Balian Usada Bali

Analisis Penyakit Niskala dalam Sistem Tenung Bali


Sakit Kepongor Kawitan, Leluhur dan Pitara

Dalam struktur sosial masyarakat Hindu Bali, hubungan antara Pitara (leluhur yang telah meninggal) dan Sentana (keturunan) tidak terputus oleh kematian. Ikatan ini bersifat abadi dan timbal balik.

Keturunan berkewajiban melakukan Pitra Yadnya (upacara kematian dan penyucian roh) untuk memuluskan perjalanan leluhur menuju alam keabadian (Amorah Ring Acintya). Sebaliknya, leluhur yang telah mencapai status suci diharapkan memberikan perlindungan (Suryan) kepada keluarga yang masih hidup.

Namun, ketika proses ini terhambat — baik karena upacara yang belum sempurna, janji yang belum ditepati, atau kesalahan perilaku keturunan — roh leluhur dapat tertahan di alam antara. Kondisi ini menyebabkan penderitaan bagi roh tersebut, yang kemudian berusaha “menghubungi” keturunannya untuk meminta pertolongan.

Kontak energi antara dimensi roh yang “dingin” atau “menderita” dengan dimensi fisik manusia hidup inilah yang menimbulkan gesekan patologis, yang dikenal sebagai sakit Kepongor Pitara.

Kepongor bukanlah bentuk hukuman jahat, melainkan sering digambarkan sebagai “gigitan kasih sayang”
Sebuah upaya putus asa dari leluhur untuk menarik perhatian agar kewajiban ritual segera dilaksanakan.

Analisis Mendalam Simptomatologi Klinis Pitara

Berdasarkan data dari Lontar Kala Tattwa dan Usada Tenung Tanya Lara, gejala penyakit akibat gangguan leluhur memiliki karakteristik yang sangat spesifik dan dapat dibedakan dari penyakit medis maupun serangan ilmu hitam. Gejala-gejala ini menyerang sistem fisiologis dan psikologis secara simultan :

Gangguan Gastrointestinal dan Sistem Metabolisme

Salah satu tanda paling dominan dari gangguan Pitara adalah manifestasi pada area perut (Weteng). Dalam banyak tradisi mistis, area pusar dan perut dianggap sebagai pusat energi yang menghubungkan manusia dengan tali pusar leluhur.

  • Weteng Lara (Nyeri Abdominal) : Pasien mengalami sakit perut yang melilit, kram, atau terasa seperti diremas. Rasa sakit ini sering kali berpindah-pindah dan tidak merespons obat antasida atau analgesik. Secara medis sering didiagnosis sebagai dispepsia fungsional atau IBS, namun dalam Tenung, jika disertai gejala lain, ini indikator kuat Pitara.
  • Mataag (Sendawa Kronis) : Gejala Mataag atau bersendawa terus-menerus adalah tatenger klasik. Dalam bahasa Jawa Kuno dan Bali, mataag menandakan perut penuh. Namun, dalam konteks ini, sendawa yang tidak berkesudahan (tanpa makan) diinterpretasikan sebagai tanda “masuk angin” metafisik atau adanya entitas yang mencoba berkomunikasi lewat jalur nafas/pencernaan.  
  • Rasa Lapar atau Kenyang yang Anomali : Pasien mungkin merasa sangat lapar tiba-tiba (mencerminkan kelaparan roh leluhur yang kurang sajen) atau sebaliknya, merasa kenyang dan mual saat melihat makanan.

Manifestasi Neurologis dan Muskuloskeletal

Interaksi energi leluhur sering kali menyebabkan gangguan pada sistem saraf dan otot, menciptakan sensasi ketidaknyamanan yang persisten :

  • Ngetor (Tremor dan Menggigil) : Pasien mengalami getaran tubuh halus hingga kasar ( tremor ), sering disertai perasaan kedinginan yang menusuk tulang, meskipun udara sekitar panas. Fenomena ini disebut kadengenan (kedinginan mayat). Keringat dingin ( metu peluh ) sering keluar berlebihan, terutama di telapak tangan dan kaki.  
  • Suku Lara (Kelemahan Tungkai Bawah) : Keluhan sakit, berat, atau lemas pada kaki ( suku ) sangat umum. Pasien merasa kakinya seperti dibebani timah atau ditarik ke dalam tanah. Simbolisme ini kuat : kaki adalah akar, dan leluhur adalah akar keluarga. Masalah pada “akar” spiritual bermanifestasi sebagai kelemahan pada kaki fisik.  
  • Tangan Paguridip : Gerakan tangan yang gelisah, gatal, atau kesemutan ( paguridip ) tanpa sebab neuropati yang jelas.  

Perubahan Psikologis dan Kesadaran

Gangguan Pitara juga memengaruhi status mental pasien, sering kali membuat mereka tampak “bukan dirinya sendiri” :

  • Nelik Matanya dan Macengung (Tatapan Kosong) : Perubahan sorot mata menjadi tanda diagnostik vital bagi Balian . Pasien sering macengung (melamun dengan tatapan kosong) atau nelik (mata mendelik/terbelalak) tanpa fokus. Ketika diajak bicara, respons mereka lambat atau macengung uninya (suaranya bergumam/tidak jelas).  
  • Kesadaran Fluktuatif : Kondisi ini bersifat on-off. Ada momen di mana pasien sadar sepenuhnya ( menget malih ), namun kemudian kambuh kembali ( ngentah kadi rumuhun ). Siklus ini membingungkan keluarga dan dokter medis.  

Dimensi Onirik : Mimpi sebagai Alat Diagnostik Utama

Dalam Tenung, mimpi (Ipian) dianggap sebagai perjalanan jiwa yang valid. Untuk kasus Kepongor Pitara, mimpi pasien hampir selalu melibatkan tema kematian atau masa lalu :

  • Visualisasi Leluhur : Bermimpi bertemu orang tua atau kakek-nenek yang sudah meninggal. Kondisi leluhur dalam mimpi mencerminkan keadaan mereka di alam sana. Jika mereka terlihat berbaju lusuh, menangis, atau meminta makanan, itu tanda mereka menderita dan meminta upacara.
  • Simbolisme Rumah : Bermimpi tentang rumah tua, rumah yang bocor atapnya, atau halaman rumah yang kotor. Ini menyimbolkan bahwa “rumah spiritual” keluarga (Pura/Sanggah) perlu diperbaiki atau dibersihkan secara ritual.

 Identifikasi dan Pencegahan

Sakit yang disebabkan karena roh leluhur ( Pitra ) merasa diabaikan, kecewa, atau belum mendapat tempat yang layak di alam sana, sehingga “menggantung” di rumah dan menyerap energi vital keturunannya.

Untuk menampilkan bagian ini, diperlukan
Login Membership

Penyakit Akibat Pitara (Leluhur/Kawitan) biasanya terjadi karena ada janji ( sesangi ) yang belum dibayar, upacara pengabenan yang kurang sempurna, atau leluhur meminta perhatian khusus. Kondisi ini sering disebut Kepidara.

Ciri-ciri Fisik :

  • Badan terasa geseng (terasa hangat/panas di dalam, tapi kulit luar biasa saja atau dingin).
  • Persendian terasa linu, terutama di bahu (terasa berat seperti memikul beban) dan lutut (lemas).
  • Mata sering terasa berat dan mengantuk, tetapi sulit tidur nyenyak.

Ciri-ciri Non-Fisik/Mimpi :

  • Sering bermimpi didatangi orang tua atau kerabat yang sudah meninggal.
  • Bermimpi tentang air (mandi, kebanjiran, atau menyeberangi sungai).
  • Bermimpi rumah bocor atau rusak.

Perasaan : Sering merasa cemas tanpa sebab, rindu berlebihan pada kampung halaman atau rumah tua.

  •  

Pastikan Leluhur sudah diupacarai dengan benar, karena janji leluhur yang belum lunas, atau rindu perhatian akan membuat kepongor.

Ciri-Ciri :

  • Perut & Pencernaan : Sakit perut melilit ( Weteng Lara ), sering bersendawa terus-menerus ( Mataag ) seolah masuk angin tapi tidak sembuh obat.
  • Fisik : Kaki terasa lemas/berat ( Suku Lara ), tangan gatal/kesemutan ( Tangan Paguridip ), tubuh menggigil kedinginan ( Ngetor ) meski cuaca panas.
  • Mata : Tatapan kosong ( Macengung ), mata mendelik ( Nelik ).
  • Mimpi : Bermimpi bertemu orang tua/kakek yang sudah meninggal (terkadang meminta makan/baju), mimpi rumah tua rusak atau atap bocor.

Solusi/Pengobatan :

  • Pitra Yadnya : Melakukan upacara penyucian roh (Ngaben, Ngeroras, atau Atma Wedana) jika belum tuntas.
  • Banten Panebusan : Menghaturkan banten panebusan genep (mentah/rateng) sebagai simbol penebusan dosa/kesalahan leluhur.
  • Meresik : Membersihkan Sanggah Kemulan/Pura Kawitan.



HALAMAN TERKAIT
Baca Juga