Panca Bali Krama di Pura Agung Besakih


Matahari sebagai wujud Surya adalah benda bersinar di langit yang tidak bergerak (diam). Sesuatu yang tidak berubah atau diam seperti itu menjadi pusat orientasi umat Hindu, bukan pada sesuatu yang berubah. Tuhan Yang Maha Kuasa adalah abadi, oleh karena itu beliau disebut Sangkan-Paraning dumadi (dari mana dan hendak kemana manusia pergi), atau menjadi pusat orientasi kehidupan manusia. Karena itu Surya dijadikan symbol sesuatu yang abadi, Maha Cahaya, lalu dijadikan sthana Tuhan Yang Maha Kuasa, Hyang Siwa-Aditya seperti dikatakan Agastia (2009).

Dalam rangkaian menyambut tahun baru dengan melaksankan “brata penyepian” sebagai langkah awal memasuki kehidupan yang baru, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya yang terpenting : tapa, brata, yoga dan Samadhi, yang pada intinya berisi pengendalian diri dan pemusatan pikiran kepada Sang Pencipta.

Pada hari Nyepi umat Hindu berharap dapat memasuki alam sunya, alam yang sempurna, heneng (tenang) dan hening (jernih). Dalam kitab Dharma Sunya, Dang Hyang Kamalanatha menyuratkan :

Ambek sang wiku siddha tan pakahingan tumutuga ri kamurtining taya/tan linggar humeneng licin mamepekin bhuwana sahananing jagatraya/moranglor kidul kiduling kidul telas hane sira juga pamekas nirarsraya/kewat kewala sunya nirbana lengong luput inangen- angen winarnaya

Artinya : bathin seorang maha pandita adalah tidak terbatas lagi, beliau telah dapat menjangkau alam yang tertinggi/bathinnya tidak terencar lagi, tenang, halus, dan menyusupi seru sekalian alam/sebutan utara-selatan, telah tidak ada padanya, hal itu disebut hakikat nirasraya/langgeng, berbadan sunya yang sempurna, dan sangat sukar untuk dipikirkan dan digambarkan.

Dang Hyang Kamalanatha dalam dua karyanya Dharma Sunya dan Dharma Putus menekankan bahwa Surya adalah kesadaran ketika telah bersatu dengan Paramasiwa. Sunya adalah kesadaran Paramasiwa. oleh karena Paramasiwa dipuja sebagai Sang Hyang Sakala Atma, jiwa dari segala yang hidup. Paramasiwa juga digambarkan sebagai “Sang Saksat pinakesti ning manah aho”, beliau yang tak ubahnya sebagai isi pikiran suci, dan “Sang mawak ring tuturku”, beliau yang mewujud dalam kesadaranku. Kepada beliau sang kawi- wiku mencurahkan segenap penguasaan kata dan kekuatan imajinasinya dalam suatu proses yoga.

Demikianlah alam sunya adalah tujuan tertinggi yang diyakini dapat dicapai dengan latihan yang dilakukan terus menerus. Itulah sebabnya agama Hindu memberi kedudukan terpenting pada ajaran tapa, brata, yoga, dan samadhi, antara lain dilakukan secara bersama-sama pada hari Nyepi. Karya Agung Panca Balikrama yang diadakan setiap sepuluh tahun, ketika tahun Saka berakhir dengan 0 (rah windhu), adalah yadnya yang dilaksanakan ketika jagatraya (Brahmanda) dalam posisi tertentu.

Dengan demikian umat Hindu tidak saja senantiasa mengembangkan wawasan kesejagatan wawasan kesemestaan, tetapi juga membangun kesadaran tentang kehadiran manusia di alam raya ini, dan kehadiran manusia dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kitab suci Weda, memperhatikan lingkungan terkecil sampai alam raya, memperhatikan gerak dan posisi surya dan candra, serta bumi ini. Pada posisi tertentu, ketika surya dan candra dalam posisi wiswayana tegak di atas khatulistiwa, pada tilem Caitra, umat Hindu secara khusus mengadakan Bhuta- yajna dan Dewa-yajna, di suatu tempat terpilih (madhyaning bhuwana).

Setelah melaksanakan mahayajna tersebut, dalam posisi alam semesta seperti itu, barulah umat Hindu memasuki tahun baru, lembaran kehidupan baru, tahun baru Saka. Dengan terlebih dahulu melaksanakan “Penyepian”, melaksanakan tapa, brata, yoga, Samadhi, memasuki alam “Sunya”, alam yang suci dan sempurna.

Agama Hindu senantiasa mengajak kita berpandangan ke depan, berpandangan luas, dan senantiasa mampu memperbaharui diri. Agama Hindu juga mengajak kita berorientasi pada “Kesucian dan Kebenaran” (OM TAT SAT), senantiasa mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena hanya dalam kemanunggalan denganNya dirasakan kebahagiaan (Adwaita Anandam, Sat Cit Anandam). (Agastia,2009).

Berdasarkan atas rujukan beberapa ajaran agama termasuk dengan pendekatan tantrik klasik di India tentang asal-usul sebuah korban suci tersebut, dapat dikatakan bahwa secara filosofis Karya Agung Panca Balikrama patut dilaksanakan karena sebagai sebuah kewajiban bagi umat untuk melaksanakan.

Hal ini dapat dikuatkan dalam wawancara dengan beberapa informan dan aplikasi dimasyarakat, diantara dengan Ida Bagus Putu Sudarsana pada tanggal, 11 Oktober 2011 bertempat di Geriya Selat Kabupaten Badung. Dikatakan bahwa sesungguhnya Panca Balikrama secara filosopis sarad dengan fungsi dan makna, karena dengan melaksanakan upacara ini , berarti manusia telah membayar utang atau kewajiban kepada alam yang diciptakan olehNYA, karena sesungguhnya bhuwana agung dengan unsur-unsur , memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, seperti Hidup diatas pertiwi, memenuhi kebutuhan akan air, angin, api, juga dari unsur alam, sehingga manusia wajib menjaga keharmonisannya dengan melalui pelaksanaan Panca Balikrama.

Demikian juga disampaikan dalam wawancara dengan Ida Bagus Agastia di Geria Sibang Kabupaten Badung , sebagai informan , bahwa sesungguhnya pelaksanaan Panca Balikrama adalah bersatunya semua keyakinan, pikiran suci, perkataan suci dan pelaksanaan yang suci umat Hindu melalui aktivitas ritual Panca Balikrama menuju satu titik atau pusat, dalam penyatuan dengan Sang Pencipta, dengan media dan tempat, Panca Balikrama bertempat di Pura Besakih di kaki gunung Agung.

Coba tidak ada karya Agung Panca Balikrama di Besakih, bagaimana mengajak umat secara khusuk untuk menyatukan ratusan ribu umat Hindu dalam waktu enam bulan, untuk selalu, mengendalikan diri melalui yasa kerti karya. Ini adalah suatu pristiwa langka dalam waktu sepuluh tahun, belum tentu tiap orang dapat melihat, melakukan secara bersama sama secara kolektip. Sehingga patut disyukuri bagi setiap umat dapat menyatukan pikiran, perkataan dan perbuatan dalam bingkai makna pengendalian diri melalui media pelaksanaan Karya Agung Panca Balikrama di Pura Besakih.


Sumber
Dr. W. Kandi Wijaya

Panca Bali Krama Besakih



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga