Panca Bali Krama di Pura Agung Besakih


Sloka lain dalam kitab Manawa Dharmasatra lebih memberikan kejalasan :

svadhyayenar-cayetarsin, homair devan yatjavidhi, pitrn chraddhena nrn annair, bhutani balikrama (III, 81).

Hendaknya ia sembahyang sesuai dengan paraturan, kepada pandita dengan mempelajari Weda, kepada Dewa dengan persembahan yang dibakar, kepada para leluhur dengan sraddha, kepada bhuta dengan upakara bali (bali karmana.

Rujukan rujukan sebagai petikan tersebut di atas sudah tentu diharapkan dapat meneguhkan pengertian tentang pelaksanaan yajna yang sedang dilakukan, yang memang ada landasannya dalam kitab-kitab suci Hindu. Panca Balikrama merupakan persembahan kepada bhuta yang tak lain adalah unsur-unsur yang membangun alam semesta, dari lima unsur yang disebut panca mahabhuta terdiri atas pretiwi (tanah) apah (air) teja (sinar) wayu (angin) dan akasa (ether), yang dibentuk oleh lima unsur yang lebih halus disebutkan panca tanmatra (gandha, rasa, sparsa, rupa, dan sabda). Unsur-unsur tersebutlah yang membangun, baik bhuwana alit maupun bhuwana agung, atau yang membangun segala bentuk material di alam raya ini. Kepada unsur-unsur tersebut dipersembahkan upakara bali, berupa caru atau tawur.

Lima unsur Bhuta sebagai perwujudan dari Acetana (pradana) mendapat perhatian penting dalam pemikiran Hindu. Alam semesta (bhuwana agung) dibentuk oleh lima unsur yang disebut Panca Mahabhuta, terdiri atas pretiwi (unsur tanah), apah (unsur air), teja (unsur api), bayu (unsur angin), dan akasa (ether). Panca Maha Bhuta dibentuk oleh unsur-unsur yang sangat halus yaitu Panca Tan Matra, terdiri atas gandha (unsure bau), rasa (rasa), sparsa (sinar), rupa (rupa) dan sabda (suara). Semua unsur tersebut berstruktur, bersistem dan harmoni.

Namun dalam perjalanan waktu, termasuk karena tindakan dan perbuatan manusia, unsur-unsur tersebut boleh jadi menjadi disharmoni. Oleh karena itu dalam setiap kurun waktu tertentu diadakan upacara mengharmoniskan unsur-unsur yang membangun alam semesta, diadakan upacara Bhutayajna. Harapan yang ingin dicapai adalah Bhuta-hita atau Jagat-hita, Sarwaprani hita, keharmonisan yang akan memberikan kerahayuan hidup bagi manusia dan mahluk lainnya.

Bhuta-yajna diadakan pada tempat dan waktu terpilih (pangaladesa, subhadiwasa), seperti halnya Ekadasa Rudra-Eka Bhuwana diadakan pada tilem Cetra (tilem kasanga), ketika matahari berada di atas khatulistiwa, dan ketika bhumi, bulan dan matahari dalam posisi garis lurus.

Posisi Bhuwana agung pada saat ini (terlebih dalam saat sandhya-kala) dalam posisi sedemikian rupa, posisi yang tepat untuk mengadakan bhuta yadnya. Penyelenggaraannya dilakukan di sebuah tempat yang secara simbolis dianggap sebagai madhyanikang bhuwana (tengahnya dunia), di sebuah natar (lebhuh,pempatan) di mana pretiwi (bhumi, tanah) akasa (langit), bertemu.

Bhuta-yajna tidak dapat dilepaskan dengan Dewa-yajna. Setelah bhuta- yajna dilaksanakanlah dewa-yadnya, dan saat yang dipilih adalah ketika bulan sempurna di langit (purnama). Purnama kadasa (juga Purnama Kartika) adalah purnama yang dianggap sebagai paling “sempurna”, yaitu ketika bulan purnama yang terdekat dengan garis khatulistiwa. Inilah subhadiwasa untuk melaksanakan dewa-yajna. Oleh karena itu upacara Ngusaba-Kadasa yang disebut juga Bhatara Turun Kabeh diselenggarakan pada saat itu.

Manusia yang hidup “di antara” Bhuta dan Dewa, dengan melaksanakan Bhuta-Yajna dan Dewa-Yajna diharapkan menyadari dirinya yang pada hakikatnya adalah “Cahaya Tuhan” yang berasal dan akan kembali kepada Sang Maha Cahaya. Bukan sebaliknya “jatuh” ke dalam kegelapan (bhuta). Tetapi bhuta perlu dijaga keharmonisannya (somya) dengan berbagai upaya sebagaimana diajarkan dalam ajaran agama. Bhuta-yajna juga diselenggarakan karena manusia menjadikan bhuta (juga tanmatra) sebagai objek indrianya. Obyek indria diupayakan dalam keadaan bhuta-hita, dengan demikian kerahayuan hidup akan dapat dicapai. Setelah Bhuta menjadi somya, maka Hyang Bhutapati yang juga adalah Hyang Pasupati, Hyang Jagatpati disthanakan lalu dipuja. Dengan demikian Panca Bali Krama disamping sebagai bhuta-yajna, pada hakekatnya adalah juga Dewa-yajna, pemujaaan kepada Tuhan Mahakuasa.


Sumber
Dr. W. Kandi Wijaya

Panca Bali Krama Besakih



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga