Panca Balikrama dilihat dari bentuk pengorbanan, tetapi bukan menyamakan dasar latar belakang dari perzinahan dan pembunuhan dalam penelitian agama Neur (agama bumi) evans Pritchard, tetapi dilihat dari bentuk makna dari perngorbanan tersebut, yang beorientasi pada pengorbanan dikaitkan dengan roh dan kematian dalam suatu ritual, menunjukan kemiripan sehingga digunakan sebagai bentuk pendekatan kajian Panca Balikrama secara filosofis.
Panca Balikrama sebagai korban suci menggunakan binatang sebagai korban suci yang dibunuh, darah dan dagingnya dipersembahkan kepada bhuta, dagingnya dikonsumsi oleh mereka yang turut dalam ritual itu, dapat diyakini sebagai ritual yang berkenaan dengan ritus kolektif, dan ritual untuk suatu bencana yang menimbulkan banyak kematian manusia, binatang dan kerusakan alam. Mungkin dahulu kala telah terjadi krisis moral dan sepiritual, yang menyebabkan terjadinya pristiwa – pristiwa alam yang mengintervensi kesejahtraan manusia, sehingga ritual semacam ini dilaksanakan di Pura Besakih.
Peristiwa-peristiwa dan kejadian kejadian alam terjadi seperti bencana alam tahun 1917, gunung agung meletus tahun 1963, dan pristiwa yang terjadi di Bali menyebabkan banyak orang meninggal , seperti G.30 S tahun 1965 misalnya sebagai alasan dilakukan upacara penyucian alam Bali melalui pelaksanaan Panca Balikrama tahun 1978 dan Ekadasarudra tahun 1979, seterusnya dilaksanakan secara berkesinambungan.
Selanjutnya Panca Balikrama dikaji dari pedekatan makna bhuta dan dewa seperti apa yang dikemukan Agastia (2009)
Bahwa : “ Apa yang disebut Panca Mahayajna sebagaimana tertulis dalam kitab- kitab suci Hindu atau Weda (lih. Die Religionen Indies I, Veda und alterer Hinduismus, Kohlhamer 1960) terdiri atas Dewa yajna, Bali yajna (perhatian istilah ini, pen), pitra yajna, brahma yajna dan manusya yajna. Yang menarik diperhatian adalah baliyajna, tidak lain yang dimaksudkan adalah apa yang disebut sebagai bhutayajna, persembahan kepada panca mahabhuta (pretiwi, apah, teja, bayu, akasa). “ Selanjutnya didalam kitab Satapata Brahmana (II, 5,6,1) menyebutkan bahwa panca mahayajna terdiri atas :
bhutayajna, manusyayajna, pitryajna, devayajna dan brahmayajna.
Sloka tentang bhutayajna dalam Satapatha Brahmana sbb :
ahar-ahar bhutebyo balim haret, tathaitam bhuta yajnam samapnoti (persembahan kepada bhuta berupa upakara Bali disebut bhutayajna).
Dalam kitab Manawa Dharmasastra ternyata ada juga menguraikan tentang pancayajna yaitu pada sloka III, 68, 69, 70, 71 dan 72. Kita petik sloka 70 yang berkait dengan tujuan catatan ini :
adyapanam brahma yajnah, pitryajnah tu tarpanam, homo daivo balir bhauto, nryajno ‘tithi pujanam.
Mengejar dan belajar adalah yadnya bagi Brahmana, upacara menghaturkan tarpana adalah yadnya untuk para leluhur, upacara dengan mempersembahkan minyak dan susu adalah yadnya kepada para dewa, upacara bali adalah yadnya kepada bhuta, dan penerimaan tamu dengan ramah tamah adalah yadnya untuk manusia.