Upakara dan Cara Ngaturang Guru Piduka


Guru piduka dan bendu piduka adalah nama upakara, sasajen atau banten yang digunakan dalam upacara agama Hindu.
Upakara ini dipersembahkan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa atau leluhur sebagai sarana untuk permohonan maaf dan memohon waranugraha-Nya. Guru piduka berasal dari kata Guru dan Piduka.
Guru menurut kamus sansekerta Indonesia berarti berat, sesar, luas, hebat, penting dan nama lain dari Dewa Siwa.
Guru juga berarti Sesajen berupa Tumpeng Peggum yaitu tumpeng di isi telur itik direbus pada ujugnya dan di persembahkan kepada Dewa Siwa (Kamus Kawi Indonesia).
Kata Piduka berasal dari kata duka berarti marah, kesusahan, kesukaran.
Kata Piduka berasal dari kata paduka yang artinya Sepatu,s ebutan keharusan yang muali, Julukan Bhatara yang mulia, semoga Tuhan yang mulia memberi anugrah yang utama.
Kata Bendu berarti marah, duka, benci, murka, dendam.
Dari arti kata tersebut bahwa pengertian Guru Piduka, Bendu Piduka adalah persembahan atau haturan upakara untuk sarana memohon maaf dan sekaligus memohon anugrah yang utama atas kemarahan, kesediahan dan sejenisnya yang ditimbulkan oleh leluhur / Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia.

Adapun tanda tanda perlunya melakukan upakara khusus Banten Guru Piduka dan Bendu Piduka adalah adanya suatu kejadian yang aneh-aneh, seperti kejadiannya tidak pernah terjadi atau dialami, baik disebabkan oleh alam, manusia, dan hewan, sehingga menimbulkan pirasat buruk dalam hubungan buana alit dengan buana agung, lahir dan bathin. Kejadian-kejadian tersebut antara lain :

1. Kejadian akibat adanya bencana yang menimpa manusia misalnya :

  1. Sakit berkepanjangan tak sembuh-sembuh.
  2. Banyak orang mati dalam waktu singkat.
  3. Sering terjadi mati salah pati, ulah pati,.
  4. Terjadinya hubungan “salah timpal” yaitu antara manusia dengan binatang, binatang dengan lain jenis binatang.
  5. Terjadinya hubungan gamia gemana yaitu hubungan orang tua dengan anak, anak dengan saudara kandung.

2. Kematian salah satu keluarga bertepatan dengan hari piodalan di pemerajan/ pura setempat beromisili.
3. Keributan terus menerus dalam keluarga, kurang harmonisnya hubungan dengan leluhur.
3. Terbakarnya tempat suci baik oleh api maupun alilintar serta diperusak oleh angin puyuh.

Sesuai petunjuk lontar Dewa Tattwa disebutkan :

“Muah yang ketibenin apui tanpan para, yadnya linus tan pantara mwang telas basmi kayangan ika cihmaning anemu ala sang madrewe khayangan ika, hana sot tan tinawang wenang ngagen sot rigumi piduka”

Artinya :
Demikianlah pula bila khayangan terjadi kebakaran tanpa sebab, demikian juga angin beliung tanpa sebab, apalagi sampai menghanguskan seluruh bangunan kahyangan. Itulah ciri bahwa yang memiliki kahyangan tersebut mendapat bahasa, karena kaulnya tidak dibayar, oleh karena itu sepatutnya agar sot (berjanji) akan membayar kaul dengan mempersembahkan guru piduka.

4. Tempat suci atau kahyangan tertimpa “Cemei” (Kotoran).

Sesuai lontar Dewa Tatwa antara lain :

“Mwah yan ane kukus tan pantara melebek, mwang sane karungu maha ngek, tan karasa swamaning janma, tiba ring kahyangan, dudu sang madrebe kahyangan mwang ngaturang lepir, wnang ngaturang guru piduka sakramania”

Artinya :
dan apabila ada asap tebal mengumpal tanpa sebab tan lan terdengar ada suara menjerit seperti bukan, suara manusia memusat di kahyangan, itu pertanda bahwa yang memiliki dan pemangku prahyangan itu sedang keadaan Cemar, oleh karena itu patut mempersembahkan guru piduka.

5. Pada bangunan suci / kahyangan yang kena kekotoran seperti ada mayat manusia, darah manusia datang bulan, orang bersetubuh di kahyangan, tulang bangkai manusia di kahyangan, suara tangis pelan, disambar petir, mati bunuh diri, dimasuki binatang piaraan berkaki empat, perlu diadakan / dipersembahkan guru piduka.

Lontar Dewa Tattwa menyebutkan :

“ ….. nihan parikamaning dewa ring kahyangan yang katiben cemar, apa lwirnia; yan ketibening wangke ring mwang, rahing wong carpur, mwang wong sanggama ring salu, ring babaturang, mwang walung wang ke ring jadma, mekadi kekereng, ketibenin tangis alon, sinamber denningglap, mwang mati megantung, mati matusuk sarira, kepalingan buron agung, mwang ketiben purusnya uyuh, saluiring sanangguh cemar, yan dahat wenang anyut ring bebantenania ring ngaturang guru piduka”.

Artinya :
inilah tata cara hatanan, kehadapan dewa di kahyangan, jika tertimpa kekotoran antara lain ; seperti jika ada mayat manusia, darah wanita datang bulan, dan orang bersetubuh di bale suci, di halama tempat suci dan lagi ditemukan tulang bangkai manusia, yang terbungkus dengan sobekan kain bekas, ditimpa suara tangis yang pelan, disambar petir, lagi pua didapatinya orang mati tergantung, mati bunuh diri, kemasukan binatang besar, ditemui air mani laki-laki, semuanya itu disebut “leteh” (kotor), apabila sangat besar harus di hanyut. Selanjutnya pada bangunan suci terebut diselenggarakan upacara mempersembahkan guru piduka.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga