Runtutan Upacara Ngaben Arya Kubon Tubuh


Rangkaian kegiatan setelah pembakaran

a) Memungut galih (tulang)

Mempergunakan sepit. Pekerjaan ini disebut “inupit” dan nyumput areng. Memungut galih yang telah disiram dengan air, mempergunakan tangan kiri, dari bawah ke atas, (Upeti) lalu diganti dengan tangan kanan atas ke bawah (Sthiti), dilanjutkan dengan tangan kiri lagi dari bawah ke atas (Pralina). Galih-galih itu ditaruh pada sebuah “Senden”. Setelah terkumpul disirati air kumkuman 3 kali, ditaburi sekarura 3 kali.
Dengan mantranya: om ang ati sunya ya namah, om ang Parama Sunya ya namah, Om ang Parama nirbhana ya namah.

b) Nguyeg (menggilas) galih yang telah terkumpul pada senden setelah diisi wangi-wangian, lalu digilas (uyeg). Alas penggilasnya adalah tebu ratu, dilakukan juga dengan tangan kiri. Pekerjaan ini dilakukan pada bale Pengastrian.

c) Ngereka (mewujudkan)
Bagian-bagian yang halus dari galih itu, diambil dengan “sidu” dan dimasukkan pada kelungah nyuh gading yang telah dikasturi. Klungah Nyuh Gading itu lalu dikasi pakaian putih (udeng sekah) dibuatkan prarai dengan kwangen. Bagian galih yang kasar, direka dengan kwangen pangerekan. Di bawah disertakan lalang 27 biji, disusuni dengan sekar sinom dan canang wangi, pakaian baru setumpuk dan tigasan putih kuning. Galih yang telah direka ini ditaruh di atas Pengiriman (penganyutan).

d) Narpana
Setelah selesai ngereka lalu Sulinggih memujakan tarpana. Sajen tarpana terdiri dari : 1. Nasi angkep, 2. Bubuh pirata, 3. Panjang ilang, 4. Nasin rare, 5. Plok katampil, huter-huter, dengdeng bandeng, dan kasturyan (pesucian), 6. guru, 7. Pras, 8. Soda panganten putih kuning, daksina, lis (satu soroh eedan). Di Sanggar surya dipersembahkan: Suci asoroh. Dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan : Penyeneng, Jerimpen, sayut 1 pasang, jajan 4 warna yang dikukus, dan tigasan saperadeg. Di Sanggar Surya dipersembahkan suci satu soroh. Upakara di pawedaan (dimuka Pendeta memuja): Suci, pras, daksina, periuk, kuskusan dan cedok pepek, lis, prayascita, durmanggala Sekar ura, kwangen pangerekan dan uang kepeng 66 biji. Bunga dan kwangen pebhaktian.

Setelah ngereka selesai maka dilanjutkan dengan peralina sebagai tahap akhir dari pemujaan sang sulinggih sebelum ngayut. Merelina dilakukan oleh pemiliki sekah bersama keluarganya dipimpin sang sulinggih. Meralina dipergunakan upakara: daksina asoroh, menyan, astanggi, sekar tunjung putih (masurat wijaksara) dan piring sutra. Pelaksanaannya diiringi oleh kidung /kekawin.

Menurut Wiana (2004:50), kata pralina (bahasa Sansekerta) artinya hilang atau kembali, secara filosofis tidak satu yang hilang di alam ini. Yang terjadi adanya perubahan tempat dan perubahan bentuk. Sebelum manusia itu disebut mati ia berwujud manusia dimana hidup dimana purusa dan pradhananya utuh bersatu padu sehingga membangun kehidupan di alam ini. Setelah meninggal tidak ada sesuatu yang hilang yang ada adalah Purusa itu berpisah dengan Pradhananya. Inilah yang disebut mati menurut Lontar Wrhaspati Tattwa. Badan raga dan jiwanya masih tetap ada cuma sudah berpisah satu sama lainnya.

Puja pralina yang dilakukan oleh pandita pemimpin Upacara adalah untuk mengembalikan semua unsur kepada asalnya. Panca Maha Bhuta kembali pada asalnya Panca Maha Bhuta itu. Panca Maha Bhuta di Bhuwana Alit berasal dari Panca Maha Bhuta di Bhuwana Agung. Demikian juga unsur-unsur Suksma Sarira agar kembali pada asalnya masing-masing. Kalau semuanya itu kembali pada asalnya maka atman tidak ada yang menghalangi untuk kembali pada Paramatma. Dalam prosesi yang disebut Pralina dalam upacara ngaben ini, pandita melaksanakan puja pralina untuk melepaskan atman dari ikatan badan raga, Badan raga ini adalah badan yang digunakan oleh indriya sebagai media memenuhi gerak nafsu, “raga” dalam bahasa sansekerta artinya nafsu.

Sesungguhnya raga atau nafsu itulah yang menutupi sinar suci atma sehingga jauh dari kesadaran Brahman. Ibarat sinar matahari yang ditutupi oleh awan gelap di angkasa. Kalau awan gelap itu hilang diembus angin maka sinar matahari langsung dapat menerangi bumi. Karena matahari itu memang tidak pernah tidak bersinar sepanjang masa. Jadinya puja pralina bertujuan merubah kedudukan hawa nafsu itu menjadi berada di bawah kekuasaan atman. Jadinya puja pralina itu bukan berarti menghilangkan badan raga itu dari alam semesta ini.

Puja pralina itu mendudukkan segala unsur yang membangun diri manusia itu pada kedudukan sesuai dengan proporsinya yang ideal. Kalau menggunakan konsep Sarira menurut Wrhaspati Tattwa maka sthula sarira itu berada di bawah pengaruh Suksma Sarira. Demikian juga seterusnya suksma sarira itu berada di bawah pengaruh antahkarana sarira.

Tujuan puja pralina itu adalah untuk menuntun tri sarira itu agar kembali pada posisinya masing-masing yang ideal. Dalam prosesi pralina ini Pandita disamping menggunakan puja pralina juga menggunakan sarana upakara. Unsur sarana upakara yang terpenting digunakannya bungan padma. Bungan padma atau di Bali disebut Bunga Tunjung dalam Lontar Dasa Nama disebut Raja Kusuma atau Rajanya Bunga. Bunga ini disimbolkan sebagai lambang Bhuwana Agung sthana Tuhan yang Mahaesa. Karena itu bungan padma yang mekar simbol kesucian. Sedangkan bunga padma yang kuncup lambang kelepasan. Dalam puja pralina pandita menggunakan bunga padma yang kuncup untuk melepaskan hubungan atman dengan sariranya.

Dalam proses pralina ini pandita menyatukan kekuatan puja mantra dengan yantra, tantra dan yoga menjadi satu untuk mengembalikan semua unsur yang mengikat atman. Yantra adalah sarana yang berupa banten dengan bunga tunjung putih yang kuncup sebagai sarana utamanya. Tantra adalah tenaga dalam pandita yang suci hasil dari yoganya pandita. Perpaduan semuanya itulah menjadi kekuatan untuk meralina atau menghilangkan ikatan atman.

Secara filosofi upacara ini diartikan sebagai terpisahnya stulla sarira dan suksma sarira dengan antahkarana sarira beliau yang meninggal, dan secara sekala terpisahnya yang hidup dengan meninggal. Maka dari itu pada upacara ini disebut juga upacara puja amari aran yakni pencabutan nama, penghapusan pribadi dan kekuatan sang pitara, sehingga yang tertinggal hanyalah atma yang suci tanpa noda apapun juga, tanpa unsur aku, tanpa nama dan tanpa rupa. Sesuai dengan ajaran Agama Hindu pelaksanaan puja amari aran dilakukan oleh sulinggih dengan pujastawa pamralina.

Pelaksaan pameralina diawali dengan saji tarpana yang berarti menghaturkan suguhan berupa sesaji, bubur pirata dan pejagan berisi beraneka buah, sebagai tanda penghormatan kepada almarhum. Puja pralina dan saji tarpana dilakukan bersamaan dan diikuti dengan menghaturkan sembah pangubaktian kehadapan almarhum dihadapan jenazah, diikuti oleh seluruh pretisentana dan keluarga.

Ungkapan yang disampaikan oleh Wiana (2004:51) dan uraian informan diatas penulis dapat simpulkan upacara pralina adalah bagian yang amat penting dari rangkaian upacara ngaben ngelanus, sebab secara psikologis berdampak positif terhadap keluarga almarhum, setelah mereka ikut serta mendoakan agar semua unsur-unsur yang membentuk badan wadag almarhum kembali keasalnya sehingga sang atma tidak lagi terikat oleh indria. Dengan demikian upacara pralina adalah suatu tindakan religius yang merupakan bagian sikap keberagamaan bagi mereka yang melakukannya.

Persembahan (pengubaktian) dilakukan dengan urutan seperti, pertama sembah puyung dengan maksud membulatkan pikiran kehadapan Sang Hyang Widhi, kedua dengan sarana bunga dengan maksud mohon upasaksi kehadapan Dewa Surya (Siwa Raditya), ketiga dengan sarana bunga atau kwangen dengan sesari berupa uang ditujukan kepada almarhum, serta doa agar mendapat tempat sesuai karmanya.

Khusus pada bagian ketiga ini sesari (uang) dikumpulkan diletakkan disebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu (sok cegceg) sebagai bekal beliau untuk perjalanan menuju ke alam sunya. Keempat dengan sarana kwangen mohon anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan (Dewa Samodaya), agar senantiasa seluruh keluarga mendapat suatu ketentraman. Kelima nyembah puyung dengan tujuan menghaturkan prama suksma.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga