Siklus Hidup Manusia Hindu, Berdasarkan Lontar Tutur Rare Angon


Setelah sang bocah berumur tiga bulan, ada jenis upakara/upacaranya. Itu bermakna, bahwa sang bocah, memohon anugrah dari Sang Hyang Siwaditya, untuk selanjutnya mengenakan busana atau perhiasan yang terbuat dari permata, emas
emasan yang mahal (logam mulia). Demikian juga saudara kita yang empat jenis itu juga mendapatkan ruwatan, bersama-sama dengan sang bocah itu, beserta upakara/upacara sebagai mana mestinya. Sang Catur Sanak lalu berganti nama/sebutan yakni: I Mlipa, I Mlipi, I Bapa Bajang, dan I Babu Bajang, demikianlah uraiannya, menurut keterangan/isi Aji Tatwa Jarayuhantra.

Setelah bocah itu tanggal gigi susunya (maketus Bhs.Bali), pribadi bocah itu sudah kemasukan : satwa (kejujuran), rajah (kegelapan), dan tamah (kelobaan). Sudah sepatutnya memulai belajar ilmu pengetahuan, juga bertusuk telinga, sesuai dengan ajaran Agama Siwa Budha, demikian uraiannya, sesuai dengan isi Tatwa Aji Iswara Paridana.

Setelah akil balig, sudah kemasukan jiwa pancaroba (brahmatya), ada sejenis upakara/ upacaranya, yang berarti atau bermakna pembersihan atau ruwatan terhadap kecemaran akibat mengalami brahmatya (panca roba) tersebut. Demikian menurut isi dari: Aji Tatwa Anggastya.

Setelah berusia 16 tahun, ada sejenis upakara berupa upacara yang disebut dengan: matatah, lazim disebut dengan: Upacara Potong Gigi, yang bermakna membuang kekotoran serta kecemaran pada gigi, kekotoran serta kecemaran pada kulit, kekotoran serta kecemaran pada rambut. Demikian pula Sang Catur Sanak (saudara kita berempat), diberi ruwatan, selanjutnya upakara/ upacaranya dengan memuja Sang Hyang Semara dan Sang Hyang Ratih, untuk membenahi usia muda (kayowanan). Demikian filsafatnya, sesuai dengan isi dari : Aji Tatwa Jarayutantra.

Inilah tatacara perihal kematian, pelaksanaannya disebut dengan atitiwa (atiwa-tiwa). Hal itulah yang diwarisi oleh Sang Caturwarna (di Bali), sampai waktu kini. Setelah jiwa manusia itu melayang, di mana stana Sang Hyang Atma? Tempatnya di hawa (di alam gaib?), mayat seseorang itu harus diupacarai. Apabila sudah waktunya, bilangan hari dari kematian itu, harus dilakukan ruwatan, membebaskan mayat itu dari kecemaran. Setelah mayat itu dibersihkan, lalu dilakukan upacara panahan oleh Sang Pendeta, dilakukan Upacara Upti dan Stiti pada Atma itu, agar kembali ke tempatnya dahulu, yang disertai upacara/upakara terhadap mayat, Sang Hyang Atma lalu dinobatkan oleh Sang Pendeta, lalu disuruhlah oleh Sang Pendeta memeriksa/menyelidiki pars keturunan (sentana).
Setelah Sang Hyang Atma diberi suguhan atau mendapatkan suguhan, lalu disuruh Sang Pendeta agar kembali ke tempat yang namanya : windurupaka. Demikianlah filsafat mayat bila mau menjaganya di perumahan.

Apabila mayat itu akan dikuburkan, di setra (kuburan Adat Umat Hindu), itu disebut dengan istilah mekingsan (dikubur sementara, menungguwaktu pengabenan), itu dihaturkan ke hadapan Sang Hyang Ibu Pretiwi, sedangkan Sang Hyang Atma dipegang /dijaga oleh Batari Nini Durgadewi, yang bersemayam di Hulu Setra Agung (kuburan). Demikianlah tatakrama mayat yang dikuburkan.
Bila sudah waktunya memproses Upacara/ Upakara mayat (pembakaran) yang dengan istilah ngaben, biasa disebut dengan: atetiwa atetiwan, ada upacaranya yang disebut : ngulapin, dan perlu adanya anugrah dari Sang Hyang Ibu Pretiwi, demikian pula dari Betari Durgadewi, dan juga dari : sedahan sema, untuk mohon pamit mengupacarai mayat. Adapun Sang Hyang Atma dibuatkan awak-awakan, sesuai tatakrama dibenarkan semuanya, upacarailah di tempatnya dahulu ketika masih hidup, sehari sebelum hari pembakaran mayat (atiwa-tiwa), atman itudisucikan oleh Sang Pendeta/Sulinggih, sesuai dengan widi widana. Artinya Sang Hyang Atma memohon anugrah ke hadapan Sang Adiguru (Tuhan), agar mendapatkan jalan yang baik melalui puja Sang Sulinggih/Pendeta, agar mendapatkan jalan untuk melepaskan diri dari kesengsaraan, itulah sebabnya, orang sejak menjelma (masih hidup) sampai dengan tiba ajalnya, dianggap murid dari Sang Pendeta/Sulinggih. Sisya berarti parekan, artinya orang yang selalu dekat, karena terlahir dari Sang Guru Utama pada kelahiran untuk kedua kalinya (dwija), demikian keterangannya, sesuai dengan isi Aji Tatwa Purwaka.

Adapun kerangka atau tulang belulang dari mayat itu yang terkubur di setra (kuburan Adat Hindu), harus diangkat dan dibuatkan dangau (bangsal), serta diberi pensucian berupa ruwatan, pembersihan, disertai punjung kasturi, suci. Pada hari pembakaran mayat itu, satukanlah awak, awakan pitra (pengawak = praraga = simbul dari raga sang meninggal yang akan diaben), dengan tulang belulang yang diangkat dari kuburan itu, lalu diruwat oleh Sang Pendeta. Adapun makna dari tirta pabersihan itu adalah: membersihkan atau mensucikan kematian seseorang. Tirta pengentas bermakna, mengentaskan atau membebaskan seseorang yang telah meninggal, agar terbebas sang meninggal tersebut dari keterikatan dunia maya ini. Demikianlah filsafatnya, sesuai dengan isi atau uraian Aji Tatwa Purwaka.

Adapun mayat (seseorang yang telah meninggal), yang meskipun telah diupacarai, ada juga yang mendapatkan atau tiba di Neraka (kawah), keberadaannya pada ilalang kering, pohon maduri yang meranggas, kepanasan oleh teriknya matahari, maka pitara (arwah sang mati) itu menangis tersedu-sedu, menyebut-nyebut anak cucunya, yang masih hidup, demikianlah suara isak tangis sang pitara tersebut, yang menderita hina papa:




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga