Tata Cara Nyukat & Nyakap Karang serta Membangun Rumah Bali


Keharmonisan dalam membina hubungan baik dengan lingkungan didasari ajaran Tat Twam Asi yang perwujudannya berbentuk Tri Hita Karana. Pembangunan rumah sebaiknya memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan sejarah tanah tersebut,  atau menyesuaikan dengan faktor keseimbangan atau keharmonisan sekala dan niskala. Karena dengan mengetahui asal tanah yang akan dibangun rumah tersebut dapat menyebabkan kenyamanan rumah saat ditempati. Pemilihan tanah atau lokasi tempat tinggal perlu sekiranya ditata dengan apik agar aura tempat tinggal tersebut memancarkan kesejukan dan kenyamanan bagi pemilik rumah dan lingkungannya.

Banyak pemilik rumah ataupun pengembang perumahan yang mengesampingkan pola tata ruang dan bangunan yang telah diwariskan oleh leluhur untuk menciptakan hunian nyaman yang humanis sesuai dengan ajaran asta kosala kosali dan bangun bumi. Tidak diragukan kembali dengan banyaknya hunian dengan mengedepankan konsep  model rumah minimalis saat ini, maka sedikit demi sedikit namun pasti corak hunian menggunakan arsitektur bali dengan perhitungan pembagian tempat bagunan akan hilang.

 

Landasan filosofis

Pembangunan rumah di Bali adalah berlandaskan filosofis bhuwana alit dan bhuwana agung. Bhuwana Alit yang berasal dari Panca Maha Bhuta adalah badan manusia itu sendiri dihidupkan oleh jiwatman. Segala sesuatu dalam Bhuwana Alit ada kesamaan dengan Bhuwana Agung yang dijiwai oleh Hyang Widhi. Kemanunggalan antara Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit merupakan landasan filosofis pembangunan perumahan umat Hindu yang sekaligus juga menjadi tujuan hidup manusia di dunia ini.

Unsur pembentuk membangun perumahan adalah dilandasi oleh Tri Hita Karana dan pengider- ideran (Dewata Nawasanga). Tri Hita Karana yaitu unsur Tuhan/ jiwa adalah Parhyangan/ Pemerajan. Unsur Pawongan adalah manusianya dan Palemahan adalah unsur alam/ tanah. Sedangkan Dewata Nawasanga (Pangider-ideran) adalah sembilan kekuatan Tuhan yaitu para Dewa yang menjaga semua penjuru mata angin demi keseimbangan alam semesta ini.

Untuk itulah pentingnya memahami serta mengikuti uger-uger, menggunakan sikut (ketentuan-ketentuan) seperti berikut :

Berdasarkan ujung dari pekarangan :

  • Timur laut adalah tempat untuk Sanggah Kamulan atau Merajan yang disebut dengan Sari Raksa.
  • Tenggara adalah untuk kandang hewan peliharaan disebut dengan Aji Raksa
  • Barat daya adalah arah untuk dapur atau tempat padi disebut dengan Rudra Raksa.
  • Barat Laut adalah tempat untuk palinggih Panunggun Karang disebut Kala Raksa.

Berdasarkan Tri Mandala

  • Utama Mandala, tempat merajan yang merupakan kiblat matahari dan gunung.
  • Madia Mandala, untuk tempat tidur.
  • Nista Mandala, untuk teba (pekarangan belakang rumah ), kebun.

Berdasarkan Tri Angga 

  • Utama Angga adalah atap bangunan.
  • Madia Angga adalah saka (tiang bangunan).
  • Nista Angga adalah bebaturan (dasar bangunan).

Berdasarkan Tri Hita Karana

  • Prahyangan adalah stana Ida Sang Hyang Widhi
  • Pawongan adalah rumah sebagai tempat tinggal manusia.
  • Palemahan adalah pekarangan.

Berdasarkan Tri Loka

  • Bhur Loka adalah dasar bangunan.
  • Bhuwah Loka adalah badan bangunan.
  • Swah Loka adalah atap bangunan.

Berdasarkan Rwa Bhineda

  • Luan Tebén, di luan adalah kepala yang dikiblatkan ke gunung, sedangkan tebén kiblatnya ke laut.
  • Siang dan malam, siang hari adalah waktu untuk bekerja, dan malam hari adalah waktu untuk istirahat.

Berdasarkan keinginan untuk kesejahteraan

  • Merajan adalah tempat untuk memohon keselamatan.
  • Rumah adalah tempat berteduh dan berlindung secara jasmani.

Berdasarkan keasrian dan kelestarian

  • Menurut tata letak Kosala dan Kosali
  • Menurut Tri Angga dan Asta Bhumi

 

Landasan Etis dan Ritual

Tata nilai dari bangunan adalah berlandaskan etis dengan menempatkan bangunan pemujaan ada di arah hulu dan bangunan-bangunan lainnya ditempatkan ke arah teben (hilir). Untuk lebih pastinya pengaturan tata nilai diberikanlah petunjuk yaitu Tri Angga adalah Utama Angga, Madya Angga dan Kanista Angga serta Tri Mandala yaitu Utama, Madya dan Kanista Mandala.

Setelah Letak Bagunan ditata diusahkan bangunan yang terletak di timur, lantainya lebih tinggi sebab munurut masyarakat bali selatan umumnya, bagian timur dianggap sebagai hulu (kepala) yang disucikan.

Sedangkan menurut fungsui, posisi bangunan seperti itu memberi efek positif, sinar matahari tidak terlalu kencang dan air tidak sampai ke bagian hulu.

Bagunan yang cocok untuk ditempatkan diareal itu adalah tempat suci keluarga yg disebut merajan atau sanggah. Dapur diletakan di arah barat (barat daya) dihitung dari tempat yang di anggap sebagai hulu (tempat suci) atau di sebelah kiri pintu masuk areal rumah, karena menurut konsep lontar Asta Bumi, tempat ini sebagai letak Dewa Api.

Sumur dan lumbung tempat penyimpanan padi sedapat mungkin diletakan di sebelah timur atau utara dapur atau di sebelah kanan pintu gerbang masuk rumah karena melihat posisi Dewa Air.

Bagunan balai Bandung (tempat tidur) diletakan diarah utara, sedangkan balai adat atau balai gede ditempatkan disebelah timur dapur dan diselatan balai Bandung.

Bangunan penunjang lainnya diletakkan di sebelah selatan balai adat. Selain menemukan posisinya yang tepat untuk menangkap dewa air sebagai sumber rejeki ukuran pintu masuk juga harus diatur.

Jika membuat pintu masuk lebih dari satu, lebar pintu masuk utama dan lainya tidak boleh sama termasuk tinggi lantainya juga tidak boleh sama. Lantai pintu masuk utama (dibali berbentuk gapura/angkul – angkul)  harus dibuat lebih tinggi dari pintu masuk mobil menuju garase.

Jika dibuat sama akan memberi efek kurang menguntungkan bagi penghuninya bisa boros atau sakit-sakitan. Akan sangat bagus bila di sebelah kiri (sebelah timur jika rumah mengadap selatan) diatur jambangan air (pot air) yang disi ikan.

Ini sebagai pengundang Dewa Bumi untuk memberi kesuburan seisi rumah.Tak menempatkan benda – benda runcing dan tajam yang mengarah ke pintu masuk rumah seperti penempatan meriam kuno, tiang bendera, listrik dan tiang telepon atau tataman yang berbatang tinggi seperti pohon palm, karena membuat penghuninya sakit sakitan akibat tertusuk.

Got dan tempat pembungan kotoran sedapat mungkin di buat di posisi hilir dan lebih rendah dari pintu masuk.Kalau menempatkan kolam di pekarangan rumah hendaknya dibuat di atas permukaan tanah (bukan lobang).

Kolam di buat di sebelah kanan pintu masuk dengan posisi memelu rumah, bukan berlawanan. Karena keberadaan kolam yang tidak sesuai akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah.

 

Dalam mendirikan perumahan hendaknya selalu dilandaskan dengan upacara dan upakara agama yang mengandung makna mohon ijin, memastikan status tanah serta menyucikan, menjiwai, memohon perlindungan Ida Sang Hyang Widhi sehingga terjadilah keseimbangan antara kehidupan lahir dan batin.

Ada ungkapan bahwa melakukan sesuatu pekerjaan itu tidak sulit akan tetapi yang sulit adalah memulai pekerjaan itu. Mungkin anda sependapat dengan ungkapan tersebut. Tapi jangan khawatir sebab ada kiat yang bisa ditempuh agar memulainya jadi lebih mudah.

Misalnya saja menggunakan padewasan/dewasa (hari baik). Tentu saja terlepas dari itu, yang utama adalah kemauan dari kita sendiri untuk berusaha lebih giat, ulet dan bekerja keras. Apapun pekerjaan itu akan terasa mudah.

 

Lokasi Pekarangan

Membuat rumah yang dapt mendatangkan keberuntungan bagi penghuninya, harus diawali dengan pemilihan lokasi (tanah) yang pas. Lokasi yang bagus dijadikan bagunan adalah tanah yang posisinya lebih rendah (miring) ke timur (sebelum direklamasi).

Namun di luar lahan bukan milik kita, posisinya lebih tinggi. Demikian juga tanah bagian utaranya juga harus lebih tinggi. Bila tanah di pinggir jalan, usahakan posisinya tanah dipeluk jalan. Sangat baik bila ada air di arah selatan tetapi bukan dari sungai yang mengalir deras.

Air harus berjalan pelan, tetapi posisi sungai juga harus memeluk tanah, bukan sebaliknya menebas lokasi tanah. Diyakini aliran air yang lambat membuat dewa air sebagai pembawa kesuburan dan rejeki banyak terserap dalam deras.

Selain letak tanah, tekstur tanah juga harus dipastikan memiliki kualitas baik. Tanah berwarna kemerahan dan tidak berbau termasuk jenis tanah yang bagus untuk tempat tinggal.

Untuk menguji tekstur tanah, cobalah genggam tanah tersebut. Jika setelah lepas dari genggaman tanah itu terurai lagi, berarti kualitas tanah tersebut cocok dipilih untuk lokasi perumahan. Cara lain untuk menguji tekstur tanah yang baik adalah dengan cara melubangi tanah tersebut sedalam 40 Cm persegi. Kemudian lubang itu diurug (ditimbun) lagi dengan tanah galian tadi. Jika lubang penuh atau kalau bisa ada sisa oleh tanah urugan itu, berati tanah itu bagus untuk rumah.

Sebaliknya jika tanah untuk menutup lubang tidak bisa memenuhi (jumlahnya kurang) berati tanah tersebut tidak bagus dan tidak cocok untuk rumah karena tergolong tanah anggker. Akan lebih baik memilih tanah yang terletak di utara jalan karena lebih mudah untuk melakukan penataan bangunan menurut konsep Asta kosala-kosali.

Misalnya membuat pintu masuk rumah, letak bangunan dan tempat suci keluarga (merajan/sanggah). Lokasi seperti ini memungkinkan untuk menangkap sinar baik untuk kesehatan. Tata letak pintu masuk yang sesuai akan memudahkan menangkap Dewa Air mendatangkan rejeki.

Jangan membangun rumah di bekas tempat-tempat umum seperti bekas balai banjar (balai masyarakat), bekas pura (tempat suci), tanah bekas tempat upacara ngaben massal (pengorong/peyadnyan) bekas gria (tempat tinggal pedande/pendeta) dan tanah bekas kuburan.Usahakan pula untuk tidak memilih lokasi (tanah) bersudut tiga atau lebih dari bersudut empat. Tanah di puncak ketinggian, di bawah tebing atau jalan juga kurang bagus untuk rumah karena membuat rejeki seret dan penghuninya akan sakit – sakitan.

Demikian juga tanah yang terletak di pertigaan atau di perempatan jalan (simpang jalan) tidak bagus untuk tempat tinggal tetapi cocok untuk tempat usaha.Tanah jenis ini termasuk tanah angker karena merupakan tempat hunian Sang Hyang Durga Maya dan Sang Hyang Indra Balaka. Tanah yang patut dihindari sebagai tanah lokasi membangun perumahan adalah :

  1. karang karubuhan (tumbak rurung/ jalan),
  2. karang sandang lawe (pintu keluar berpapasan dengan persimpangan jalan),
  3. karang sulanyapi (karang yang dilingkari oleh lorong (jalan)
  4. karang buta kabanda (karang yang diapit lorong/ jalan),
  5. karang teledu nginyah (karang tumbak tukad),
  6. karang gerah (karang di hulu Kahyangan),
  7. karang tenget,
  8. karang buta salah wetu,
  9. karang boros wong (dua pintu masuk berdampingan sama tinggi),
  10. karang suduk angga, karang manyeleking dan yang paling buruk adalah
  11. tanah yang berwarna hitam- legam, berbau “bengualid” (busuk)

Tanah- tanah yang tidak baik (ala) tersebut di atas, dapat difungsikan sebagai lokasi membangun perumahan jikalau disertai dengan upacara/ upakara agama yang ditentukan, serta dibuatkan palinggih yang dilengkapi dengan upacara/ upakara pamarisuda.

 

Jenis Pekarangan

Jenis pekarangan dapat dibedakan dari beberapa faktor yang disebabkan oleh keadaan dan kondisi pekarangan tersebut. Adapun jenis pekarangan tersebut antara lain Perumahan Dengan Pekarangan Sempit, bertingkat dan Rumah Susun.

Pekarangan Sempit.

Dengan sempitnya pekarangan, penataan pekarangan sesuai dengan ketentuan Asta Bumi sulit dilakukan. Untuk itu jiwa konsepsi Tri Mandala sejauh mungkin hendaknya tercermin (tempat pemujaan, bangunan perumahan, tempat pembuangan (alam bhuta). Karena keterbatasan pekarangan tempat pemujaan diatur sesuai konsep tersebut di atas dengan membuat tempat pemujaan minimal Kemulan/ Rong Tiga atau Padma, Penunggun Karang dan Natar.

Rumah Bertingkat.

Untuk rumah bertingkat bila tidak memungkinkan membangun tempat pemujaan di hulu halaman bawah boleh membuat tempat pemujaan di bagian hulu lantai teratas.

Rumah Susun.

Untuk rumah Susun tinggi langit- langit setidak- tidaknya setinggi orang ditambah 12 jari. Tempat pemujaan berbentuk pelangkiran ditempatkan di bagian hulu ruangan.

Rumah Adat Bali

Walaupun tidak semua masyarakat Hindu Bali memiliki rumah adat Bali, seperti rumah warga urban di daerah perkotaan dengan lahan terbatas, pekarangan sempit ataupun rumah bertingkat. Namun ciri khas rumah bangunan mereka terlihat adanya bangunan sanggah (pura dalam pekarangan) pada bagian hulu (Utara, Timur atau lantai atas) atau setidaknya ada bangunan tugu Pengijeng Karang, yang mencirikan bahwa mereka adalah penduduk umat Hindu Bali. Walaupun terlihat jelas perbedaan tersebut antara masyarakat asli Bali dengan pendatang dari luar Bali (non Hindu), namun kehidupan mereka tetap harmonis, sikap toleransi terjaga dengan baik, tidak ada arogansi kepada penduduk pendatang. Denah, Dekorasi, Arsitektur dan Desain

Rumah tradisional adat Bali, dibangun dengan memperhatikan arsitektur, denah atau tata letak, desain dan ornamen yang menghiasi bangunan tersebut, berdasarkan petunjuk dan pedoman dalam Asta Kosala Kosali atau fengshui-nya Bali, merujuk akan hal tersebut apalagi bangunan suci atau pura maka beberapa hal yang akan dipertimbangkan dalam tata cara pembangunan rumah tradisional adat Bali seperti tata letak, jarak setiap bangunan atau tata bangunan, pengaturan tempat tinggal dengan tempat suci (sanggah/pura), mencari hari baik, serta pelaksanaan yadnya yang berlandaskan filosofis, etis dan ritual.

Jika semua asfek tersebut dipenuhi, maka selain rumah adat Bali tersebut akan tampil indah, nyaman juga diharapkan terwujud harmoni atau hubungan yang baik antara penghuni dengan dengan sesama, dengan alam dan dengan Tuhan. Tentunya rumah adat Bali ini tetap memperhatikan cuaca setempat, biasanya pada dataran tinggi seperti Kintamani , tembok rumah sengaja dibuat lebih pendek, agar meminimalis sirkulasi udara dingin. Bentuk rumah adat Bali inipun tergantung juga kemampuan ekonomi pemiliknya, seperti bahan yang digunakan juga termasuk ornamen ukiran yang terpatri pada dinding-dinding bangunan.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Buku Terkait
Baca Juga