Penyatuan Shiva-Buddha Melalui Ajaran Tantra di Bali


Prinsip-prinsip tantra secara fundamental sama dimana-mana. Perbedaan-perbedaan kecil yang barangkali ada, hanyalah perbedaan pada nada dan warna. Dalam tantra Hindu, nada dan warna tersebut, diisi oleh ide-ide filsafat, agama dan praktek-praktek agama Hindu; sedangkan tantra Buddha diisi oleh ajaran-ajaran agama Buddha.
Sehubungan dengan tantra Hindu dan Buddha ini, H.B. Sarkar mengatakan, mistik yang lebih tua dan ritual dengan praktek-praktek shamanisme diperlakukan dan dimodifikasi dengan perhiasan-perhiasaan baru pemujaan yang didominasi oleh mandala, mantra, mudrā, ābhiseka, dan sebagainya.  

Disini, baik tantra Buddha maupun tantra Hindu sebagian besar menggunakan simbul-simbul luar dan pola yang sama dalam penyelenggaraaan ritual, tetapi isi dan objek dari kedua tantra itu berbeda secara keseluruhan. Sebab, para sadhaka Buddha melalui praktek tantra menginginkan pembebasan dari ikatan dunia material dan tenggelam kedalam kebahagiaan abadi, sedangkan tantra Śaiva ingin mengontrol dunia material.
Dengan kenyataan-kenyataan tersebut tidak mengherankan apabila Śivaisme dan Buddhisme bisa mencapai penyatuan yang begitu dalam melalui medium ajaran Kālācakratantra. Alasan atas kuatnya penyatuan tersebut juga dapat ditelusuri melalui fakta sejarah bahwa awal mula kehadiran Kālācakratantra di antara pemeluk Hindu dan Buddha adalah untuk melakukan perlawanan terhadap pengaruh kekuasaan Islam.

Biswanath Banerjee  mengatakan, penyatuan dewa-dewa dan dewi-dewi Hindu mencapai puncaknya pada waktu berkembangnya sistem Kālācakra. Faktor utama yang mendorong berkembangnya kecendrungan berkompromi antara Buddhisme dengan berbagai sekta dalam agama Hindu, dapat dilacak keberadaaannya dengan kehadiran agama dan kebudayaan Islam. Ini dapat dipelajari melalui teks-teks Kālacakra bahwa Buddhisme sedang mengalami masalah sosial atas sergapan infiltrasi kebudayaan Smitic dan untuk melakukan perlawanan atas berkembangnya pengaruh kebudayaan asing tersebut, mereka melakukan kerjasama dengan umat Hindu.

Maksud memperkenalkan sistem Kalacakra adalah untuk melindungi umat Buddha dan Hindu dari konversi (pengalihan agama) ke agama Islam. Dengan maksud untuk menghentikan kerusakan akibat kebudayaan asing, para pemimpin agama Buddha melakukan inter-marriage dan inter-dining antara keluarga Buddha dan Hindu, dan akhirnya mereka tertarik untuk berlindung dibawah panji satu Tuhan Kālacakra, yang diterima di antara mereka sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka yang sedang menghadapi darurat perang adalah sangat mungkin untuk menyatukan berbagai kelompok religius dan berjuang dibawah kepemimpinan Tuhan Kālacakra untuk melawan pengaruh asing. Perkembangan mazab ini dengan penyatuan dewa-dewa Hindu yang begitu kuat didalam mandala Kālācakra menyebabkan terjadinya fusi kebudayaan dan mereka akhirnya bersatu menghadapi bahaya yang segera terjadi karena infiltrasi Islam.

Selanjutnya dicoba melakukan penyatuan di antara semua pengikut Brahmā, Visnu, Śiva dan termasuk orang-orang suci mereka di dalam satu keluarga Vajrakula, dengan empat inisiasi utama didalam Kālacakra, yaitu menghilangkan semua perbedaan didalam ras, kelas, syahadat dan tradisi.

Selain karena pendekatan sejarah dan teologi, banyak juga yang melihat penyatuan Śiva-Buddha karena persamaan philosophy. Ida Bagus Made Mantra mengatakan bahwa persamaan fundamental dalam teori manifestasi antara Śivaisme, khususnya Śaiva Siddhānta, dan Buddha Mahāyāna bertanggung jawab atas berkembangnya mazab Śiva-Buddha. Untuk tujuan ini ia memberikan uraian yang sangat panjang.

Dalam filsafat Śaiva Siddhānta terdapat tiga tattva (realitas): Śiva-tatva, Sadāśiva-tattva, dan Mahěśa-tattva. Ketiga tattwa tersebut berturut-turut memiliki sifat-sifat sebagai berikut: Niskalā, Sakalā-niskalā dan Sakalā. Ketiga tattvas dari Śaiva Siddhānta itu berkaitan dengan empat Kāya dari filsafat Buddha Mahāyāna. Ke-empat kayā itu adalah: Svabhāva-kāya, Dharma-kāya, Sambhoga-kāya and Nirmaya-kāya.

Niskalā artinya tanpa bentuk, dan aspek ini merupakan ciri dari Śiva-tatva. Śiva dalam posisi tertinggi adalah tanpa bentuk atau tanpa atribut atau dalam suatu keadaan entitas tanpa bentuk yang tak dapat dibedakan (undifferentiated formless entity). Dalam kedudukan ini semua bentuk-bentuk yang diciptakan dari corpo-realitas menyatukan badan mereka didalam penyebab awal (Primeval Cause).

Keadaan ini merupakan keadaan damai yang tidak dapat dimengerti. Dalam kedudukan ini pula, Realitas Tertinggi, dipahami tanpa awal dan akhir, meresap kedalam seluruh alam semesta, tak terpisahkan dan tidak dapat dibandingkan. Inilah keadaan yang dipahami dalam keadaan Niskalā. Svabhāvaka-kāya adalah kesadaran murni, bersih dari semua kekotoran subyektif dan obyektif, passif, tanpa aktifitas, meliputi alam semesta, penyatuan kosmis dari kebijaksanaan yang tak terbatas dan kebajikan, memiliki kasih sayang universal, prinsip-prinsip dalam (inner principle) dari semua Dharma.

Sifat-sifat tersebut adalah sifat dari svabhāvaka-kāya yang diidentifikasikan dengan Buddha. Ke-empat kaya tersebut diklasifikasikan menjadi dua group. Group pertama, Svabhāvaka-kāya dan Dharma-kāya, yang bersifat kesucian sempurna, passif didalam prinsip-prinsipnya, dan group kedua, muncul di dunia ini untuk dipertunjukkan. Disini perlu digaris-bawahi bahwa Svabhāvaka-kāya kadangkala tidak dijelaskan, dan oleh karena itu, hanya Dharma-kāya mewakili prinsip murni dan passif.

Mazab Shinghong dari Buddha Mahāyāna di Jepang juga mempunyai teori manifestasi dari penyatuan alam (manifestation of the cosmic unity) yang kurang lebih memiliki persamaan dengan Śaiva Siddhānta. Menurut mazab ini, Tathāgata Mahavairocana atau Dahrma-kāya mempunyai dua perwujudan, yaitu Garba-dhātu (matrix element), dan Vajra-dhātu (thunder element). Garba-dhatu memiliki karakter: a) Meditasi Agung, b) Kebijaksanaan, c) Kasih sayang, dan masing-masing dari ketiganya diatributkan kepada Buddha, Vajra and Padma. Buddha bersesuaian dengan Tathāgata-Mahavairocana yang menandakan pengetahuan sempurna.

Yang kedua bersesuaian dengan Vajra-sattva menandakan suatu kebijaksanaam, pasti dalam sifat-sifatnya dan menghancurkan semua penderitaan. Yang ketiga bersesuaian dengan Avalokitěsvara menandakan pemikiran murni dari bagian dalam makhluk hidup.
Dhātu kedua, Vajra-dhātu (elemen halilintar), mempunyai lima aspek, tiga diantaranya termasuk tiga klas sebagaimana dijelaskan didalam Garba-dhātu, dan dua lainnya adalah Ratnānubhāva dan Karmānubhāva. Sifat-sifat Ratnānubhāva mengungkapkan kebenaran dan pembebasan sempurna dari Buddha tanpa pembatasan. Yang kelima, Karmānubhāva memperlihatkan pemenuhan dari seluruh kegiatan.

Dalam perbandingan sistem cosmology antara filsafat Buddha Mahāyāna dan Śaiva Siddhānta, keduanya mempunyai basis yang sama. Ini terlihat dari tritunggal Śaiva Siddhānta seperti Paramaśiva, Sadāśiva dan Sadāśiva-Mahěsvara dengan bentuknya dalam Niskalā dan Niskalā-Śakalā, yang parallel dengan tritunggal Buddha, yakni: Buddha Vajrasattva dan Avalokitěsvara dengan bentuk mereka berturut-turut sebagai Dharmakāya, Sambogakāya dan Nirmāna-kāya.
Didalam Buddha Mahāyāna, keadaan tertinggi adalah Boddhi Citta atau pikiran yang tercerahkan. Boddhi Citta ini mempunyai dua elemen yang terdiri dari Sūnyatā, pencerahan sempurna dari sifat-sifat kesunyataan, dan kedua adalah Karunā, kasih sayang universal untuk semua makhluk hidup. Penggabungan menjadi satu dari kedua elemen tersebut (Sūnyatā and Karunā) dikenal sebagai Advaya.

Didalam ajaran Vajrayana, realisasi dari kedua elemen tersebut sangat penting. Dikatakan, keadaan Sūnyatā adalah berdasarkan pada realisasi bahwa semua benda adalah fana, tanpa roh.  Mereka seperti khayalan dalam mimpi, dan tidak nyata. Sūnyatā diberkati dengan kesucian, tanpa eksistensi, tidak terlahirkan, dan kosong. Karunā, yang mewakili kasih sayang semesta dimaksudkan untuk menyebarkan pengetahuan yang benar kepada umat manusia. Kenginan menyebabkan manusia diikat oleh kebodohan, dan tidak bisa merealisasikan hukum tumimbal lahir karena tekanan dari kegiatan mereka. Kasih sayang menyiratkan terhilangkannya ikatan, dan menuntun mereka kepada kehidupan yang percaya dengan hukum saling ketergantungan (Pratītya-samutpāda). (B. Bhattacarya, 1964: 102).

Sebagaimana dijelaskan di atas, penggabungan kedua elemen tersebut dinamakan advaya. Ini seperti bercampurnya garam didalam air, yang hasilnya berupa penghilangan dualitas sehingga memunculkan non-dualitas. Belakangan, dalam mazab Vajrayana, ide tersebut diganti dengan Ādi Buddha and Prajña. Jadi, kedua arca ini mewakili Sunyatā and Karunā. Hubungan di antara kedua arca tersebut dilukiskan dalam beberapa teks sebagai conjugal love (shajam prema) yang bersifat alami, dan Yuganaddha (conjugal relation) atau dinamakan advaya, yang tidak lain dari Boddhi-citta dan Dharma-kāya.

Konsep shakti dalam agama Buddha juga parallel dengan sakti dalam Śivisme. Konsep Yub-yam dalam Buddha diwakili oleh Shiva dan Shakti-Nya, Parvati. Secara teknis, bentuk ini disebut Ardhanāriśvara-mūrti. (Gophinatha Rao, 1916: 160). Disini, Shiva Sendiri adalah murni dan Shakti-Nya aktif, suatu kekuatan dinamis untuk membebaskan roh-roh yang terikat dari karma mereka. Uraian-uraian diatas, menunjukkan dengan jelas bahwa kesamaan-kesamaan dalam ajaran tantra, telah menyatukan kedua agama tersebut, Hindu (Śiwaisme) dan Buddhisme, menjadi satu mazab keagamaan yang tunggal,Shiva-Buddha. Dalam teks sastra Jawa Kuna kenyataan itu berpuncak dalam sebutan “Ya Buddha Ya Śiva”, yang artinya tidak ada perbedaan apakah anda seorang penganut Śiva atau Buddha.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga