Penyatuan Shiva-Buddha Melalui Ajaran Tantra di Bali


Penyatuan Shiva-Buddha Melalui Ajaran Tantra di Bali

Beberapa sarjana mencoba membagi tantra menjadi dua bagian utama, yaitu: “jalan kanan” dan “jalan kiri.”  Bernet Kemper berpendapat, tantra “jalan kanan” (menghindari praktek ekstrem, mencari-cari pengertian yang mendalam, dan pembebasan melalui asceticism) harus dibedakan dari “jalan kiri” (black magic dan ilmu sihir). Ia kemudian menegaskan, didalam “jalan kanan”, bhakti atau penyerahan diri memegang peranan yang sangat penting. Lebih dari itu, bhakti cenderung menolak dunia material.

Sedangkan “jalan kiri” mempunyai kecendrungan yang sangat berbeda. Ia berusaha keras untuk menguasai aspek-aspek kehidupan yang mengganggu dan mengerikan seperti kematian dan penyakit. Untuk mengatasi hal tersebut, eksistensi dari kekuatan keraksasaan (demonic) “jalan kiri” membuat kontak langsung di tempat-tempat yang mengerikan seperti di pekuburan.

Pandangan kalangan akademis ini sangat berbeda dengan pandangan dari praktisi tantra. Para praktisi tantra pada umumnya menolak pembagian tantra atas tantra positif dan negative dan menekankan pada metode untuk mentransformasikan keinginan. Lama Thubten Yeshe, seorang praktisi Tibetan tantra, mengatakan, tantra menggunakan pendekatan yang berbeda. Meskipun tantra mengakui bahwa khayalan seperti keterikatan kepada keinginan adalah sumber dari penderitaan dan oleh karena itu harus diatasi, namun ia juga mengajarkan keahlian untuk menggunakan energi dari khayalan tersebut untuk memperdalam kesadaran kita sehingga menghasilkan kemajuan spiritual. Seperti mereka yang dengan keahliannya mampu mengangkat racun tumbuh-tumbuhan dan menjadikannya obat yang mujarab, seperti itu pula seorang yang ahli dan terlatih dalam praktek tantra, mampu memanipulasi energi keinginan bahkan kemarahan menjadi mapan. Ini sungguh-sungguh sangat mungkin dilakukan.

Dalam arti tertentu, tantra merupakan suatu teknik untuk mempercepat pencapaian tujuan agama atau realisasi sang diri dengan menggunakan berbagai medium seperti mantra, yantra, mudra, mandala, pemujaan terhadap berbagai dewa dan dewi, termasuk pemujaan kepada makhluk setengah dewa dan makhluk-makhluk lain, meditasi dan berbagai cara pemujaan, serta praktek yoga yang kadang-kadang dihubungkan dengan hubungan sexual. Elemen-elemen tersebut terdapat dalam tantra Hindu maupun Buddha. Kesamaan teologi ini menjadi faktor penting yang memungkinkan tantra menjadi salah satu medium penyatuan antara Śivaisme dan Buddhisme di Indonesia.

Hubungan sex dalam Tantra, seperti diperkirakan oleh Dasgupta merupakan penyimpangan dari konsep awal Tantra. Konsep Tantra meliputi elemen-elemen yakni: mantra, yantra, mudra, dan yoga. Penyimpangan tersebut terjadi karena penggunaan “alat-alat praktis” (practical means) dalam Tantra Buddha yang berdasarkan prinsip-prinsip Mahāyāna dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan tertinggi. Dengan kata lain, tujuan tertinggi baik tantra Hindu maupun Buddha, adalah tercapainya keadaan sempurna dengan penyatuan antara dua praktek (prajñā and upāya) serta merealisasikan sifat non-dual dari Realitas Tertinggi.

H.B. Sarkar menyatakan hubungan sexual dalam Tantra lebih diarahkan untuk mengontol kekuatan alam dan bukan untuk mencapai pembebasan. Ia mengatakan, secara umum, tradisi Indonesia, membagi tujuan hidup manusia menjadi dua: pragmatis and idealistis. Mengontrol kekuatan alam adalah salah satu tujuan pragmatis. Hal ini biasanya dilakukan oleh raja yang mempraktekkan sistem Kālācakrayāna dalam usaha melindungi rakyatnya, memberikan keadilan, kesejahteraan dan kedamian.

Di Indonesia dikenal tiga jenis tantra, yaitu: Bhairava Heruka di Padang Lawas, Sumatra Barat; Bhairava Kālācakra yang dipraktekkan oleh raja Ktanegara dari Singasari dan Ādityavarman dari Sumatra yang sezaman dengan Gajahmada di Majapahit; dan Bhairava Bhima di Bali.

Arca Bhairava Bima terdapat di Pura Edan, Bedulu, Gianyar, Bali. Menurut Prasasti Palembang (684 M), Tantrayana masuk ke Indonesia melalui kerajaan Śrivijaya di Sumatra pada abad ke- 7. Kālacakratantra memegang peranan penting dalam unifikasi Śivaisme dan Buddhisme, karena dalam tantra ini, Śiva and Buddha, di-unifikasi-kan menjadi Śivabuddha.

Konsep Ardhanarisvarī memegang peranan yang sangat penting dalam Kālācakratantra. Kālācakratantra mencoba menjelaskan penciptaan dan kekuatan alam dengan penyatuan Dewi Kali yang mengerikan, tidak hanya dengan Dhyāni Buddha, melainkan juga dengan Ādi Buddha Sendiri. Kālācakratantra mempunyai berbagai nama dalam sekta tantra yang lain, seperti Hewajra, Kālācakra, Acala, Cakra Sambara, Vajrabairava, Yamari, Candamahaosana dan berbagai bentuk Heruka.

Didalam Tantrayana, ritual adalah elemen utama untuk merealisasikan Kebenaran Tertinggi. Seni adalah bentuk luar materi sebagai ekspresi dari ide-ide yang berdasarkan intelektual dan dirasakan secara emosional. Seni ritual berhubungan dengan ekspresi ide-ide dan perasaan tersebut yang secara khusus disebut religious. Ini adalah suatu cara, dengan mana kebenaran religious ditampilkan, dan dapat dimengerti dalam bentuk material dan simbol-simbol oleh pikiran. Ini berhubungan dengan semua manifestasi alam dalam wujud keindahan, dimana untuk beberapa alasan, Tuhan memperlihatkan Diri Beliau Sendiri. Tetapi ini tidak terbatas hanya untuk tujuan itu semata-mata. Artinya, dengan seni religious sebagai alat, pikiran ditransformasikan dan disucikan.

Mazab Śiva-Buddha dengan pengaruh khusus Kālācakratantra dapat dilihat pada tinggalan-tinggalan arkeologi, seperti di Candi Jawi. Prapanca dalam Nāgarakěrtāgama Bab 56, ayat 1 dan 2, melukiskan monumen ini dengan sangat indah. Bagian bawah candi, yaitu bagian dasar dan badan candi, adalah Śivaistis dan bagian atas atau atap, adalah Buddhistis, sebab didalam kamar terdapat arca Śiva dan diatasnya di langit-langit terdapat sebuah arca Akobhya. Inilah alasannya mengapa Candi Jawi sangat tinggi dan oleh karena itu disebut sebuah Kirtti.

Dalam tantra Hindu prinsip metaphisik Śiva-Śakti dimanifestasikan di dunia material ini dalam wujud laki dan perempuan; sedangkan dalam tantra Buddha pola sama diikuti, dimana prinsip-prinsip metaphisik Prajñā and Upāya termanifestasikan dalam wujud perempuan dan laki. Tujuan tertinggi dari kedua mazab tantra ini adalah penyatuan sempurna, yaitu penyatuan antara dua aspek dari realitas dan realisasi dari sifat-sifat non-dual dari roh dan non-roh.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga