Ageman Pemangku & Mantra Ngawekasan Yadnya Piodalan


Mantra dalam konteks agama Hindu dikaitkan dengan penggunaannya dalam upacara agama adalah untuk memuja Ida Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. Dalam kaitan ngawekasan yadnya maka mantra adalah ucapan yang merupakan rumus-rumus yang terdiri atas suatu rangkaian kata-kata gaib yang dianggap mengandung kekuatan atau kesaktian untuk mencapai secara otomatis apa yang dikehendaki oleh manusia. Mantra itu sering kata-katanya tidak dimengerti oleh sebagian besar orang dalam masyarakat. Justru disitulah memberikan nilai magis atau suasana kramat dan gaib, misalnya kata AUM atau Oṁ atau Ong.

Oṁ ataupun Ong adalah prenawa, yaitu simbol kehidupan. Dalam mantra Oṁ dianggap mempunyai kekuatan gaib. Kata Oṁ dimaksudkan widyasakti dari Hyang Widhi yang merupakan dari unsur-unsur Tri Sakti yakni kesaktian untuk menciptakan disimbolkan dalam hurup atau ucapan Ang, kesaktian untuk memelihara atau menghidupkan disimbolkan dalam ucapan Ung, dan kesaktian untuk mengembalikan semua ciptaannya ke asalnya (pralina) diwujudkan dalam simbol ucapan atau hurup Mang. Gabungan ketiga bunyi inilah (Ang, Ung, Mang) berubah menjadi Oṁ atau Ongkara. Ongkara adalah pranawa atau Bija Mantra dalam setiap doa atau mantra. Artinya setia memulai mengucapkan bait mantra, selalu didahului dengan Oṁ.

Rumus-rumus itu mengandung suasana sakral dan mempunyai kesaktian karena isinya, serta sifat sakral atau kekuasaan magis dari orang yang memakainya dan karena bahasa yang dipakai dalam mengucapkannya. Kegunaan mantra adalah untuk menurunkan dewa atau Ida Bhaṭāra ke dalam bentuknya yang sekala niskala. Menurut praktek yoga, untuk menurunkan Hyang Widhi ke dalam bentuk skala-niskala ke dalam hati seorang yogi menggunakan sarana-sarana yang dapat disentuh oleh panca indera, seperti pujian-pujian (stuti atau stawa) persembahan berupa bunga (puspanjali), gerak tangan yang mempunyai arti mistik (mudra), suka kata atau rumus-rumus sakral (mantra).

Ini semua merupakan alat atau sarana untuk mengadakan kontak dengan Hyang Widhi yang niskala, sekaligus juga merupakan wadah Hyang Widhi bersemayam. Hyang Widhi turun ke dalam harumnya bau bunga, yang melambangkan kesucian pikiran si pemuja, ke dalam kata-kata atau suku kata dalam bentuk mantra yang melambangkan kesucian perkataan si pemuja, dan dalam bentuk lagu yang dilantumkan oleh si pemuja atau dalam bentuk syair dari si penyair.

Dengan demikian Tri Kaya Parisudha seharusnya sudah tersirat dan tersurat dalam setiap perilaku dan tindakan pemangku sebagai pemimpin upacara. Pemilihan bunga sebagai sarana pemujaan hendaknya bunga yang harum dengan warna sesuai dengan simbol warna dewa yang dipuja atau yang diharapkan hadir dalam upacara tersebut seperti bunga putih untuk Dewa Śiwa, bunga merah untuk Brāhma, bunga kuning untuk Dewa Mahadewa, bunga biru untuk Bhaṭāra Wiṣṇu dan kalpika atau bunga campuran untuk Bhaṭāra Śiwa atau semua dewa. Sangatlah kurang baik jika memuja memakai bunga tidak harum dengan warna yang tidak sesuai.
Pemikiran-pemikiran yang demikian yang mendasari penggunaan mantra adalah dalam mengantarkan persajian atau dalam ngawekasang persembahan sang Yajamana kepada Hyang Widhi atau Ida Bhaṭāra. Dengan pemahaman ini diharapkan para pemangku tidak ragu-ragu menggunakan mantra. Suatu mantra dilandasi oleh keyakinan yang kuat tidak akan mancapai tujuannya.

 

Langkah-langkah dalam Ngawekasan Yadnya Piodalan

 

Mempersiapkan Peralatan Nunas Tirtha

  • Sangku atau sibuh atau payuk tempat tirta. Bila upacara itu agak besar agar disiapkan dua tempat tirta. Bila upacara kecil atau rerahinan biasa cukup satu tempat tirta.
  • Bija (aksata) dan ganda (air cendana) masing-masing satu tempat ditaruh berdekatan. Bija adalah lambang benih. Bija hendaknya dicampur dengan air cendana agar harum. Kumāra dalam mantra yang menyertai kata aksata (Oṁ Kumāra aksata ya Namaḥ swāhā) adalah anak Dewa Śiwa. Dengan demikian bija adalah simbol Dewa Śiwa sendiri. Gandha, atau bau-bauan yang harum adalah simbol amṝṭa (lambang kehidupan abadi). Dalam mantra gandha dihubungkan dengan Śiwa sebagai Iśwara.
  • Puspa, adalah simbol suguhan, juga sebagai perwujudan perasaan manusia yang dapat mendatangkan kepuasaan. Kembang atau puspa juga merupakan lambang dewa Śiwa yang niskala, khususnya berupa bau yang keluar dari puspa itu. Karena itu usahakan bunga yang dipakai dipilih dari bunga-bunga yang berbau harum. Sebab bau juga melambangkan kesuciaan manah manusia, makin harum bunga yang dipakai maka makin suci pikiran kita. Alangkah baiknya jika dilengkapi dengan kalpika. Karena kalpika merupakan lambang Tri Murti.
  • Pasepan. Api dengan asapnya yang harum (harus mengharumkannya dipakai kemenyan atau kayu cendana, atau kayu majegau) melambangkan akasa. Pasepan juga sebagai pengantar upacara, yang menghubungkan manusia dengan Ida Bhaṭāra. Api atau Dewa Agni adalah dewa yang mengusir raksasa dan membakar habis semua mala, ia juga merupakan dewa pemimpin upacara menurut kitab Weda. Karena itu setiap upacara yadnya selalu ada pasepan atau api, atau berupa dupa.
  • Sirat toya (yang dibuat dari seetmimang) besarnya sesuai dengan kebutuhan.
  • Siwowista (dibuat untuk tempat tirta, untuk diri sendiri, untuk bajra bila memakai bajra) adalah simbol penydhamala sahaning leteh.
  • Dulang, tempat menaruh semua peraltan pemangku ini, di atas dulang di alasi kapar.
  • Ghanta (bajra), bila memakai. Ghanta (simbol sumber bindhu nada (Hyang Widhi sendiri). Juga sebagai sarana untuk memudahkan untuk memanggil ida Bhaṭāra untuk hadir dalam upacara itu. Sekaligus juga sebagai sarana untuk memudahkan pemusatan pikiran karena dituntun oleh getaran suara nada dari ghanta ini.
  • Dalam rangka nunas tirtha dihadapan pemangku hendaknya disediakan daksina sebagai tempat linggih ida Bhaṭāra. Bila tidak ada daksina juga dipakai kain putih kuning (rantasan putih kuning) dilengkapi dengan canang sari, burat wangi dan canang pesucenan dan sesarin banten.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Dapatkan Dalam Versi Cetak
Baca Juga