diperoleh dari Kantor Pusat Dokumentasi Propinsi Bali adalah dalam bentuk salinan teks untuk lebih memudahkan dalam mengkaji dan memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Lontar ini termasuk Lontar Sesana, yang lebih mengkhusus pada tata cara masuk tempat suci.

Naskah Lontar Kramapura secara tekstual merupakan naskah tradisional yang mengandung tata cara berprilaku dan laranagan-larangannya memasuki Pura. Lontar ini disusun dalam bentuk teks menggunakan Bahasa Kawi Bali dengan Bahasa Indonesia sebagai penjelasannya.

Sinopsis/Ringkasan Naskah Lontar Kramapura

Pada bagian awal Naskah Lontar Kra-mapura ini berisikan tentang ajaran Sang Hyang Dewa Sasana melalui sabda. Yang pertama dise-butkan adalah kewajiban sebagai pengempon Pura yang harus mematuhi aturan berupa ajaran Tri-wikrama. Triwikrama dari asal katanya terdiri dari kata Tri artinya tiga, Wi artinya yang dijunjung, Krama artinya perbuatan, Dharma artinya takdir, Gama artinya pegangan, Tirtha artinya dengan air suci, Tirtha juga artinya kehidupan. Selanjutnya pada alenia berikutnya berisikan tentang krete-ria alat-alat atau sesajen yang dianggap kontor/ cemer seperti diantarnya dilangkahi oleh anjing, dan dilangkahi oleh manusia, dipakai mainan oleh anak-anak, dan barang belanjaan di pasar sehing-ga perlu disucikan oleh Pendanda melaui Tirta Pabersihan.

Selanjutnya pada alenia berikutnya ber-isikan tentang hasil alat-alat yang telah sudah disucikan dengan tirta dan layak untuk dijadikan sesajen kembali, selanjutnya jika di Pura mene-mukan orang kesurupan dan mengaku dewa yang turun, maka perlu dites dengan sarana-sarana un-tuk mengetahui kebenaran dari orang kesurupan tersebut. Selanjutnya pada bait berikutnya ter-dapat larangan bagi orang haid memasuki pura maka sepatutnya dihukuman dengan didenda se-besar 179 kepeng, dan harus melakukan peyucian di pura itu.

Selain itu, orang yang tidak boleh masuk pura adalah orang gila, orang yang menstruasi, orang cuntaka karena kematian, pencuri. Di are-al pura, orang dilarang untuk marah sampai me-maki-maki, bicara ngacuh, bersanggama, berse-lingkuh, bahkan untuk memperbaiki pakaian. Yang paling dilarang masuk pura adalah orang panten (orang yang dosanya tidak terampuni), yaitu orang yang memperkosa, yang laki-laki dari golongan sudra sedangkan wanitanya dari golongan tri wangsa (brahmana, ksatriya, wesya). Orang yang mengawini yang tidak patut dikawini (gamia-gamana) juga dilarang masuk pura. Ada juga yang disebut caci/aka, yaitu seorang wanita yang telah cukup umur namun tidak menstruasi, walaupun sudah berobat pun juga tidak menstru-asi, dilarang masuk pura lebih-lebih untuk mem-buat perlengkapan sesajen.

Selanjutnya berisikan tentang aturan-atur-an orang cuntaka akibat kematian baik cuntaka akibat kematian keluarga ngarep hingga kematian Jro Mangku di desanya. Dalam lontar ini juga ber-isikan tentang hukuman dan larangan bagi pencuri di Pura baik yang dilakukan oleh orang yang nor-mal ataupun orang gila. Lontar ini juga mengatur tentang larangan orang memaki-maki atau berbic-ara yang tidak sesuai dengan norma kesopanan di Pura. Lontar juga mengatur orang-orang yang bersetubuh di Pura mengenai hukuman dan akibat dari prilakunya tersebebut. Lontar juga mengatur bagi orang yang suka menduduki palinggih yang ada di Pura, jika hal tersebut dilakukan maka akan mendapatkan hukuman.

Lontar ini juga mengatur larangan-laran-gan bagi Jro Mangku dalam melakukan sesane nya sebagai orang suci, seperti misalnya kewajiban pemangku yang harus mempelajari tata cara pelajaran Sangkul Putih. Juga disebutkan tentang kewajiban-kewajiban bagi Jro Mangku didalam Pura seperti harus melakukan bersih-bersih ter-masuk ajaran Jro Mangku yang tidak boleh ser-akah. Pada bagian akhir lontar ini berisikan ten-tang upaya penyucian jagat bila terajadi keanehan di dunia seperti yang disebutkan ciri-cirinya oleh Lontar Widhi Sastra Sangarabhumi, serta Lontar Prakempaning Jagat.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga