Makna Filosofi dan Konsep dari Suara Gamelan Bali


Bentuk Musik Tradisional dan Tembang Bali

Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam memahami bentuk musik adalah ketika seorang komposer menciptakan bentuk-bentuk komposisi yang terlepas dari isinya, hal ini cenderung memperkecil arti sebuah bentuk menjadi semata-mata sesuatu yang abstrak atau absolut. Seni musik memang diakui me-miliki kualitas abstrak, namun abstrak yang dimaksud bukan berarti tanpa konsep. Kualitas abstrak seni musik memberikan kebebasan seniman untuk menciptakan sensasi tanpa pengaruh hal lain di luar tujuannya. Namun untuk sampai pada sebuah sensasi, seniman harus mampu menampilkan musik dalam bentuk arsitektonik yang intelektualistik dan simbolik yang instingtif. Bentuk dalam hal ini tidak lagi terbatas dalam pengertian struktur (musical form), melainkan dalam pengertian yang luas, termasuk bentuk sensasi bunyi (isi) sebagai hasil rekayasa manusia dan cara-cara mengekspresikan bunyi sebagai pernyataan diri.

Struktur (kerangka) dan sensasi bunyi (isi) adalah dua hal yang menjadi dasar terjadinya musik. Bunyi saja tanpa bentuk tidak dapat disebut musik, karena bunyi sebagai isi dalam musik menampikan dirinya dalam berbagai bentuk seperti ritme, melodi dan harmoni. Beranalogi dari hal tersebut di atas, pembahasan mengenai bentuk musik tradisional Bali dalam hal ini mengacu pada bentuk arsitektonik dan simbolik yang dij abarkan melalui empat hal yaitu sumber bunyi, musikalitas, ekspresi musikal, dan tata penyajiannya.

Sumber Bunyi

Ditinjau dari sumber bunyinya, musik tradisional Bali terdiri atas dua jenis yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal menggunakan suara manusia sebagai sumber bunyi dan musik jenis ini juga disebut tembang Bali.

Ada empat kelompok tembang Bali, yaitu Sekar Rare (gegendingan), Sekar Alit (macapat), Sekar Madya (kidung) dan Sekar Agung (kekawin). Tiga kelompok yang disebut terakhir memiliki pola dan stuktur baku, sedangkan kelompok pertama yaitu Sekar Rare atau gegendingan memiliki pola dan struktur yang tidak baku, sehingga bentuknya berubah-ubah.

Oleh masyarakat Bali, tembang ini dianggap yang paling sederhana sehingga sering diidentifi kasi sebagai lagu anak-anak, kendatipun tembang ini tidak selalu dinyanyikan oleh anak-anak. Gegendingan sering digunakan dalam beberapa kesenian Bali, seperti Kecak, Janger, Genjek, Cakepung dan Rengganis.

Sekar Alit atau macapat bentuknya diikat oleh aturan yang disebut pada lingsa, guru wilang, dan guru dingdong.

  • Pada lingsa adalah jumlah baris dalam tiap-tiap bait,
  • Guru wilang adalah jumlah suku kata dalam tiap-tiap baris,
  • Guru dingdong adalah jatuhnya huruf hidup pada setiap akhir baris.

Sama dengan gegendingan, macapat menggunakan bahasa Bali. Sekar Madya atau kidung berbentuk puisi berpolakan matra dengan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan Bahasa Bali.

Sekar Ageng atau kekawin berbentuk puisi yang terdiri atas empat baris berdasarkan matra puisi India yang diikat oleh sistem guru (suara panjang) dan laghu (suara pendek). Kekawin pada umumnya menggunakan bahasa Jawa Kuno atau Kawi.

Musik instrumental adalah musik yang menggunakan alat atau instrumen sebagai sumber bunyi. Kesatuan alat atau instrumen musik Bali umumnya disebut gambelan, yaitru konstruksi harmonis instrumen-instrumen dalam sebuah sistem untuk membentuk satu kesatuan. Setiap instrumen memiliki jenis dan warna suara tersendiri, sehingga konstruksi berbagai jenis instrumen dalam satu kesatuan adalah untuk melahirkan bunyi musik.

Berdasarkan jumlah dan kompleksitas instrumen yang digunakan, musik instrumental Bali ke dalam tiga jenis yaitu musik; Barungan Alit, Barungan Madya dan Barungan Agung.

  • Barungan Alit menggunakan 4-10 instrumen, seperti Gender wayang, Rindik, Selonding, Tambur dan Gambang.
  • Barungan Madya menggunakan 11-20 instrumen, seperti Gong Luang, Bebatelan, Gong Suling, Geguntangan dan Gong Bheri.
  • Barungan Agung menggunakan lebih dari 21 instrumen, seperti Gong gede, Gong kebyar, Smar Pagulingan (Semara Pagulingan), Jegog dan Joged Bumbung.

Hingga dewasa ini sedikitnya terdapat 30 jenis barungan (ansambel) gamelan Bali yang masing-masing memiliki karakter dan warna musikal berbeda-beda. Setiap barungan gamelan Bali memiliki repertoar atau lagu-lagu yang memberikan identitas masing-masing.

Sebagai contoh gamelan Gong gede memiliki repertoar konvensional yang disebut dengan tabuh pagongan;

  • Gamelan Kebyar memiliki repertoar tabuh kekebyaran,
  • Gamelan Pegambuhan memiliki repertoar gending Pegambuhan, dan
  • Gamelan Semara Pagulingan memiliki repertoar gending Smar Pagulingan.

Perangkat gamelan Bali pada didominasi oleh alat-alat pukul ditambah beberapa alat tiup dan alat gesek. Setiap instrumen gamelan Bali telah memiliki cara, pola, dan teknik permainan secara konvensional yang diikat oleh kesatuan fungsional terhadap perangkatnya. Meminjam katagori fungsi instrumen, ada enam kelompok instrumen gamelan Bali yaitu Bantang gending, Penandan, Pepayasan, pesu milih, Pemanis dan Pengramen.

  • Bantang gending, berasal dari kata Bantang yang artinya kerangka pokok dan gending artinya lagu, adalah instrumen-instrumen yang berfungsi untuk menentukan kerangka lagu.
  • Penandan, dari kata nandan yang artinya penuntun atau pemimpin, adalah kelompok instrumen yang memimpin jalannya musik baik secara melodis maupun ritmis, mengatur tempo dan volume, menentukan peralihan, termasuk memberi kode tentang mulai dan berakhirnya musik.
  • Pepayasan, berasal dari kata payas yang artinya hiasan, adalah kelompok instrumen yang berfungsi untuk merealisasi melodi-melodi pokok menjadi lebih semarak dan ramai dengan membuat jalinan yang disebut kotekan atau ubit-ubitan (interlocking confi guration).
  • Pesu mulih, yang artinya pergi-pulang adalah kelompok instrumen yang berfungsi untuk memberi tekanan ringan dan berat dalam kalimat lagu. Istilah pesu digunakan untuk mengungkapkan kalimat lagu yang mempunyai rasa tekanan ringan, untuk memberi tanda bahwa satu rangkaian kalimat lagu akan berakhir, dan mulih digunakan untuk mengungkapkan kalimat lagu yang mem-punyai rasa tekanan berat, yang berfungsi mengakhiri satu rangkaian kalimat lagu.
  • Pemanis, dari kata manis adalah instrumen-instrumen yang berfungsi untuk menambah suasana lembut dan halus dalam nada-nada tinggi.
  • Pengramen, dari asal kata rame, adalah kelompok instrumen yang berfungsi untuk menambah suasana menjadi rame (Bahasa Indonesia: ramai).

Musikalitas

Instrumen menghasilkan suara musik, sebagai hasil modifikasi dan rekayasa bunyi. Bunyi yang telah dimodifi kasi oleh seniman secara realitas tampil dalam berbagai wujud, seperti ritme, melodi, harmoni, dan frekwensi, yang ditunjang oleh unsur-unsur musikal lainnya seperti tempo dan Panggung.

Nada di alam ini tidaklah bersifat tunggal, melainkan sangat beragam. Kicauan burung, suara kodok, suara kucing, tiupan angin, gema di gua-gua, burung hantu, jika dicermati memiliki berbagai variasi nada. Perbedaan dan variasi yang telah direkayasa inilah menjadi melodi.

Manusia dapat mengkonstruksi bunyi dan nada untuk menciptakan dan merumuskan berbagai teori tentang melodi. Rumusan-rumusan teori melodi ini disebut dengan tangga nada, yang dalam musik tradisional Bali sering disebut dengan sistem pelarasan.

Musik tradisional Bali memiliki sistem pelarasan yang cukup kompleks yang secara umum terdiri atas dua jenis, yaitu laras pelog dan laras selendro.

  • Laras pelog yang juga sering disebut laras gong mencakup pelog empat nada, pelog lima nada, dan pelog tujuh nada.
  • Laras selendro, yang sering disebut dengan laras gender wayang, ada dua, yaitu selendro lima nada dan selendro empat nada.

Khusus mengenai laras pelog tujuh nada, memiliki sistem nada fungsional yang disebut:

  • saih dalam gamelan Gambang, Selonding, Caruk, dan Gong Luang,
  • tetekep dalam gamelan Pegambuhan dan Geguntangan, dan
  • patutan dalam gamelan Smar Pagulingan, Genta Pinara Pita, dan Semarandana.

Variasi dalam penggunaan laras dan sistem nada fungsional merupakan hal yang esensial dalam gamelan Bali. Laras dan sistem nada fungsional memiliki karakter yang dapat menentukan ekspresi musikal.

Laras pelog pada umumnya identik dengan karakter maskulin (laki-laki) sedangkan laras selendro identik dengan karakter feminim (wanita). Demikian halnya dengan sistem fungsi nada, sebagai contoh dalam gamelan Pegambuhan dibedakan ada empat tetekep yaitu selisir, tembung, sundaren dan lebeng.

  • Tetekep selisir memiliki karakter halus (re-fined),
  • Tetekep tembung memiliki karakter keras (coarse),
  • Tetekep sundaren memiliki karakter antara halus dan keras,
  • Tetekep lebeng memiliki karakter halus, dan khusus untuk mengiringi tokoh putri (princess), dan
  • Tetekep baro berkarakter diantara halus dan keras untuk mengiringi tokoh pelayan dan pelawak.

Ritme atau irama juga merupakan unsur penting dalam musik tradisional Bali. Secara sederhana, seniman Bali memahami ritme sebagai sesuatu yang diulang-ulang secara teratur.

Namun, dengan kecerdasan dan daya kreativitas, komposer mampu mengadakan rekayasa sehingga ritme dalam musik muncul dengan berbagai variasi. Pada umumnya musik tradisional Bali menganut sistem ritme dengan hitungan kelipatan genap, yaitu 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256, dan 512 hitungan dalam satu siklus (gong).

Berdasarkan pola ritme yang kemudian dipadukan dengan pola melodi, dinamika, dan tempo inilah muncul berbagai motif lagu dan tabuh.

  • Termasuk motif lagu adalah batel, bapang, gegaboran, lelonggoran, gilak, dan legodbawa
  • Termasuk tabuh adalah tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, tabuh pat, tabuh nem dan tabuh kutus.

Motif lagu dan tabuh ini memiliki bentuk, struktur, dan karakterisasi tertentu sehingga penggunaannya juga disesuaikan dengan kesan apa yang ingin disampaikan oleh musik tersebut.
Dalam musik dikenal istilah komposisi yang dimengerti sebagai suatu proses penciptaan lagu atau hasil dari pada proses tersebut (amusical composition) yang disebut gending atau tabuh. 

Sebagai sebuah komposisi, gending atau tabuh memiliki struktur yang terdiri dari bagian-bagian tertentu. Dalam beberapa repertoar musik tradisional Bali seperti Gong gede, Pegambuhan, Palegongan, dan Beba-rongan dikenal struktur musik yang disebut kawitan, pengawak dan pengecet. Oleh para ahli tiga bagian ini sering dihubungkan dengan konsep Tri Angga (tiga bagian tubuh manusia), yaitu kawitan dimaknai sebagai kepala, pengawak dimaknai sebagai badan, dan pengecet dimaknai sebagai kaki.

  • Kawitan merupakan bagian awal atau introduksi untuk memperkenalkan sekilas tentang perwajahan lagu yang dimainkan.
  • Pengawak berasal dari kata awak yang artinya badan, adalah bagian utama (main body) sebuah lagu. Bagian ini biasanya terdiri dari kalimat-kalimat lagu yang lebih panjang dan tempo lambat.
  • Pengecet adalah bagian akhir ditandai dengan perubahan pola permainan yang lebih lincah dan dinamis.

Keras dan lembutnya bunyi musik menunjukkan sebuah dinamika, sedangkan cepat dan lambatnya bunyi musik menunjukkan adanya tempo. Dinamika dan tempo mempengaruhi perjalanan melodi dan ritme dan dalam rekayasa bunyi semua hal ini dapat diatur sesuai dengan daya kreativitas seniman. Musik Bali dikenal memiliki pola dinamika dan tempo yang sangat kaya dan beragam. Pengolahan dinamika dan tempo mempengaruhi melodi dan ritme dalam membentuk karakter dan penjiwaan sebuah lagu.

Dalam musik Bali dikenal istilah angsel yaitu tanda atau aksentuasi untuk menentukan perubahan tempo dan dinamika seperti cepat-lambat dan keras-lunak. Instrumen yang berfungsi untuk mengatur dinamika dan sekaligus sebagai pemurba atau pemimpin irama dalam musik Bali adalah kendang.

Konstruksi terhadap keempat unsur dasar musik inilah (melodi, ritme, dinamika, tempo) menciptakan sebuah harmoni. Dalam ilmu musik harmoni didefinisikan sebagai prihal atau sesuatu yang berhubungan dengan keselarasan paduan bunyi, baik antara sesama bunyi maupun dengan bentuk keseluruhannya berdasarkan konsep dan fungsi serta hubungan satu sama lain. Harmoni musik adalah ekspresi kebudayaan manusia sehingga perwujudannya beraneka ragam dan menyesuaikan dengan ekspresi budaya tempat ia dilahirkan. Harmoni musik Barat akan berbeda dengan harmoni musik musik Bali. Oleh sebab itu tak satupun budaya musik yang mampu mendominasi paham harmoni sebagai sesuatu yang universal, karena ia selalu hadir dalam konteks dan hubungannya dengan ekspresi budaya suku bangsa. 

Ekspresi Musikal

Ekspresi musikal merupakan bentuk simbolik dari musik. Ekspresi musikal adalah kesan, suasana, atau nuansa tertentu yang ditimbulkan akibat rekayasa dan modifikasi bunyi. Ekspresi musikal dapat mempengaruhi suasana hati yang disebabkan oleh musik dapat merubah perhatian, persepsi, dan memori serta mempengaruhi keputusan seseorang terhadap kondisi mental dan emosionalnya.
Nuansa-nuansa ini dapat mempengaruhi sedikitnya enam suasana hati yaitu sedih, gembira, romantis, marah, takut, dan lucu. Kemampuan musik tradisional Bali dalam mempengaruhi suasana hati disebabkan oleh karakter atau watak nada kemudian didukung oleh permainan ritme, tempo, dan dinamika.

Sebagai contoh:

  • nada deng memiliki karakter magis
  • nada ding memiliki karakter romantis
  • nada dung memiliki karakter manis
  • nada dong memi-liki karakter lucu
  • nada dang berkarakter lincah, ceria dan dinamis.

Beranalogi dari perwatakan nada tersebut, maka jika seorang komposer ingin menciptakan lagu yang bernuansa lembut dan manis maka nada-nada dung (kecil) digunakan lebih dominan, begitu juga jika ingin menampilkan lagu yang lucu, humor, maka digunakan nada dong lebih dominan. Namun penggunaan nada saja tidaklah cukup untuk mempengaruhi suasana hati, masih diperlukan unsur-unsur musikalitas lain untuk mendukungnya.

Tata Penyajian

Produk akhir sebuah musik bukan pada bunyi dan eskpresi, melainkan ketika bentuk itu disajikan baik hanya sebagai musik ilustratif untuk mendukung suasana-suasana tertentu, maupun yang dipagelarkan sebagai seni presentasi. Karena adaya unsur penyajian inilah menyebabkan dalam rumpun ilmu seni, musik dikatagorikan dalam bidang seni pertunjukan. Penyajian musik diikat oleh ruang yaitu tempat dimana musik itu disajikan, dan waktu kapan dan seberapa lama musik itu disajikan. Keterikatan dengan ruang dan waktu ini menyebabkan seni pertunjukan sering disebut-sebut sebagai seni yang tidak awet.

Secara tradisional tata penyajian musik Bali ada dua yaitu sebagai pagelaran instrumentalia dan sebagai iringan seni pertunjukan. Dalam pergelaran instrumentalia musik Bali tradisional biasanya berfungsi untuk memeriahkan atau menambah kesan atau suasana yang diinginkan sesuai jenis upacara.

Dalam upacara Dewa Yadnya di Pura biasanya ditampilkan Gong Gede, Selonding atau Gong kebyar dengan lagu-lagu lelambatan, sedangkan untuk mengiringi upacara Manusa Yadnya ditampilkan Smar Pagulingan dan dalam upacara Pitra Yadnya ditampilkan Angklung.

Tempat penyajian musik tradisional Bali sangat fleksibel, sesuai dengan situasi dan kondisi. Sebagai musik protokoler, penyajian musik Bali tradisional biasanya ditempatkan pada bangunan yang disebut Bale Gong, Bale Selonding, atau tempat-tempat lainnya yang memang disiapkan untuk penyajian musik.

Dalam penggunaannya sebagai iringan seni pertunjukan, penyajian musik Bali menyesuaikan dengan bentuk pertunjukan dan jenis pertunjukan yang diiringi. Karena dalam hal ini fokus penyajian adalah seni pertunjukan yang diiringi, maka musik biasanya diletakkan di bagian pinggir dari halaman utama pertunjukan.

Selain tempat dan penggunaan, tata penyajian musik tradisonal Bali juga mempertimbangkan unsur-unsur estetika seperti tata letak instrumen, kostum pemain, dan sikap menabuh. Tata letak instrumen diatur menurut fungsi terhadap barungannya. Instrumen-instrumen pokok seperti pemimpin melodi dan ritme biasanya ditempatkan paling menonjol (didepan) sementara yang lain di belakang atau di sampingya yang disusun secara rapi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan kordinasi dan penampilan secara keseluruhan. Busana penabuh musik tradisional Bali biasanya menggunakan pakaian adat Bali lengkap, seperti destar (hiasan kepala), baju, kain, dan saput. Belakangan ini perkembangan tata busana pakaian penabuh sangat semarak sehingga melahirkan berbagai desain dan jenis busana yang cukup menarik. Selain tata letak instrumen dan busana, penyajian musik tradisional (gamelan) Bali sangat memperhatikan sikap dalam menabuh. Seniman Bali menyadari karena penyajian musik adalah sebuah pertunjukan yang akan dinikmati secara auditif maupun visual, maka sikap bermain amatlah penting. Pemain musik harus bermain dengan menjiwai ekspresi musikal yang ditampilkan, sehingga sajian musik menjadi lebih hidup.


Sumber :

I Putu Ariyasa Darmawan dan Ida Bagus Wika Krishna
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja


I Gede Arya Sugiartha
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


I Kadek Sugiarta, I Gede Arya Sugiartha dan Kadek Suartaya
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


I Putu Danika Pryatna dan Hendra Santosa
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar


Pande Made Sukerta
GENDING GENDING GONG GEDE

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Sejarah & Purbakala,
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Jakarta 2002



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga