Panca Balikranma dilaksanakan di Pura Besakih, di kaki Gunung Agung yang terletak di desa Besakih Rendang Kabupaten Karangasem, hal ini tentu didasarkan atas konsep bahwa Hindu percaya bahwa gunung merupakan tempat yang disucikan, dikeramatkan dan memiliki makna ajaran Wana Kertih.
Keberadaan Pura Besakih dan Gunung Agung tidak dapat terlepas dari konsep Panca Giri seperti juga apa yang disampaikan Agastia, dan mitos tentang keberadaan Pura Besakih.
Pura Agung Besakih, pura terbesar di pulau Bali, didirikan di kaki Gunung Agung, juga gunung terbesar dan tertinggi di Bali. Pura yang sangat disucikan ini menjadi pusat kegiatan upacara agama Hindu sampai sekarang. Pada zaman kerajaan Waturenggong, untuk pertama kalinya di pura ini diselenggarakan upacara Agung Ekadasa Rudra, atas petunjuk sang Yajamana, Dang Hyang Nirartha. Ekadasa Rudra adalah upacara besar, diadakan seratus tahun sakali, upacara yang diselenggarakan di “pusat dunia” (madhyanikang bhuwana).(Bajing, dkk, 1990:11)
Dengan demikian dapat diketahui bahwa gunung Agung menempati posisi pusat atau Madhya. Hal ini mengingatkan pada apa yang terurai dalam lontar Tantu Pagelaran, yang menguraikan kehadiran gunung-gunung di Jawa, teristimewa gunung Sumeru dianggap sebagai penggalan puncak gunung Mahameru di Bharatawarsa. Di suatu tempat terpilih puncak gunung itu diletakkan lalu diputar oleh para Dewa, Raksasa, Detya, Pisaca, sebagaimana pernah dilakukan terhadap gunung Mahameru sebelumnya. pemutaran gunung ini juga dimaksudkan untuk mendapatkan amerta.
Gunung Semeru di Jawa, dikelilingi oleh sejumlah gunung lainnya, yang dinyatakan sebagai penyangganya. Tentang kehadiran gunung Bromo (gunung Brahma) misalnya disebutkan :
kunang pwa tan apageh sang hyang Mahameru, sumanda ring gunung Brahma sira wekasan, apan wyakti rubuh sang hyang Mahameru, ytan sumandaha ring gunung Brahma.
Gunung Mahameru masih belum kokoh, oleh karena itu gunung Brahma (Bromo) dihadirkan untuk menyangganya, sungguh akan roboh gunung Mahameru (Sumeru) kalau tidak ditopang oleh gunung Brahma).(Bajing,1990)
Uraian ini pertama-tama menyiratkan bahwa gunung (giri, meru, parwata) memberikan kerahayuan (amerta) kepada manusia yang hidup di kaki dan datarannya. Merupakan hal sangat penting adalah bahwa gunung merupakan pusat orientasi kesucian bagi umat Hindu. Kemudian gunung-gunung tersebut adalah sebuah kesatuan, sehingga muncul konsep panca-giri, dll.
Dalam kitab-kitab yang mengajarkan ajaran yoga, pertama-tama tentu diuraikan tentang gunung Mahameru tempat sthana Hyang Siwa, yang digambarkan sebagai pusat padma dunia raya. Selanjutnya diuraikan bahwa bagi seorang sadhaka, gunung itu terletak di sahasrara padma, di kepala manusia. Hyang Siwa menurunkan ajaran-ajaranNya di sana, kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra dan kitab Tantra, yang disusun dalam bentuk tanya jawab antara Hyang Siwa dengan SaktiNya, yaitu Dewi yang mewujudkan dirinya sebagai Dewi Parwati.
Begitu pentingnya posisi gunung bagi umat Hindu, baik gunung dalam alam sakala maupun niskala. Gunung tiada lain adalah lingga-acala, lingga yang tidak bergerak. Karena gunung yang tertinggi (Mahameru, gunung Agung) dinyatakan berada di pusat padma dunia, maka gunung-gunung yang lain menempati posisi dik-widik. Dengan demikian jelaslah bahwa dunia atau wilayah yang lebih kecil, digambarkan sebagai bunga padma, disebut padma-bhuwana atau padma-mandala.
Bali memiliki beberapa gunung baik yang besar dan kecil yang letak nya tersebar mengitari daerah Bali . Gunung Agung menempati posisi tengah padma mandala, gunung Lempuyang di timur, gunung Andakasa di Selatan, gunung Batukaru di Barat, dan Batur di Utara. Di tempat ini didirikan pura atau tempat suci yang utama, menempati posisi dik, sementara yang menempati posisi widik adalah pura Gua Lawah di Tenggara, pura Luhur Uluwatu di Barat daya, Pura Pucak Mangu di Barat Laut. Sementara itu Pura Agung Besakih juga menempati posisi Timur Laut (Airsanya).
Dengan demikian pura-pura yang biasa disebut Sad-Khayangan tersebut merupakan sebuah kesatuan, bagaikan sebuah bunga padma dengan delapan helai bunga (dala), yang menunjuk delapan penjuru, serta dengan sarinya yang berada di tengah. Bunga Padma yang suci ini adalah linggih Hyang Widhi. Pada sarinya di tengah didirikan padma agung (padmatiga) yang merupakan linggih beliau sebagai Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa.
Pura Agung Besakih memiliki dala pada posisi dik, masing-masing Pura Gelap (Timur, Sadyojata, atau Iswara), Pura Kiduling Kreteg (Selatan, Bamadewa atau Brahma), Pura Ulun Kulkul (Barat, Tatpurusa atau Mahadewa) Pura Batu Madeg (Utara, Aghora, atau Wisnu), Pura-pura tersebut biasa disebut Pura Catur Lokaphala atau Catur-Dala.
Bila pura Besakih dilihat secara keseluruhan, maka Padmatiga Pura Penataran Agung Besakih, pertama-tama ditopang oleh pura-pura catur-dala tersebut, selanjutnya ditopang lagi oleh pura-pura Sad-Kahyangan (Sat-kahyangan = pura-pura utama) yang terletak di delapan penjuru pulau Bali atau asta-dala. Sementara itu pura-pura jagat yang didirikan di seluruh Nusantara dapat berfungsi sebagai sahasrara-dala, seribu kelopak bunga padma.
Selanjutnya bila diperhatikan pelaksanaan upacara besar di Pura Agung Besakih, khususnya upacara Bhatara Turun Kabeh dapat diketahui diterapkanya konsepsi padma-kuncup pada upacara tersebut. Pada Upacara Bhatara Turun Kabeh serangkaian upacara Tabuh Gentuh (setiap tahun) Dewata yang disthanakan pada masing-masing pura Catur-dala disatukan di tengah (Pura Penataran Agung). Sesuai petunjuk para sulinggih lewat paruman para sulinggih Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat dan Provinsi Bali maka pada setiap Upacara Bhatara Turun Kabeh serangkaian karya agung Panca Bali Krama (sepuluh tahun sekali) Dewata yang disthanakan di pura Catur-dala yang lebih jauh (Pura Lempuyang Luhur, Pura Andakasa, Pura Batukaru, Pura Batur) disatukan juga di pura Penataran Agung Besakih. Sementara itu pada upacara Bhatara Turun Kabeh serangkaian Karya Agung Ekadasa Rudra (seratus tahun sekali), Dewata yang disthanakan di pura-pura Asta-dala (delapan penjuru) juga disatukan di pura Penataran Agung Besakih, dan akhirnya pada upacara Bhatara Turun Kabeh serangkaian karya agung Baligya Marebhu Bhumi (seribu tahun sekali), Dewata yang disthanakan di pura-pura Sahasrara-dala secara simbolis juga disatukan di Pura Penataran Agung Besakih.
Berdasarkan atas alasan – alasan tersebut menjadi jelas bagi umat, mengapa Dewata yang disthanakan di pura Lempuyang Luhur, pura Andakasa, pura Batukaru, dan pura Batur pada Karya Agung Panca Balikrama ini disthanakan di Pura Penataran Agung Besakih, di pura agung yang didirikan di kaki gunung Agung. Begitu pentingnya posisi pura agung Besakih (dari kata “basuki” berarti rahayu), pura yang senantiasa dijaga keagungannya, keindahan dan kesuciannya, sebagai perwujudan dari ajaran Satyam Siwam Sundaram.
Tanggal 22 Maret 79 ditetapkan oleh raja Kaniskha sebagai tahun baru Saka, atau tanggal 1 bulan 1 tahun 1 saka. Sehari sebelumnya yaitu tanggal 21 Maret 79 terjadi peristiwa alam yang sangat penting gerhana matahari total. Sebagaimana diketahui pada saat terjadinya gerhana (baik gerhana matahari atau surya graha, maupun gerhana bulan, candra graha) matahari, bulan dan bumi berada dalam satu garis lurus.
Oleh karena itu gerhana matahari jatuh pada tilem (bulan mati) dan gerhana bulan jatuh pada hari purnama. Karena pada saat itu terjadi gerhana matahari, maka dapatlah dipastikan bahwa pada hari itu adalah tilem, jadi perhitungan penetapan tahun Saka tidak hanya melihat posisi matahari (surya pramana) tetapi juga posisi bulan (candra pramana), oleh karena itu disebut surya-candra pramana.
Perhitungan penetapan tahun Saka yang pada awalnya memperhatikan posisi matahari, bulan dan bintang-bintang di langit tetap diteruskan di Bali. Oleh karena itu tanggal 1 bulan 1 Saka senantiasa jatuh pada tanggal 1 (penanggal ping pisan) bulan Waisaka, sehari setelah tilem Caitra. Akibatnya tanggal 1 bulan 1 Saka tidak senantiasa tepat jatuh pada tanggal 22 Maret (karena masih memperhitungkan posisi bulan lurus dengan bumi dan matahari).
Dalam sistem kalender Saka Bali (sistem kalender Saka yang berlaku di Bali khususnya dan Indonesia umumnya) dapat diketahui telah terjadi penggabungan tiga sistem kalender, yaitu system tahun Surya, tahun Candra dan tahun Wuku. Sistem tahun Surya berpedoman pada jangka waktu peredaran bumi mengitari matahari, yang disebut satu tahun, dan disebut satu tahun Surya. Umurnya adalah 365,22 hari, tepatnya 365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik. Sistem tahun Candra berpedoman dengan jangka waktu peredaran bulan mengelilingi bumi yang disebut satu bulan. Umur satu bulannya adalah 29,5 hari, tepatnya 29 hari, 12 jam, 44 menit, dan 3 detik. Sehingga umur satu tahunnya adalah 12 kali bulannya, yaitu 354 hari, 8 jam, 48 menit, 36 detik, disebut satu tahun Candra. Yang ketiga adalah tahun wuku, dalam satu lingkaran berjumlah 210 hari. Rumusan penentuan Purnama-Tilem, dikenal dengan istilah Pangalantaka atau “Pangalihan Purnama-Tilem” ditentukan berdasarkan tahun wuku, penentukan wuku-wuku pengunalatrian ditata dalam rumusan tahun wuku.
Atas dasar itulah dalam rangka pembahasan tentang Karya Agung Panca Balikrama, dilihat pula sistem pengalantaka yang tepat berlaku, setelah upacara tersebut. Sebenarnya pangalantaka seharusnya dilakukan menjelang karya agung Ekadasa Rudra, untuk menentukan ketepatan purnama-tilem seratus tahun kemudian. Pembahasan tentang Pangalantaka di pura agung Besakih pada tanggal 25 Juli 1998 (dalam Agastia), para sulinggih telah metetapkan Pangalantaka Eka Sungsang Ke Paing (Seloka) untuk dipakai sejak pasalin rah Saka 1921 (Setelah Panca Bali Krama) sampai pelaksanaan Karya Agung Baligya Marebhu Bumi pada tilem Caitra tahun Saka 2000 (tahun 2079 Masehi).
Dengan demikian maka perhitungan penetapan tahun baru Saka sangat memperhatikan posisi bumi, bulan dan matahari, melihat matahari dan bulan dari bumi (surya-candra pramana). Makna yang dikandung dari penentuan sistem itu adalah bahwa umat Hindu sangat memperhatikan benda-benda “bersinar” di langit, dengan senantiasa mengembangkan wawasan kesemestaan, kesejagatan (Brahmanda). matahari, bulan dan bintang memberi pengaruh terhadap kehidupan di bumi. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan merasakan pengaruh tersebut.
Pengaruh benda-benda tersebut pada kehidupan manusia di bumi ini, khususnya pada perubahan musim, dan yang lain. Namun secara sepiritual hal itu menunjukkan bahwa agama Hindu mempunyai orientasi pada “sinar” (divine), oleh karena itu muncullah kata Dewa (dari div berarti bersinar). Umat Hindu menyadari hakikat dirinya adalah “cahaya suci Tuhan Yang Maha Kuasa”, selanjutnya ingin membangun dirinya menjadi divine man, lebih lanjut membangun divine society, manusia dan masyarakat yang memancarkan sinar suci Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara etis manusia Hindu ingin melenyapkan sifat-sifat kegelapan atau keraksasaan dalam dirinya (asuri sampad) dan memupuk terus sifat-sifat kedewasaan (daivi sampad). Inilah landasan yang sangat esensial bagi pembangunan manusia dan peradaban Hindu.