Pemujaan Shiva-Buddha di Bali
Di Bali, sinkretisme Shiva-Buddha, sudah ada sejak zaman Bali Kuno (abad 8-14 M), sebagaimana dapat dibuktikan melalui tinggalan-tinggalan arkeologi dan literatur. Pada Zaman Bali Kuna, agama Buddha mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam masyarakat di Bali. Buddha dikenal dengan berbagai nama seperti Jina, ]akyamuni, dan Sogata (Sanskrit: Sugata). Prasasti Sukavana (Sukhavana) mengandung bukti yang sangat jelas, bahwa pendeta-pendeta brahmana diberikan nama Bhiku, seperti: Bhiku Śivakansita, Bhiku Śivanirmala dan Bhiku Śivavaprajna.
Nama-nama tempat di Bali, seperti Sukawati, Suwung, Sakenan, semuanya mengingatkan kita kepada konsep-konsep penting ajaran Buddha, seperti Sukhavati, Sunya dan ]akyamuni. Pengaruh Buddha di Bali masih sangat kuat sampai pada zaman modern ini. Bahkan motto universitas negeri terbesar di Bali, Universitas Udayana, mengambil inspirasi dari kutbah pertama Sang Buddha yang disampaikan di Taman Menjangan, Benares: dharmacakraprawartana, pemutaran roda dharma. Agama Buddha adalah yang pertama kali datang ke Bali.
Sedangkan agama Hindu adalah yang pertama kali datang ke Indonesia. Dalam teks-teks lontar kita menemukan istilah-istilah kasaiwan dan kasogatan, yang semua itu memberi indikasi yang kuat tentang adanya penyatuan Śiva-Buddha di Bali. Yang sangat menarik, hampir semua arca-arca Buddha ditemukan dalam tempat suci agama Hindu. Para sarjana meyakini bahwa fakta ini bukan merupakan bukti tentang konversi agama, melainkan suatu proses penyatuan antara Śivaisme dan Buddhisme yang terjadi secara gradual dalam proses sejarah. Contoh-contoh seperti ini bisa diperpanjang dengan mengutip sumber-sumber yang lebih luas lagi.
Pada Zaman Majapahit, Bali merupakan perpanjangan birokrasi dari Majapahit. Suasana keagamaan di Majapahit secara otomatis mempengaruhi Bali. Karena itu, sinkretisme Shiva-Buddha di Bali menjadi semakin kuat karena pengaruh Majapahit. Pengaruh itu dicatat dalam teks-teks sastra. Kidung Pamancangah, misalnya, memberi gambaran yang jelas tentang sinkretisme Shiva-Buddha melalui pelaksanaan homa yajna. Dijelaskan, pada tahun 1578 Dalem Watur Enggong di Samprangan (Klungkung) melaksanakan upacara homa yadnya dalam rangka upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Upacara homa ini dipimpin dua orang pendeta, yaitu pendeta Buddha dan pendeta Siwa. Dari pendeta Siwa dipercayakan kepada Danghyang Nirartha, sedangkan dari pendeta Buddha diwakili oleh Danghyang Astapaka.
Pada mulanya Dalem Watur Enggong meminta Danghyang Angsoka, seorang pendeta di kerajaan Majapahit, untuk mewakili pendeta Buddha dalam memimpin upacara homa tersebut. Bahkan Dalem Watur Enggong sempat mengirim utusan ke Majapahit, Jawa Timur. Tetapi setelah bertemu dengan Danghyang Angsoka, utusan itu diberi tahu bahwa putranya, Danghyang Astapaka, yang lebih ahli dalam homa yadnya, sudah ada di Bali. Karena itu, beliau menyarankan supaya putranya itu diminta untuk memimpin homa yadnya tersebut.
Akhirnya, utusan Dalem Watur Enggong balik ke Bali, dan setelah menerima laporan dari utusan tersebut, Dalem Watur Enggong memutuskan, bahwa pemimpin homa yajña dari pihak Buddha diwakili oleh Danghyang Astapaka. Jadi, homa yajña dalam rangka upacara Eka Dasa Rudra di Besakih itu, dipimpin oleh Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka. Dalam naskah kidung ini, juga dijelaskan riwayat pelaksanaan homa yajna itu. Dikatakan, tempat pelaksanaan homa yajna adalah didalam istana Samprangan, dan dalam proses pelaksanaannya, api homa yajna tidak dapat dikendalikan dan menjadi semakin besar sehingga membakar gedung tempat penyelenggaraan homa yajna tersebut.
Berbeda dengan di India, yang dalam periode tertentu, Buddhisme selalu mengklaim diri lebih unggul dari Hinduisme (terutama soal filsafat), dan sebaliknya Hinduisme selalu mengklain diri lebih unggul juga dari Buddhisme.
Di Bali, posisi keduanya ditempatkan dalam kedudukan yang sejajar, tidak ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Ini terbukti dari pengakuan para pendeta di Bali, bahwa para pendeta Siwa tidak akan sempurna jika tidak mengetahui ajaran agama Buddha, dan sebaliknya pendeta Buddha juga mengakui tidak akan sempurna jika tidak mengetahui ajaran Shiva.
Air suci “tirtha Buddha” dari pendeta Buddha dipakai oleh penganut Śiva untuk penyucian roh orang yang meninggal, dan sebaliknya air suci pendeta Siwa dipakai oleh penganut Buddha untuk tujuan yang sama.
Sebagaimana diketahui, masalah sinkretisme Shiva-Buddha sebagian besar diuraikan dalam teks-teks Buddha, seperti Sutasoma, Sanghyang Kamahanikan, Bubhuksah dan sebagainya. Ada kecenderungan dalam teks-teks Buddha tersebut, untuk menempatkan Buddhisme dalam posisi superior dibandingkan dengan Shivaisme. Namun, belakangan di Bali, teks-teks yang bercorak Shivaisme justru menempatkan ]iwaisme lebih unggul dibandingkan dengan Buddhisme. Salah satu contohnya adalah Tutur Candrabherawa. Pengawi dalam naskah ini menceritakan tokoh Yudisthira yang menganut ajaran Karma Sanyasa, dan Candrabherawa yang menganut ajaran Yoga Sannyasa. Dalam naskah disebutkan bahwa ajaran Karma Sanyasa berpusat pada pembangunan tempat suci, persembahyangan sesaji yang dikenal dengan Panca Yajna, dan penyembahan kepada Dewa. Sedangkan ajaran Yoga Sanyasa adalah sebaliknya, tidak ada tempat suci, tidak ada persembahan, tidak ada persembahan kepada Dewa. Yang dipuja adalah Sanghyang Adhi Buddha dengan mempelajari Bajradhara.
Tidak ada Dewa diluar (tempat suci), tetapi ada dalam diri dan banyak persembahan yang mengantar ke Neraka. Maka itu, Dewa dalam badan harus dipuja, agar lepas dari sorga dan neraka, tidak terlahirkan lagi.
Ajaran yoga sanyasa yang dianut oleh Candrabherawa (tantra Buddha) seperti dijelaskan diatas, sama persis dengan ajaran tantra sebagaimana dijelaskan oleh S.B. Dasgupta, berikut ini:
Tdak ada perbedaan prinsip antara tantra Hindu dan Buddha. Lepas dari banyaknya perbedaan, secara esensial, tantrayana, baik Buddhisme maupun Hinduisme, menekankan pada suatu fostulat fundamental, bahwa kebenaran terletak didalam badan manusia; atau, dengan kata lain, badan manusia adalah medium yang paling baik untuk merealisasika kebenaran. Penekanan khusus pada pentingnya badan manusia sebagai kebenaran tertinggi, dan pada saat yang sama sebagai medium terbaik untuk merealisasikan kebenaran, merupakan pendekatan berbeda, yang membuat sadhana tantra berbeda dari semua jenis sadhana yang lain.
Namun demikian, baik tantra Hindu maupun Buddha, keduanya secara fundamental mempunyai ciri umum mengenai prinsip-prinsip teologi yang bersifat dualitas dalam non-dualitas Keduanya mengakui bahwa realitas non-dual yang tertinggi mempunyai dua aspek didalam sifatnya yang fundamental, yaitu negative (nivrti) dan positif (pravrti), atau sifat-sifat statis dan dinamis. Kedua aspek dari realitas tersebut diwakili oleh Siwa dan Sakti dalam agama Hindu, sedangkan dalam agama Buddha diwakili oleh Prajna dan Upaya (Sunyata dan Karuna)”.
Apabila ajaran dalam Tutur Candrabherawa diatas, dianalisis menurut kerangka ajaran agama Hindu dan Buddha secara keseluruhan, maka Karma Sannyasa tidak lain dari ajaran Eksoteris yang menekankan ajarannya keluar badan. Sedangkan, ajaran Yoga Sanyasa dapat disejajarkan dengan ajaran Esoteris yang memusatkan ajarannya kedalam diri, kedalam badan. Secara tidak langsung Tutur Candrabherawa menempatkan Karma Sanyasa (eksoteris) lebih superior atau lebih unggul dibandingkan dengan Yoga Sanyasa, sebagaimana tampak dalam plot keberhasilan Yudisthira menangkap roh Chandrabherawa dan membawanya kembali ke Dewantara, dan termasuk adegan yang menyusul berikutnya dimana Chandrabherawa menyembah Yudisthira. Kecendrungan ini merupakan hasil dari kuatnya pengaruh ritual dan upakara yajna dari ajaran Śiva Siddhanta di Bali.
Jadi, dalam arti khusus, agama Hindu sebagaimana yang dipraktekkan oleh umat Hindu di Bali sampai saat ini adalah mazab Shiva-Buddha. Tetapi praktek Shiva-Buddha sebagai ajaran tantra hanya dilaksanakan oleh kalangan pendeta secara terbatas. Umat kebanyakan, tidak hanya tidak mempraktekkan (karena mereka tergantung kepada pendeta), melainkan juga sama sekali buta dan tidak mengetahui tentang ajaran-ajaran yang berkaitan dengan sinkretisme Śiva-Buddha ini. Kenyataan ini, dapat dimaklumi, karena agama Hindu dan Buddha, baik di Indonesia maupun di India, pada mulanya berkembang didalam lingkungan kerajaan. Dalam pengertian ini, raja, atas saran penasehat kerajaan (purohita) melaksanakan ajaran Shiva-Buddha, sedangkan rakyat hanya mengikuti apa yang dilaksanakan atau diperintahkan oleh raja. Kondisi ini bertahan terus ketika kita telah memasuki zaman post-modern, dimana fenomena keagamaan secara keseluruhan, termasuk agama Hindu dan Buddha, berkembang menjadi agama massa.
Memang ajaran yang dipraktekkan dalam tantra Shiva-Buddha disuplai oleh ajaran agama Buddha dan Hindu (Shivaisme) secara bersama-sama. Dalam arti ini, mazab Shiva-Buddha kadang-kadang dibedakan dari mazab tantra Śiva maupun mazab tantra Buddha. Tetapi dengan kecendrungan perkembangan terakhir di Bali, terutama setelah zaman kemerdekaan, apa yang disebut dengan Śiva-Buddha tidak lain dari sub-sistem dari agama Hindu.
Secara formal, para pendeta Śiva maupun pendeta Buddha di Bali, adalah beragama Hindu, sebagaimana tercantum dalam KTP mereka. Sejarahnya bisa ditelusuri setelah terbentuknya pemerintahan Indonesia setelah zaman kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menetapkan lima agama: Hindu, Buddha, Islam, Katolik dan Kristen. Semua penduduk Indonesia diharuskan memilih salah satu dari lima agama tersebut. Menghadapi kenyataan ini, para pendeta Buddha dan para pengikutnya di Bali tidak memilih masuk menjadi agama Buddha, melainkan mengikuti rekan mereka para pendeta Śiva menjadi pemeluk agama Hindu. Sejak itu, para pendeta Buddha dan pengikutnya menjadi pemeluk agama Hindu.
Apapun penilaian yang diberikan oleh berbagai kalangan atas sinkretisme Śiva-Buddha ini, satu hal yang pasti, mazab Śiva-Buddha ini adalah suatu mazab yang unik, karena didalamnya mengadopsi kepercayaan kuno dan kepercayaan lokal yang sangat komplek. Didalamnya termasuk elemen-elemen pemujaan kepada leluhur, ibu bhumi, pohon, roh burung, binatang, kekuatan magis, spirit dan hantu-hantu. Dalam batas-batas tertentu, beberapa dari elemen tersebut, terutama kepercayaan lokal seperti pemujaan kepada leluhur, telah dihapuskan dalam agama Buddha, seperti terjadi dalam sejarah masuknya agama Buddha ke Srilanka.
Selengkapnya :
Text Tutur Candrabherawa (Tattva Chandra Bhairava)