Inilah tatakrama orang memelihara kandungan yang diawali ngidam, apabila mengutamakan tatakrama pada diri yang sedang hamil. Disini disebutkan proses upakara / upacara yadnya mengenai kehamilan seseorang wanita/ ibu. Pertama- tama wanita yang sedang hamil tersebut hendaknya memakan/meminum rujak. Adapun bahan-bahan rujak tersebut adalah: jenis pisang, jenis buah-buahan lainnya, seperti buah badung, kecubung, werak tawun(?), gula aren (gula kelapa, enau, atau gula lontar), madu, gula pasir. Itu semuanya dibikin menjadi rujak. Kemudian direndami dengan mirah (kalau mungkin mirah delima), taruh pada batil, atau toples/botol yang terbuat dari pada kaca, kemudian dipuja mantra oleh: Sang pendeta, demikian disebutkan oleh : Tutur Aji Iswara Paridhana.
Apabila sudah berumur tiga bulan kandungan seseorang, ada sejenis upacara yang harus ditempuh (dilakoni). Setelah tiba saat proses yang harus dijalani, pasangan lelaki wanita itu harus menjalani “Upacara Pesakapan” sarana utama di dalam proses pelaksanaan upacara tersebut adalah: sang lelaki menyiapkan benang hitam, serta didampingi oleh sang istri. Juga sang lelaki menyiapkan glanggang bambu (bambu yang diruncingi = alat pemukul padi sepingan = padi local Bali). Gelanggang itu dipergunakan untuk menusuk daun kumbang (semacam talas liar) yang dipakai membungkus ikan sungai. Sang wanita /ibu, menjunjung ceraken (tempat rempah / isin rong yang terbuat dari lontar atau papan), serta dipuja mantrai oleh Sang pendeta/Sulinggih), sang wanita menelan permata mirah itu sepasang (dua butir). Demikianlah proses pelaksanaannya.
Adapun makna dari sarana upakara itu adalah : beneng berarti beneng, atau lurus. Selem artinya sela atau terang (tidak terhalangi oleh sesuatu). Nuhuk yang berarti tedah, yang artinya terasakan atau dapat dirasakan. Numbak berarti ngembak, membuka jalan. Gelanggang buluh atau gelanggang bambu, bermakna : enggang atau terbuka /terkuak, enggang juga berarti caluh (Bhs Bali), yang artinya leluasa. Nyuhun artinya kasungsung, atau dijunjung. Ceraken artinya parekan, yang berarti selalu dekat, karena kita tidak boleh jauh dari keempat saudara (sang catur sanak) kita tersebut, yang selamanya melekat pada diri kita. karena senantiasa kita bersama-sama mereka. Permata mirah bermakna, suteja, yang artinya bersinar gemilang, juga agar paras serta wajah itu bercahaya gemilang. Agar sedemikianlah hendaknya paras dari anak itu kelak, apabila lahir ke dunia ini.Terbungkus dengan daun kumbang (talas liar), kumbang berarti embang (kebebasan atau keleluasaan), ulam (ikan sungai), ulam berarti be, be yang berarti beda yang berarti gangguan, maknanya agar tidak diganggu oleh sang catur sanak (saudara empat kita).
Setelah sang jabang bayi lahir ke dunia ini, disebut dengan : Sang Hyang Atmaja Kawas padan, demikian isi dari : Aji Rare Angwan (Rare Angon).
Inilah arti serta filsafat tentang ari-ari itu. Ariari itu diumpamakan sebagai mayat, makanya ariari itu harus dibersihkan atau dimandikan hingga bersih sekali, selanjutnya dibungkus dengan kain kasa yang berisi rempah-rempah, sebagai wadahnya adalah kelapa yang sudah dibuang serabutnya, kelapa itu sebagai padma, lalu dipendam.
Diatas pendaman itu, berisi kembang wadi, didekatnya itu berisi baleman atau tabunan (api dengan sekam hingga tidak menyala, namun asapnya selalu mengepul).
Selain itu, juga diisi pelita, sanggar cucuk yang diatapi dengan daun pandan. Makna dari semuanya itu adalah: pelita (sundar) itu, symbol dari angenan (pelita pada mayat manusia, ketika upacara pengabenan. Sanggar cucuk, melambangkan prajapati. Baleman atau tabunan (api dalam sekam), simbul dari alat pembakaran mayat. Ari-ari itu, sebagai mayat. Adapun lama dari waktu pembuatan baleman itu abulan pitung diva (empat puluh dua hari = akambuhan). Apabila tidak sedemikian tidak akan terbakar angus mayat itu. Demikian uraiannya, sesuai dengan isi dari Aji Rare Angon.
Inilah upacara seorang bayi/bocah yang baru tanggal pusarnya, pertama-tama dibuatkan pratiti (catatan hari lahir seorang bayi sesuai kepercayaan /ajaran Agama Hindu, terutama di Bali), dan juga harus dibuatkan pasikepan rare (azimat untuk bocah), upacara mekekambuh (penangkal dari tetanus bagi sang ibu, karena melahirkan) atau karena tali pusarnya yang dulunya terpotong agar tidak terkena tetanus, itu bermakna mulai bersemayamnya Sang Hyang Kumara pada bayi tersebut, juga dibuatkan pralingga di atas tempat tidur bayi itu, juga dibuatkan sanggar di tempat menanam sampah atau limbah akibat melahirkan itu. Di situlah tempat yang sato yoni. Begitulah isi filsafatnya. Juga dilakukan ruwatan bagi saudara yang empat itu (nyama catur = catur sanak), selain dari pada itu, upacara itu juga bermakna peleburan yang dianggap buruk pada hari kelahiran itu. Presesi itu disebut dengan manglepas awon (membuang abunya). Demikian keterangannya, sesuai dengan isi dari Rare Angon.
Setelah dua belas hari dari kelahiran seseorang bayi. ada upakara/upacaranya, yang bermakna sebagai memperkokoh kehadiran Sang Hyang Atma, pada jiwa dan raga sang bocah tersebut. sang catur sanak (saudara yang berjumlah empat) itu diruwat, seraya bayi itu berganti nama (sebutannya), menjadi: Anggapati, Mrajapati, Banaspati, Banas patiraja. Demikianlah filsafatnya, sesuai dengan isi Aji Tatwa Kanda Pat.
Setelah sang bocah berusia sebulan tujuh hari (empat puluh dua hari), ada upakara, upacaranya, dibuatkan kekambuh, demikian pula sesikepan bocah itu diganti, yang bermakna penjagaan bagi Sang Hyang Atma, itu akan membuat panjang umur, bebas dari penyakit serta kecemaran Iainnya. Saudara empat itu juga diberi ruwatan, ibu serta sang bocah juga diruwat, supaya betulbetul bersih (suci), selanjutnya diperciki tirtha (air suci). Itu bermakna membersihkan segala kekotoran serta kecemaran sang ibu, yang dahulu mengeluarkan kekotoran, demikian isi dari filsafat Aji Tatwa Dharma Usada.