Jenis-Jenis Upacara Mecaru dalam Bhuta Yadnya


Bhuta Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu ketentraman hidup manusia. Bhuta yadnya merupakan salah satu yadnya yang diyakini oleh umat Hindu sebagai jalan untuk menjaga keharmonisan alam atau bumi agar semua unsur alam semesta akan terjaga keharmonisannya. Salah satu unsur penting dalam Bhuta yadnya khususnya upakara caru atau disebut dengan mecaru. Upacara Mecaru di Bali merupakan sebuah ritual suci yang kerap digelar untuk mengharmonisasi hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya untuk keberlangsungan kehidupan selanjutnya atau mengharmoniskan unsur-unsur Panca Maha Bhuta di Bhuana Agung dan Bhuana Alit.

Adapun tujuan Upacara Bhuta Yadnya adalah disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin, juga untuk menyucikan dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta kala tersebut sehingga dapat berfungsi dan berguna bagi kehidupan manusia.

Unsur-unsur Panca Maha Bhuta merupakan lima unsur yang menyusun alam semesta, seperti pertiwiapahtejabayu, dan akasa/etherPertiwi adalah sesuatu di sekitar kita yang berwujud, berbentuk dan dapat dirasakan seperti besi, logam, kayu, dan lain sebagainya. Pada umumnya pertiwi lebih dikenal dengan tanah. Apah adalah segala sesuatu yang lentur, mengalir, fleksibel, luwes, mendinginkan dan tidak memiliki bentuk yang kokoh. Secara nyata wujud apah adalah elemen air. Teja merupakan elemen api, yang dapat menghasilkan panas dan cahaya. Bayu merupakan sesuatu yang menaungi atau melingkupi jagat raya. Bentuk dari elemen bayu adalah angin yang melingkupi bumi. Akasa/ether merupakan unsur ruang kosong, dengan kata lain alam tempat tinggal seluruh makhluk hidup.

Caru merupakan bagian dari upacara yadnya yang bertujuan untuk keseimbangan para bhuta sebagai kekuatan bhuwana alit maupun bhuwana agung sebagaimana disebutkan dalam kanda pat butha sehingga dengan adanya keseimbangan tersebut berguna bagi kehidupan ini. Caru yang dalam sejarahnya disebutkan diawali dari terjadinya kekacauan alam semesta yang mengganggu ketentraman hidup sebagai akibat dari godaan-godaan bhuta kala, sehingga Hyang Widhi Wasa menurunkan Hyang Tri Murti untuk membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari godaan-godaan para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru” sebagaimana disebutkan dalam mitologi caru ini.

Dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru; Pecaruan; Tawur) sebagai upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit (diri kita sendiri/ manusia). Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Tri Hita Karana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan. Upacara pecaruan ada yang dilakukan dalam bentuk kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika Karma. Adapun jenis-jenis sebagai berikut, Caru Eka Sata, Caru Panca Sata, Caru Rsi Ghana, Caru Penolak Mrana/ Gering Tempur, Caru Panca Sanak Madurgha, Caru Bhuta Yadnya Medana-dana/ Gempong Asu, Caru Panca Sanak Agung, Caru Panca Wali Krama, Caru Panca Kelud, Caru Walik Sumpah, Caru Tawur Gentuh, Caru Tawur Agung, Tawur Eka Dasa Rudra.

Mithologi yang mendasari pelaksanaan caru di Bali adalah kisah Mahabharata pada Sauptika Parwa, yakni saat Dhuryodana yang dalam keadaan sekarat masih penuh dendam dan amarah namun kematiannya belum kunjung datang. Saat itu Aswatama ingin membalaskan dendam sahabatnya itu untuk membunuh Pandawa. Dini hari ia melancarkan aksi memalukan sepanjang sejarah yakni membunuh Panca Kumara  yang masih tertidur lelap pasca perang Bharata Yudha. Panca Kumara ditebas dengan pedang Aswatama, dan pedang yang berlumuran darah para pangeran Pandawa itu dibawanya kepada Dhuryodana. Dioleskannya pedang itu disekujur tubuh Dhuryodana dan akhirnya ia bisa memperoleh kematiannya dengan tenang. Hal ini menunjukkan kekuatan negatif yang disimbolkan oleh Dhuryodana dapat menjadi tenang oleh penggunaan darah. Itulah sebabnya pada banten caru menggunakan daging dan darah lima ekor ayam sebagai simbol pengorbanan suci Panca Kumara untuk mendamaikan, menyucikan, menyomya kekuatan negatif alam semesta ini.

Bhuta Yadnya, pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil.

Upacara ini di sebut dengan “ Segehan “, dengan lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, garam dan lain-lainnya. Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.

2. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang sedang ( madya ).

Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “ Caru “. Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis caru tersebut adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.

3. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar ( utama ).

Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.

 

Memaknai Ruang dan Waktu

Setiap upacara agama yang berdasarkan Veda selalu ada lima unsur yang memvisualkan nilai-nilai suci upacara agama Hindu. Lima unsur tersebut adalah Mantra, Tantra, Yantra, Yadnya dan Yoga. Yantra itu berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya alat atau sarana dalam bentuk simbol.

Yantra dalam upacara agama Hindu di Bali disebut banten atau upakara. Banten inilah yang menggunakan sarana tumbuh-tumbuhan dan hewan di samping unsur unsur panca maha bhuta lainya.

Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan, sebagai berikut, ” ….. Sehananing bebanten pinaka raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka Andha Bhuwana.” Artinya, semua bebanten adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang isi alam semesta. Berdasarkan uraian Lontar Yadnya Prakerti ini banten memiliki tiga makna. Banten bermakna sebagai simbol manusia, baik lahir maupun batin, bermakna untuk melambangkan berbagai wujud kemahakuasaan Tuhan dan banten juga melambangkan keberadaan isi alam semesta ini berupa planet-planet isi ruang angkasa.

Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan.

Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik.

ButhaYadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha (tanah, air, api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami, maka dari kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itulah sebagai bahan dasar makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka fungsinya pun juga akan terganggu. Dalam Bhagawadgita III.14 disebutkan tentang proses berkembangnya makhluk hidup dari makanan. Dari hujan datangnya makanan. Hujan itu datang dari Yadnya. yadnya itu adalah Karma. Dalam Bhagawadgita ini memang disebutkan hanya hujan. Namun dalam proses menumbuhkan tumbuh-tumbuhan tidaklah hanya hujan saja yang dapat melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kelima unsur alam tersebut juga berfungsi menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.

Tanah, api (matahari), udara dan ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Peredaran kelima unsur alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam. Karena itu upacara mecaru itu berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat manusia agar memiliki wawasan kesemestaan alam.

Hubungan antara manusia dehgan alam haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya sebagaimana ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.16. ini artinya antara alam dan manusia harus menjaga kehidupan yang saling memelihara berdasarkan Yadnya. Keberadaan alam ini karena Yadnya dari Tuhan. Karena itu manusia berutang moral pada Tuhan dan alam secara langsung. Utang moral itulah yang disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra. Dalam Yajurveda XXXX.l disebutkan bahwa Tuhan itu berstana pada alam yang bergerak atau tidak bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini artinya alam itu adalah badan raga dari Tuhan. Karena itu upacara mecaru itu berarti suatu kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat alam.

Di dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40 disebutkan, tujuan digunakan tumbuhtumbuhan dan, hewan tertentu sebagai sarana upacara yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua makhluk hidup tersebut meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang.

Akan menjadi tidak cantik kalau penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut hanya mentok di tingkat upacara semata. Tujuan hakiki dari upacara mecaru itu adalah pelestarian alam dengan eko sistemnya. Dari alam yang lestari itu manusia mendapatkan sumber kehidupan. Jadinya hakekat Butha yadnya itu adalah mecaru untuk membangun kecantikan alam lingkungan sebagai sumber kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan sudut pandang upacara; caru itu adalah salah satu jenis upacara Butha Yadnya.

Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum menggunakan hewan itu disebut Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi Sasah, ada Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.

Menurut Lontar Dang Dang Bang Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan binatang kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama Banten Tawur. Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau seekor. Umumnya dipergunakan untuk Tawur Kesanga setiap menyambut tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor kerbau disebut Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara lain disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada hakekatnya semuanya itu tujuannya adalah mecaru mewujudkan keharmonisan sistem alam semesta.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga