Upacara Ngelungah dilakukan untuk bayi yang meninggal sudah berusia diatas 42 hari, namun belum meketus / tanggal gigi. Ini adalah sebuah prosesi pengembalian Atman bayi yang tidak sempat terlahir di dunia.
Bayi yang sudah terbentuk dalam rahim sudah memiliki atman maka janin yang tidak sempat lahir baik keguguran atau digugurkan harus dikembalikan ke alam Sunya agar menyatunya kembali zat Panca Maha Bhuta dan membersihkan atman dengan tirta penglukatan rare agar atman dapat kembali bereinkarnasi. Apabila jika tidak dilaksanakan maka badan halus / roh bayi tersebut akan mengganggu kehidupan ayah dan ibunya secara niskala seperti mengalami sakit berkepanjangan, atau sering mengalami kecelakaan, dan rejekinya susah.
Ngelungah yaitu upacara pengembalian unsur Panca Maha Bhuta secepatnya (tidak memerlukan banten teben dan pengaskaran) karena masih berstatus rare, dianggap belum sempat berbuat dosa”. Namun, anak yang berumur diatas tiga bulan dan sudah tanggal giginya almarhum diaben seperti orang dewasa demikian disebutkan ngelungah ini dalam sumber kutipan konsep Panca Yadnya.
Upacara untuk bayi meninggal dilakukan berbeda dengan upacara pada orang dewasa yang sudah meninggal. Dalam lontar Yama Tatwa disebutkan bahwa bayi yang sudah lahir namun meninggal sebelum mencapai umur 42 hari, haruslah dikubur pada saat itu juga tanpa memerlukan dewasa khusus. Selanjutnya jika pada orang dewasa yang meninggal dilakukan upacara Ngaben, maka pada bayi yang meninggal sebelum usia 42 hari tersebut tidak diaben, hanya melakukan upacara Nyapuh Gumukan atau upacara Warak Kruron.
Ngelungah disebut juga Ngasturi yaitu rangkaian upacara Ngaben dan Memukur yang dijadikan satu kesatuan, sehingga jika sudah Ngelungah tidak perlu lagi upacara memukur. Jika ada anak kecil yang meninggal dan sudah pernah meketus/tanggal gigi, maka pada anak tersebut dilakukan upacara Ngaben dan Memukur sama seperti orang dewasa.
Ibu bila mengalami keguguran maka janin tersebut haruslah dikubur pada saat itu juga. Tidak diperbolehkan menginapkan mayat janin atau bayi di rumah. Penguburan tersebut dilakukan tanpa memerlukan dewasa dan tanpa membunyikan kulkul banjar, atau diistilahkan ngemaling.
Anak yang keguguran di dalam kandungan dari usia seminggu sampe seterusnya upacaranya namanya warak keruron/atma pratista. Jika anak itu telah lahir hidup sebelum kepus pusernya meninggal, nama upacaranya ngelangkir. Jika anak itu lahir setelah kepus puser dan sebelum ketus gigi meninggal namanya ngelungah. Setelah anak itu lahir dan ketus gigi meninnggal namanya upacara ngaben.
Dalam kasus makuret karena keguguran tidak disengaja, dapat ditolelir karena jika tidak dilaksanakan calon bayi yang ada akan lahir dalam ketidak sempurnaan bahkan bisa menyebabkan kematian, atau memang karena sudah meninggal dalam kandungan, karena pendarahan, jatuh, salah makan atau karena dijailin orang.
Makuret memiliki dampak positif dan negatif. Seharusnya makuret dilakukan karena alasan yang tepat. Misalnya bagi pasangan suami istri yang memilih makuret karena alasan keguguran memang patut dilaksanakan untuk alasan kebersihan dan kesehatan. Seperti janin tidak berkembang, meninggal dalam kandungan, cacat fisik , pendarahan, dan lain sebagainya.
Secara niskala jika pernah keguguran/makuret perlu dilaksanakan pembersihan melalui upacara warak Keruron. Memohon pada Ida Sang Hyang Semara Reka luar dan dalam dengan amanat weda-weda tertentu yang dimuat dalam Lontar Semara Reka, Punggung Tiwas, Lontar Lebur Gangsa, Rare Angon dan Lontar Sundari Gama.
Anak yang keguguran itu wajib diupacarai, agar tidak mendatangkan efek buruk kedepan bagi ayah ibunya dan keluarga besarnya kelak. Misalnya rejeki sret, Sulit Jodoh, Sakit Sakitan, Boros, Anak Bandel, Perceraian, Mandul, dan masih banyak masalah lainnya.
Namun, jika menggugurkan kandungan dilakukan secara sengaja, disadari atau tidak memberi pengaruh sekala dan niskala bagi orang bersangkutan dan jiwa yang dibuang. Tidak ada upacara yang mampu menebus dosa bagi pelaku menggugurkan secara sengaja janin yang seharusnya hidup di dunia. Serta itu juga harus dipertanggung jawabkan secara hukum yang berlaku.
Dalam Lontar Atma Prasangsa yang berbunyi.
yan ana wong ulah laku asuami sestri amati kang rare mwnag amati smara, selampah laku anadi neb neb namu namu ten sida nadi manusa”.
Artinya
Jika menggugurkan kandungan, anak tanpa dosa. Selama hidup mengalami kehancuran dan matinya, jika renkarnasi akan menjadi uled baled dan Yis Yis Poh. Seterusnya tidak bisa menjadi manusia.
Presesi upacara ngelungah dalam panca yadnya dan filosofinya menurut umat hindu disebutkan sebagai berikut :
1. Ngaturang piuning ke Pura Dalem
Pura Dalem berfungsi untuk pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai bagian dari Kahyangan Tiga yang terdapat di setiap desa adat di Bali. Pura Dalem juga merupakan pemujaan kepada Dewi Durga sebagai Dewa utama dari sekte Bhairawa, sehingga Pura Dalem sangat erat kaitannya dengan setra dan Pura Mrajapati sebagai tempat pemujaan alam kosmis untuk menetralisir kekuatan positif dan negatif. Sehingga di Pura Dalem sebagai unsur pradana, sedangkan di Prajapati sebagai unsur purusa.
Sebelum melaksanakan upacara ngelungah terlebih dahulu melakukan atur piuning atau memohon kehadapan Sedahan setra bahwa akan melaksanakan upacara ngelungah dengan dipimpin oleh pemangku dadia.
Adapun sarana yang dipakai yaitu: Pejati asoroh yang terdiri dari :
Login Membership
Tujuan dilaksanakan upacara ngaturang piuning adalah memohon ijin kehadapan Sedahan setra agar upacara ngelungah dapat dilaksanakan dengan baik.
2. Ngaturang Piuning ke Mrajapati
Prajapati adalah nama lain dari Sang Hyang Widhi, dimana istilah itu terdiri dari dua kata yaitu praja artinya kemanusiaan, dan pati artinya inti sehingga secara harfiah prajapati disimpulkan sebagai inti manusia, yaitu atman (roh) yang sama dengan brahman (Sang Hyang Widhi). Menurut tradisi beragama Hindu di Bali apabila roh si mati yang jasadnya dikuburkan, dipercaya masih dikuasai oleh Sang Hyang Widhi dalam prabhawaNya sebagai Bhatara Mrajapati.
Mrajapati atau merajapati terdiri dari dua kata, meraja artinya menjadi penguasa, sedangkan pati artinya roh, jadi merajapati artinya penguasa roh (Sudarsana, 28 Juni 2019). Pelinggihnya ada di ulun sema berbentuk padma capah, sehingga apabila upacara pitra yadnya, saat mungkah sang sulinggih memohon kepada bhatara Mrajapati untuk diijinkan membebaskan roh si mati untuk diaben dan seterusnya agar bisa mantuk ke alam sunia.
Sarana yang digunakan yaitu Pejati asoroh yang terdiri dari :
Daksina, Peras, Ayunan, dan Tipat Kelanan.
Tujuan dilaksanakan ngaturang piuning di mrajapati adalah untuk memohon ijin agar dibebaskannya roh yang berada di mrajapati agar dapat dilakukan upacara ngelungah dan unsur panca maha bhuta dapat dikembalikan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pada dasarnya manusia melakukan Upacara Ngelungah dilandasi dengan keyakinan atau kepercayaan dengan adanya Attman walaupun janin belum lahir atau belum tanggal gigi tetapi diyakini sudah ada attman/roh yang menghidupi janin tersebut, untuk itu perlu dibuatkan upacara.
3. Ngaturang Piuning ke Sedahan Setra
Sedahan adalah pelindung untuk menjaga ketentraman dan menolak bahaya sehingga terwujud pekarangan dan alam sekitar yang harmonis, bahagia, aman tentram dan penuh kedamaian. Di alam mayapada ini, bumi tidak hanya dihuni oleh mahkluk yang kasat mata, tetapi juga oleh mahkluk yang tidak kasat mata, atau roh. Roh yang gentayangan misalnya roh jasad manusia yang belum dilaksanakan upacara ngaben, atau mati tidak wajar. Mereka akan selalu mencari tempat tinggal dan saling berebutan.
Untuk melindungi diri dari gangguan roh gentayangan tersebut, hendaknya manusia membangun pelinggih sedahan. Sedahan setra salah satunya atau dikenal dengan Ida Ratu Ayu dibangun pada Pura Prajapati sebagai salah satu manifestasi Siwa Durga sebagai penguasa kuburan ini agar roh yang masih Preta secara terus menerus mendapatkan penerangan kerahayuan (Sudarsana, 28 Juni 2019).
Roh preta yang masih di setra di bawah pengawasan Sedahan Setra tersebut statusnya masih dalam proses menuju sorga atau neraka sesuai dengan karma wasana yang bersangkutan, karena itu perlu diupacarai ngaben oleh seorang sulinggih yang telah melakukan dwi jati melalui tata upacara diksa yang mempunyai wewenang luas dan lengkap dalam pelaksanaan Loka Pala Sraya.
Dalam rangka akan dilaksanakan upacara ngaben ini, kususnya upacara ngelungah di Sedahan Setra dipimpin oleh pemangku dadia dengan sarana, Pejati asoroh yang terdiri dari :
Login Membership
Tujuan dari pelaksanaan upacara di Sedahan Setra ini adalah untuk mempemaklumkan kepada sedahan setra atau Ida Ratu Ayu sebagai salah satu manifestasi Siwa Durga sebagai penguasa setra agar roh yang masih preta mendapatkan penerangan kerahayauan dari manifestasi Tuhan yang disebut Ida Ratu Ayu atau Sedahan Setra.
4. Upacara Ngulapin / Ayaban Sawa
Setelah matur piuning ke Pura Dalem, ke Prajapati, dan Sedahan Setra maka selanjutnya dilaksanakan upacara ngulapin atau ayaban sawa di setra. Dengan mengubur sawa terlebih dahulu sehingga gumukan dirapuh hingga rata, lalu diupacarai yang dipimpin oleh pemangku dadia.
Adapun sarana yang digunakan yaitu:
Login Membership
Setelah banten banten di atas ditempatkan di atas gegumuk bambang, maka yang menjalankan upacara yaitu pemangku dadia mulai memohon kepada bhatara/bhatari agar secepatnya roh si bayi kembali suci.
Tujuan dari pelaksanaan upacara ini yaitu agar unsur panca maha bhuta yang ada pada bayi dapat kembali suci, dan membersihkan atman agar dapat kembali bereinkarnasi.
5. Tirta Pengerapuh
Tirta pengerapuh adalah tirta pamuput yang bertujuan untuk memutuskan ikatan purusa dan pradana (prakerti) sang mati guna dikembalikan kepada sumbernya. Tanpa tirta pengerapuh ikatan purusa dan prakerti tak akan bisa diputuskan. Bila dari segi material tirta pengerapuh tidak banyak berarti, namun dari sudut spiritual tirta ini yang menentukan berhasil atau tidak upacara ngelungah dengan maksud untuk mencapai tujuannya sehingga seberapa besar upacara dilaksanakan, jika tidak menggunakan tirta pengerapuh maka upacara tersebut sia sia.
Tirta pengerapuh yang dimohon di Pura Dalem dan Pura Mrajapati oleh pemangku digunakan kusus bagi atman sang putus atau orang mati yang juga berguna untuk menunjukkan arah/sasaran perjalanan roh ke alam sunia loka. Maka tirta pengerapuh sebagai objek cuntaka karena merupakan sarana bagi orang mati.
Dalam upacara ngelungah tirta pengerapuh digunakan untuk roh bayi yang meninggal agar memperoleh jalan menuju tempat yang semestinya diharapkan. Tirta pengerapuh dipercikan pada bungkak nyuh gadang juga pada penyeneng dan sisanya disiramkan, setelah itu diberikan banten ayaban dan semua banten dipendem lalu bambang diratakan.