Runtutan Upakara dan Pelaksanaan Ngaben


 

Sarana Upakara Ngaben

 

Bade dan Wadah

Penekun lontar sekaligus undagi bade asal Kesiman I Wayan Turun mengatakan bade dan wadah merupakan simbol dari sukuning (bagian bawah) dari Gunung Maliawan. Bade atau wadah memiliki fungsi sama sebagai sarana pemberangkatan jenazah ke setra dalam upacara pitra yadnya. Namun, secara fisik, kedua sarana itu sebetulnya memiliki perbedaan. Ditegaskan, jika menggunakan tumpang (atapnya bertingkat-red) disebut bade, sedangkan yang tidak bertumpang disebut wadah. Namun, wadah bisa disebut bade jika menggunakan palih bade seperti bacem, batur, taman, sari. ”Perbedaan istilah ini mesti dipahami oleh masyarakat, terlebih bagi seorang undagi supaya tidak rancu,” ujarnya seraya menegaskan seorang undagi mesti tahu sedikit aksara Bali dan senang membaca tatwa-tatwa atau prasasti karena di sana terdapat bermacam-macam aturan mengenai pembuatan bade serta filosofi yang terkandung di dalamnya.

Dikatakan, selain berbentuk bade dan wadah, ada juga sarana pitra yadnya yang bisa disebut bade namun bentuknya sedikit berbeda, yakni balai pebasmian. Bentuknya seperti bangunan balai yang di dalamnya berisi bale kantil tempat jenazah, dilengkapi dengan pepalihan seperti boma bersayap, macam-macam kekarangan, kekitir, brapakat, dll. Jika dikaitkan dengan catur warna dalam konsep profesi golongan manusia di Bali, menurut pegawai Museum Bali ini ada aturan khusus penggunaan bade. Misalnya, keturunan mana saja yang boleh menggunakan bade bertumpang solas (11), sanga (9), pitu (7), lima (5) dan seterusnya.

Turun menegaskan, dalam lontar-lontar disebutkan penggunaan tumpang-tumpang itu sudah diatur sesuai dengan warna seseorang. Misalnya keturunan Dalem bisa menggunakan bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan naga banda dan kelengkapan upakaranya.

Dikatakannya, dalam Babad Arya Kutawaringin disebutkan, para Arya bisa menggunakan bade tumpang pitu (7) yang berhiaskan simbar dari kertas mas berwarna-warni, magunung tajak, karang curing, hiasan boma, hiasan garuda marep mungkur –depan belakang.

Dalam prasasti Arya Gajahpara, Arya Getas boleh menggunakan bade Taman Agung, yakni bade yang berisi hiasan bunga-bungaan dan kekarangan. Selanjutnya, keturunan Arya Kloping bisa memakai bade tumpang pitu (7), mapadma patra, makakitir, magaruda mungkur. Selain itu, keturunan Dauh Baleagung pun bisa memakai bade tumpang pitu (7), sebab mereka juga keturunan Arya Kepakisan. Begitu pun keturunan Abasan bisa memakai bade tumpang pitu (7), berhiaskan boma bersayap.
Namun, dari sekian keturunan itu, keturunan Dalem Bangkalan (Bali Aga) yang lebih banyak memiliki pilihan. Sebab, selain bisa memakai bade tumpang sanga (9), mereka juga bisa menggunakan bade tumpang pitu (7) dan tumpang lima (5).

Sementara soroh Pematolan Pande Bang, khusus menggunakan bade berwarna putih dan lembu lembu warna putih pula. Namun, lembu yang digunakan tidak ada kepalanya.
Apa saja kelengkapan bade? Menurut Turun ada sekitar 20 kelengkapan bade yakni ringring, kakitir di tiap sudut tumpang, kapas atau mangle, magunung tajak (tiap sudut berisi hiasan gegunungan), magender wayang, boma makampid (bersayap), garuda mungkur, apit lawang, brekapat, masaka anda, palih bade — bacem, batur, taman sari, atapnya bertumpang, kekendon, macam-macam kekarangan menurut tempat, tetamanan atau bunga-bungaan, pakis, ulon, bantala, badan dara dan gagodegan. Namun, dari sekian kelengkapan bade itu yang paling inti harus ada ringring, kakitir, kapas/mangle, atapnya bertumpang, masaka anda, boma makampid dan magunung tajak.

Lontar Dharma Laksana

Dikatakan, dalam pembuatan bade, wadah dan kelengkapan lainnya mesti berpegangan pada lontar Dharma Laksana. Dalam lontar itu ada aturan dasar yang mesti dipakai seorang undagi bade. Artinya, dalam pembuatan itu tidak boleh hanya mengutamakan seni, tetapi harus sesuai dengan aturan. Misalnya, seseorang minta bade palih taman, mestinya seseorang tukang (undagi) mesti tahu apa itu palih taman. Jangan sampai karena kekurangtahuan justru yang dibuat palih gunung atau palih tanjak.

Ditambahkannuya, yang disebut palih itu sebetulnya palinggih atau tempat suci. Dalam bade, lanjutnya, selain palih taman ada istilah palih sari, palih batur dan gunug gopel. Jika empat macam palih itu disatukan disebut palih macira atau petira (agung).

Bagaimana proses pembuatan bade? Menurut Turun, berdasarkan konsep Gugu Laksana, pembuatan bade diawali dengan pencarian papah, bagian dari daun pohon kelapa. Papah itu nantinya akan dipakai untuk mengukur, baru kemudian membuat gegulak yang memiliki pengertian sederhana ”percayalah apa yang saya buat.”

Tahap selanjutnya undagi mengukur jenazah yang terbagi menjadi tiga bagian — kepala, badan dan kaki. ”Jika sekarang mengukur jenazah bisa menggunakan meteran, tetapi beberapa undagi masih banyak menggunakan cara lama seperti satu cengkang atau guli. Jika seseorang menggunakan ukuran lama, itu sangat erat dengan keyakinan. Oleh karena itu, pengukuran dengan cara tersebut harus disertai banten ituk-ituk yakni canang tempelan, beras, jinah solas keteng (uang kepeng 11 buah), benang dan banten pejati. Ituk-ituk itu memiliki makna sebagai pemberitahuan bahwa seseorang undagi akan melaksanakan kerja.

Sanksi apa yang akan diperoleh jika seorang undagi melanggar Dharma Laksana? Turun mengatakan, secara sekala sanksi itu tidaklah mengkhawatirkan. Jika seorang undagi melanggar paling-paling masyarakat bertanya siapa pembuatnya. ”Tetapi secara niskala kita tidak tahu sanksi apa yang akan diterima, karena itu erat kaitannya dengan yang di atas –Tuhan Yang Esa yakni Dewa Siwa yang diwakili Bhagawan Wismakarma. Inilah yang kita takutkan,” katanya. Dikatakan, jumlah pengusung bade juga ada ketentuannya. Pengusung bade pada dasarnya empat orang (kelipatan empat) yang melambangkan catur sanak — empat saudara yang diajak seseorang saat lahir. Jadi, menurut Turun bukan pada banyak jumlah pengusung, tetapi harus kelipatan empat agar sesuai dengan lambang catur sanak.

Selain bade, tambah Turun, ada sarana penting lagi dalam prosesi ngaben yakni pepagan. Pepagan berasal dari kata baga yang berarti lamas. ”Bayi lahir kan dibungkus oleh lamas, mati pun mesti dibungkus oleh lamas yakni pepaga itu sendiri. Kita harus selalu kembali berprinsip yang sama. Lahir dan mati itu terkait erat,” katanya.
Nagabandha
Nagabandha merupakan salah satu cara untuk melakukan upacara pitra yadnya( ngaben ). Nagabandha berbentuk seperti seekor naga yang panjang ekornya bias mencapai 3000 meter atau 3 kilometer. Di Bali upacara ngaben dengan menggunakan nagabandha hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan saja atau orang berkasta tinggi.
Selain itu Nagabandha juga memiliki fungsi Untuk menghantarkan roh dari keluarga raja.Nagabandha juga memiliki tujuan saat dibuat yaitu Untuk mempermudah / memprcepat proses upacara pitra yadnya.

Petulangan

Fungsi petulangan dalam upacara ngaben disebutkan sangat erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci, keramat, memiliki kekuatan dan dijadikanlambang-lambang tertentu. SepertiWahana – Wahana paradewa Tri Murti dalam petulangan :

  1. Di Bali kepercayaan terhadap binatang lembu sebagai binatang yang disucikan. Lembu dipercaya sebagai wahananyaDewaSiwa.
  2. Dewa Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya binatang singa.
  3. Sedangkan Dewa Wisnu berfungsi sebagai pemelihara, wahananya naga. Binatang-binatang tersebut disucikan, dihormati, sebagaimana menghormati dewa-dewa dengan manifestasinya masing-masing.

Menurut Drs. Ida Bagus Purwita dari Griya Yang Batu Denpasar, (sekarang sulinggih) meninjau dari segi filosofinya bahwa perwujudan petulangan dengan motif binatang, mengandung arti sebagai petunjuk jalan kesorga bagi roh orang yang telah meninggal dunia. Juga menurut lontar awig-awig desa adat di Denpasar milik Mangku Jero Kuta, Jagat Wewengkon Badung pemakaian bentuk petulangan diatur menurut susunan kasta yang ada di Bali yaitu sebagai berikut:

  1. Bagi wangsa sudra memakai petulangan bentuk gedarba atau bentuk macan, atau bentuk gajah mina.
  2. Sang Aria memakai petulanggan berbentuk menjangan.
  3. Sang Kesatria memakai petulangan bentuk singa.
  4. Brahmana memakai petulangan bentuk lembu hitam dan Pendeta memakai petulangan bentuk lembu putih.

Dengan demikian fungsi petulangan adalah sebagai berikut :

  • Dalam pengertian umum petulangan berfungsi sebagai tempat membakar jenasah dan secara spiritual, berfungsi sebagai pengantar roh kealam roh (sorga atau neraka) sesuai dengan hasil perbuatan di dunia.
  • Menunjukkan watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.
  • Menunjukkan rasa bakti dan penghormatan terhadap paradewa, karena dengan meniru wahananya sebagai sarana upacara. Maka seolah- olah lebih dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi.
  • Sebagai pernyataan rasa seni yang menimbulkan kepuasan batin bagi yang diupacarai, orang yang menyelenggarakan upacara,

Tujuan dari pembuatan petulangan :

  • Mengembalikan unsur panca maha buta
  • Untuk mengembalikan roh atau atman yang ada dalam diri manusia

Bukur

Bukur biasanya digunakan saat nyekah atau memukur dalam upacara pitra yadnya. Fungsi dari bukur adalah Untuk mengembalikan roh atau atman yang ada dalam diri manusia Tujuan dibuatnya bukur dalam upacara pitra yadnya Sebagai alat untuk menghantarkan roh atau atman kealamnya.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga