Agama Hindu Bali (Gama Tīrtha / Gama Tiga)


 

Īgama 
(Mencari Kesejatian dengan Ketajaman dan Kejernihan)

 

Īgama adalah bagian dari Gama Tirtha yang berkaitan dengan “mencari Tuhan” dalam aspek halus (sukṣma/ niskala). Istilah “Tuhan” dalam tulisan ini mengacu pada Sang Kesejatian yang menjadi esensi seluruh keberadaan, sekaligus melampauinya. Sang Kesejatian ini adalah sang diri sejati kita sendiri. Pustaka lontar menyebutnya sebagai Śiwa-tattwa.

Diskursus ketuhanan dalam konteks ini adalah topik utama dalam lontar-lontar Tattwa. Dalam berbagai lontar juga disebutkan bahwa cara untuk mengupayakan realisasi kesejatian ini adalah melalui yoga (praktik-praktik meditatif). Karenanya, bisa disimpulkan bahwa Īgama berkaitan dengan melatih yoga (meditasi).

Disebutkan bahwa Īgama ada di iḍĕp. Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuno, iḍĕp diterjemahkan sebagai pikiran yang merupakan pusat kognisi (pengetahuan, pengalaman, sensasi); pemikiran, pandangan, opini, kepercayaan, dan imajinasi. Kognisi adalah kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri. Proses ini terus terjadi secara otomatis selama kita terjaga dan berhenti saat kita tertidur. Kata iḍĕp bisa diterjemahkan sebagai pikiran, namun penting dipahami ontologi dan topologi pikiran dalam konteks mistisisme Bali, sehingga dipahami dalam konteks apa saja kata “pikiran” dipakai.

Jika dikumpulan dari penjelasan dalam berbagai lontar, konsepsi mengenai iḍĕp mencakup hal-hal berikut;

  1. Pikiran sebagai perhatian (attention) dan kesadaran (awareness) yang dengannya kita “mengetahui” sesuatu yang ada di dalam dan luar diri. Dalam konteks ini, “memikirkan sesuatu” berarti membawa perhatian kita pada sesuatu tersebut. Dalam konteks ini, iḍĕp disamakan dengan jñāna/ cetana (kesadaran).
  2. Pikiran sebagai rasio/ penalaran, yang dengannya lah kita bisa menilai sesuatu sebagai baik-buruk, benar-salah, mulia-hina, dan seterusnya. Dengan kata lain, fungsi pikiran berkaitan dengan buddhi (sisi penalaran dalam diri manusia). Dalam konteks ini, “memikirkan sesuatu” berarti menimbang, menilai, serta mengklasifikasi sesuatu tersebut.
  3. Pikiran sebagai konstruksi dunia internal, yang dengannya lah kita membayangkan, menghayangkan. Dalam konteks ini, “memikirkan sesuatu” berarti menggambarkan sesuatu itu di dalam diri, selayaknya sebuah film internal yang tayang di layar batin.

 

Peranan Pikiran dalam Mistisisme Bali

Pikiran memiliki peranan sentral dalam mistisisme Bali karena dia lah aspek dalam diri manusia yang sangat dekat dengan Sang Kesejatian, dengan Jiwa, dengan Tuhan. Dalam teks-teks Tattwa, pikiran (iḍĕp) disamakan dengan jñāna/ tutur/ cetana (kesadaran). Saat kita “memikirkan sesuatu” berarti kita “menyadari sesuatu” atau dengan kata lain, pikiran adalah subjek terhadap berbagai hal yang menjadi objek kehidupan.

Dalam mistisisme Bali, Sang Kesejatian (Śiwa-tattwa) didefinisikan sebagai Cahaya Kesadaran Yang Cemerlang. Percikan kecil dari Kesadaran Sejati ini lah yang kemudian menubuh menjadi kesadaran personal – kesadaran yang ada dalam diri tiap individu, sebut saja sebagai Kesadaran-mempribadi (citta/ iḍĕp).

Kesadaran Sejati (śiwa-tattwa) sifatnya bebas dari belenggu objek, karenanya Dia murni mengarah pada diri-Nya. Sedangkan Kesadaran-mempribadi sifatnya terikat dengan objek-objeknya, baik itu objek internal berupa sensasi-sensasi emosional, atau pun objek eksternal yang dipersepsikan panca indera.

Kesadaran Sejati tidak memiliki batasan ruang-waktu-konsep. Sementara itu Kesadaran-mempribadi dibatasi ruang-waktu-konsep. Sejauh indera melihat-mendengar-merasakan, sejauh itu pula mampu menyadari objek eksternal; sebanyak apa konsep mental yang disimpan, sebanyak itu pula kemampuan menalar objek internal). Selain itu, Kesadaran-mempribadi dibatasi konsep/ pengetahuan/ informasi yang dimilikinya.

Jika diumpamakan, Kesadaran Sejati bagaikan samudera, dan Kesadaran-mempribadi bagaikan percikan ombak. Meski secara kapasitas, kualitas, dan kuantitas keduanya jauh berbeda, namun secara esensial keduanya sama. Selain itu, setetes percikan gelombang berasal dari sang samudera, sebagaimana citta/ iḍĕp berasal dari Śiwa-tattwa.

Cemerlangnya sinar kesadaran Sang Kesejatian adalah karena Dia menyadari dan mengetahui eksistensi dan kesejatian-Nya. Berbeda dengan Kesadaran-mempribadi (iḍĕp) yang bersifat lupa – lupa dengan kesejatian diri karena iḍĕp-nya mengarah pada objek-objek kehidupan, lalu mengidentifikasi diri dengan objek yang disadari tersebut, kemudian tenggelam di dalamnya.

Karenanya, sebagaimana sering saya tuliskan, perjalanan spiritual adalah perjalanan mengingat kesejatian diri. Manusia melupakan kesejatian dirinya karena kesadarannya terarah “ke bawah,” yaitu pada hal-hal superfisial dan temporal. Semua itu adalah objek-objek bentukan Maya-tattwa, dan dalam objek tersebutlah kesadaran kita mengikatkan diri. “Mencari Tuhan” berarti mengarahkan kesadaran dari yang tadinya pada semua objek Maya tersebut, menjadi pada Kesejatian Diri. Inilah yang Mpu Kanwa istilahkan sebagai “memutar kesadaran (hamutĕr tutur).”

 

Pemanfaatan Pikiran Dalam Perjalanan Spiritual

Pikiran menyimpan rahasia ketuhanan. Pikiran (sebagai kesadaran) adalah percikan kecil dari Sang Kesadaran Agung, Sang Kesadaran Sejati. Karenanya, pikiran bisa dijadikan anak tangga dalam menapaki perjalanan spiritual untuk mengenal kesejatian. Demikian lah dinasehatkan dalam berbagai pustaka tradisional. Karenanya, kurang tepat jika perjalanan spiritual dijadikan sebagai jalan yang memusuhi atau mendiskreditkan pikiran. Namun tentunya, agar dapat berjalan dengan tepat diperlukan ketepatan dalam memanfaatkan pikiran.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, pikiran memiliki beberapa fungsi berbeda, mulai dari perannya sebagai kesadaran, kognisi, imajinasi, dan intensi. Keempat peranan ini bisa diberdayakan dan ditata sedemikian rupa, sehingga dia mengantarkan pada pembebasan, bukan malah menjerumuskan pada keterikatan.

Jika disarikan dari petuah berbagai pustaka yang bisa saya jangkau, setidaknya ada 3 cara menata keberfungsian pikiran sebagai “sarana” bertuhan, yaitu: 1) Menajamkan daya kognisi pikiran; 2) mengendarai daya imajinasi dan mengarahkan ulang intensinya; 3) melampaui keseluruhan eksistensi pikiran itu sendiri.

 

1. Menajamkan daya kognisi pikiran

Salah satu fungsi pikiran adalah sebagai pusat kognisi – dengan pikiran lah kita menimbang, menilai, menalar, membandingkan, dan mengklasifikasikan. Kemampuan pikiran kita dalam menalar sesuatu sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki. Karenanya, kita perlu memperkaya dan mematangkan pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki, sehingga akan terbentuk pikiran dengan buddhi (pertimbangan) yang tajam, dan viveka (kebijaksanaan) yang tinggi.

Ibarat jika di dapur yang ada hanya beras, maka yang bisa dimasak hanya sebatas nasi dan bubur. Namun jika tersedia pula beragam bumbu, daging dan sayuran, maka bermacam masakan bisa dibuat. Dengan catatan, ada kemampuan untuk mengolahnya. Contoh lain, orang yang tidak memiliki pengetahuan medis akan sembarangan menyebut setiap penyakit sebagai “panas dalam” atau “masuk angin,” sedangkan seorang dokter yang sudah terlatih di bidangnya akan bisa melihat dari lebih banyak aspek, menilai secara lebih baik, dan akhirnya menangani secara lebih tepat.

Contoh klasik (yang tidak pernah bosan saya ulang-ulang) adalah soal sekelompok orang buta yang menyimpulkan bentuk gajah. Orang yang informasinya hanya sebatas menyentuh gading gajah, menyimpulkan gajah bentuknya seperti pedang; yang hanya sebatas menyentuh belalai (sehingga informasinya hanya sebatas itu) menyimpulkan bahwa gajah bentuknya seperti ular, dan demikian seterusnya.

Karenanya, penting memiliki informasi utuh dan menyeluruh sehingga pertimbangan dan kesimpulan yang dibentuk menjadi lebih sahih. Dengan kata lain, terus membelajarkan diri, menyerap dan mengolah informasi secara bijak, bukan malah reaktif terhadap informasi yang hanya secuil.

Pikiran yang terdidik sepenuhnya dengan ilmu yang membebaskan (samyagjñāna) adalah tujuan dari pembelajaran. Pada saat yang sama, membebaskan pikiran dari kebingungan (bhrāntajñāna). Yang disebut dengan pikiran bingung adalah; tidak tahu utara-selatan, mulia dan utama, atas-bawah, datang-pergi, dan seterusnya. Intinya, tidak mengetahui perbedaan dan batasan satu hal dengan hal lain secara jelas.

Perjalanan spiritual adalah perjalanan belajar – menajamkan pikiran, mengasahnya hingga menjadi sarana yang memberdayakan. Sumber belajar disebutkan ada tiga, yaitu dari petuah para guru (gurutah), dari petunjuk dalam literatur (śāstratah), dan dari diri sendiri (swatah). Saat seorang ahli dalam hal śāstra, maka ia disebut sebagai Śāstrajña.

Diri adalah sumber ilmu, sebab dalam diri bersemayam Sang Hyang Wiśeṣa. Namun sepertinya mengakses sumber ilmu di dalam diri tidak lah mudah, sebab ditegaskan lagi oleh Wṛhaspatitattwa, bahwa ini adalah upaya seorang yogīśwara, yang juga mengindikasikan bahwa sumber ilmu di dalam diri diakses melalui proses meditatif.

Belajar menajamkan pikiran juga adalah belajar tentang pikiran. Hal ini menjadi salah satu materi penting yang perlu dipelajari dalam perjalanan spiritual. Alasannya sederhana saja, saat seluk-beluk pikiran belum benar-benar diketahui, maka sangat riskan kemudian sisi-sisi gelap dalam pikiran kita menyamar menjadi tuhan, lalu menyesatkan kita dalam perjalanan.

 

2. Mengendarai daya imajinasi dan mengarahkan ulang intensi

Fungsi berikutnya dari pikiran adalah daya kreatifnya dalam mengimajinasikan apa yang tidak ada, dan dorongan-dorongan keinginan untuk mengadakan sesuatu. Banyak orang yang tersiksa oleh daya imajinasinya yang tinggi, misalkan dengan membayangkan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi, lalu sedih, marah, takut, dan frustasi oleh hasil imajinasinya itu. Namun di sisi lain, daya imajinasi ini juga adalah “kendaraan” spiritual yang sering kali dibahas dalam berbagai pustaka tradisional.

Dalam konteks ini lah pikiran memiliki peran penting dalam berbagai praktik meditatif (yoga). Baik dalam teks-teks Tattwa/ Tutur maupun dalam teks-teks Kawiśeṣan, selalu ada proses meditatif yang melibatkan pendayagunaan pikiran dan segala aspeknya. Beberapa contoh pendayagunaan tersebut, yaitu; pikiran sebagai sarana kontempasi; pikiran sebagai sarana visualisasi; pikiran sebagai niat yang terpusat.

Dalam Lontar Wratiśāsana misalkan disebutkan definisi dhyāna sebagai upaya merenung-renungkan (kontemplasi) Bhaṭāra dan menstanakan-Nya dalam batin. Kemudian dalam Lontar Gaṇapati Tattwa dijabarkan bahwa latihan prāṇāyāma bukan hanya latihan pernafasan, melainkan juga menjadikan visualisasi sebagai elemen pentingnya; selama menarik, menahan, dan mengeluarkan nafas, dibayangkan wujud dewata tertentu bersemayam di bagian tubuh tertentu.

Kemudian, dalam teks-teks Kawisesan, salah satu metode meditatif yang dipakai adalah dengan meniatkan (membayangkan) diri menjadi sosok tertentu, dan memiliki kuasa kehebatan yang dimiliki sosok tersebut. Berbagai jenis Pangiwa maupun Panengen, semua memanfaatkan daya imajinasi dan visualisasi pikiran.

Dalam tulisan ini tidak akan dibahas mendetail mengenai teknik-teknik meditatif dimaksud. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, pikiran adalah anak tangga yang ditapaki Sang Atma untuk semakin turun menjauh dari kesejatian-Nya, dan pikiran pula bisa menjadi anak tangga untuk naik kembali dan mengingat kesejatian itu.

 

3. Melampaui keseluruhan eksistensi pikiran itu sendiri

Pikiran sebagai Kesadaran-mempribadi adalah percikan kecil dari Kesadaran-sejati, sebagaimana percik air gelombang pantai berasal dari air samudera. Namun, setitik air akan mengalami diri sebagai samudera, saat ia melampaui batasan dirinya dan menyatu dengan samudera. Demikian pula Kesadaran-mempribadi akan kembali menjadi Kesadaran Sejati, saat batasan dan karakteristik yang membentuknya dilampaui.

Kesadaran-mempribadi memiliki 3 batasan, yaitu:

  • batasan fisik (ruang-waktu, tubuh fisik dan kehidupan dunia);
  • batasan konseptual (konsep diri, keyakinan-keyakinan, pengalaman, kesan-kesan emosional, dan sejenisnya);
  • batasan metafisik (ikatan karma). Ketiga batasan ini lah yang harus lebur agar tetes air menjadi samudera.

Dalam Pustaka Wṛhaspatitattwa dinasehatkan secara implisit, bahwa manusia tidak akan menyatu sepenuhnya dengan Sang Kesejatian (Paramaśīwa-tattwa) selama ia masih bertubuh. Penyatuan utuh terjadi saat tubuh fisik lebur. Namun, manusia tetap bisa mengecapi Sang Kesejatian melalui yoganya, asalkan tubuh mentalnya telah dilalui. Dengan kata lain, di balik batas nalar, Tuhan dijumpai.

Pustaka-pustaka Tattwa sendiri umumnya mendefinisikan yoga sebagai lepasnya Kesadaran-mempribadi dari berbagai objek yang membelenggunya. Objek tersebut adalah berbagai dinamika mental yang terus bergejolak menjadi keinginan, harapan, ingatan, dan hayalan. Karenanya, kondisi meditatif adalah kondisi saat kesadaran terserap dalam dirinya, bukan melompat-lompat dari satu objek ke objek lain. Kesadaran ini oleh Pustaka Jñānasiddhānta disebut dengan “kesadaran tanpa objek.”

Saat kesadaran tidak mengikat diri pada sebuah objek, maka yang disadarinya adalah dirinya sendiri. Saat ia sadar akan eksistensinya tanpa warna-warni subjek, maka ia akan mengingat-ingat kembali kesejatian dirinya. Hal ini diumpamakan pula sebagai “kristal bening (sphatikajñāna)” yang tidak lagi diwarnai oleh warna-warni sekitarnya. Dalam konteks ini, melampaui pikiran bisa diartikan sebagai menjadikan kesadaran sebagai kristal bening.

Dalam kedalaman meditasinya, perhatian sang yogi tidak lagi tersita oleh segala yang terjadi di sekitarnya. Dia bahkan tidak lagi mempersepsikan tubuh fisiknya. Lalu bahkan dinamika mentalnya pun telah surut. Dengan kata lain, dia telah bebas dari objek-objek eksternal dan objek personal. Namun, dia masih akan berhadapan dengan objek-objek kosmik.

Objek kosmik dimaksud di istilahkan dengan upasarga dalam beberapa pustaka – dia adalah rekaman atas berbagai kesan karma yang disimpan oleh memori semesta. Rekaman eterik itu lah yang kemudian membentuk dirinya menjadi berbagai fantasi yang terkesan sangat nyata. Tergantung dari karakter (guna) yang tersimpan, maka berbagai objek yang menyita perhatian pun akan beragam – mulai dari berbagai sensasi di tubuh sampai fantasi seolah melihat setan dan dewa-dewi. Setelah semua penghalang (upasarga) ini dilalui, maka Sang Kesejatian dialami. Meski pun disebutkan, pengalaman tersebut sifatnya temporal, karena kita masih dibelenggu tubuh fisik yang akan kemudian memanggil kita untuk pulang pada kehidupan dunia. Namun tentu saja, keterjagaan seorang yang sudah pernah mengecepi luas dan dalamnya Sang Kesejatian akan jauh berbeda dengan yang hanya terombang-ambing di permukaan.

 


Sumber

GOCARA



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga