Pengider Bhuana dan Wariga di Lontar Kanda Sangalukun


Hakikat Jiwa (Atman) di Lontar Kanda Sangalukun

Adapun naskah tutur Kanda Sangalukun yang mengungkapkan tentang keberadaan ātman dapat dipahami dari kutipan naskah tutur Kanda Sangalukun (1b- 8b).

Agama Hindu meyakini bahwa jiwa disepadankan dengan ātman, ātman yang menghidupi badan disebut jiwātman. Esensi ātman adalah entitas yang menghidupi setiap badan pada makhluk hidup. Keyakinan terhadap adanya ātman merupakan Sraddha yang kedua dalam Panca Sraddha. Analogi sederhana yang perlu dipaparkan guna mempermudah pemahaman mengenai ātman yaitu bahwa ātman merupakan mesin yang dapat menghidupi dan memfungsikan tubuh manusia sesuai dengan tugasnya masing-masing, seperti halnya panca indriya yang bertugas sesuai dengan fungsinya karena berkat adanya ātman. Semua makhluk dapat hidup sesungguhnya ātmanlah sebagai penyebabnya, sedangkan ātman adalah percikan kecil dari Paramātman. Bila ātman meninggalkan badan maka makhluk itu  mati.

Bila ātman sudah tidak ada dalam tubuh maka unsur-unsur pembentuk tubuh pun hancur kembali pada asalnya. Badan adalah prakrti dan jiwa adalah purusha, dua unsur yang menyebabkan terjadinya kehidupan. ātman adalah jiwa atau roh. Dalam kitab suci Weda dinyatakan bahwa ātman adalah bagian dari Tuhan Yang Maha Esa. Sloka yang berbunyi “Brahman Ātman Aikyam” terdapat dalam kitab Upanisad yang artinya Brahman dan ātman adalah tunggal. ātman diumpamakan sebagai seberkas cahaya matahari yang terpancar ke seluruh alam semesta yang berasal dari satu bersumber tunggal yaitu matahari itu sendiri. Seperti itulah adanya ātman yang sesungguhnya berasal dari Brahman, kemudian merasuki serta memberi penyebab hidup pada badan jasmani dari setiap makhluk.

Nama lain dari ātman adalah Siwātman atau Jiwātman, yakni jiwa yang berasal dari Tuhan dalam fungsi memberi energi kehidupan bagi semua makhluk hidup, serta memberikan kekuatan hidup bagi alam semesta sebagai tempat hidup setiap makhluk. Oleh karena itu, berbicara ātman tidak terlepas dari pembahasan tentang Tuhan, maka ātman pun sama seperti sifat-sifat Tuhan yakni bersifat gaib, tidak mengenal kelahiran, kematian, kekal abadi.

Sesungguhnya pikiran dan semua aspek panca indriya manusia tak akan sanggup memberikan definisi yang sempurna untuk hakikat ātman yang sejati, atau dengan bahasa lainnya segala bentuk pemaknaan terhadap ātman berada di luar batas pikiran dan panca indriya manusia, sejatinya pemberian nama, ciri-ciri, serta sifat terhadap hakikat ātman semata-mata hanya untuk mempermudah alam pikiran dan panca indriya untuk memahaminya sesuai dengan sifat alam pikiran manusia dan panca indriya yang serba terbatas, maka menyadari akan hal itu ada benarnya sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa suatu keyakinan menyangkut sebuah rasa. Oleh karena itu, pengalaman-pengalaman spiritual yang berbeda-beda pada setiap orang akan memberikan sebuah rasa yang memperkuat keyakinannya dalam beragama yang tak dapat diukur dan tak dapat dinilai dengan apapun. Begitu pun dengan keyakinan terhadap adanya ātman sebagai bagian dari Brahman/Tuhan Yang Maha Esa dapat dirasakan  dan diyakini melalui pengalaman-pengalaman spiritual yang berbeda-beda pada setiap orang.

Demikian gaibnya ātman itu, ātman yang berasal dari Brahman/Tuhan Yang Maha Esa mempunyai sifat “Antarjyotih” (bersinar tidak ada yang menyinari, tanpa awal dan tanpa akhir, dan sempurna).

Jadi sumber yang menjadikan setiap makhluk dapat hidup adalah ātman, sedangkan ātman sebagai sumber hidup memerlukan alat yang akan dihidupi yakni alam pikiran dan badan wadagnya. Oleh karena itu, ātman memiliki peranan yang amat penting karena ātman itu yang bersifat abadi tidak mengalami kematian dan terus ada, sedangkan badan itu yang tidak kekal sewaktu-waktu dapat hancur maka ātmanlah yang menerima akibat dari kehidupan jasmani maupun rokhani dari pada makhluk tersebut dan bertanggungjawab terhadap akibat kehidupan jasmani itu.

Menyadari sifat ātman yang amat sempurna, maka manusia hidup ke dunia bertujuan untuk melepaskan ātman dari kekangan dan ikatan duniawi berupa siklus kelahiran berulang-ulang akibat kegelapan dan kebodohan (awidhya) yang mengelabui kesadaran sejati yang dimiliki oleh ātman. Kegelapan dan kebodohan inilah yang menyisakan hasil perbuatan manusia selama hidup yang disebut karma  wasana.  Dengan  berbuat  baik  (subha  karma)  sebagai  salah  satu  sifat  Brahman  akan   lebih mendekatkan ātman kepada kesadaran Brahman, dengan berbuat baik atas dasar ketekunan,  keuletan, dan pengabdian maka ātman berada pada kesadaran aslinya yaitu sempurna dan kekal abadi sama seperti Brahman sehingga ātman dapat terbebas dari ikatan duniawi dan kembali menyatu dengan Brahman/Tuhan Yang Maha Esa.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Dapatkan Dalam Versi Cetak
Baca Juga