Panca Bali Krama di Pura Agung Besakih


Di samping itu Raja Purana boleh jadi sebagai sumber hukum masyarakat Bali, karena didalamnya mengatur bangun-bangunan dan bentuk saji-sajian yang mesti dilakukan dan dihaturkan di Pura Besakih , Gunung Agung.

Dalam menyebutkan saji-sajian yang harus dihaturkan untuk Pura Besakih, dari aturan prasyascitta salwiring durmannggala, amanca Balikrama, sampai Eka Dasarudra disebutkan dalam lontar ini.

Raja Purana Pura Besakih, juga memberikan petunjuk kepada masyarakat Bali khususnya, mengenai tata cara menentramkan dunia, agar selamat dari bahaya, seperti kekeringan dan perang sehingga berpahala mulia. Hal ini disebutnya dengan : Caritaning pangenteg Bali pulana amukti lama. (Putra, 1995: 6-9)

Selanjutnya Dari teks , Widhi widhaning Tawur Eka Dasa Rudra atau Tingkahing karya Panca Balikrama memberi petunjuk mengenai kapan dan dengan syarat apa Panca Balikrama, dan eka dasarudra dilaksanakan . Petunjuk itu dapat dikelompokan menjadi 2, satu kelompok mengatakan bahwa Panca Balikrama dilaksanakan karena adanya bencana alam, sedangkan kelompok kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan Panca Balikrama dilaksanakan karena pemilihan waktu. Alasan pertama Panca Balikrama dilaksanakan karena adanya bencana. Masyarakat Bali menganggap bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2009, tidak pernah terjadi bencana besar di Bali, sehingga ciri itu menjadi satu alasan pemilihan pelaksanaan Karya Panca Balikrama dipilih berdasarkan alasan pemilihan waktu, yaitu karena pergantian waktu, dimana pada saat tahun 2009 masehi bersamaan tahun saka 1930 adalah tahun saka yang berakhir dengan angka nol (0).

Pemilihan pelaksanaan Panca Balikrama karena ”alasan waktu” begitu memiliki arti penting bagi pemikiran Hindu, bahwasanya jika leher tahun berubah (anemu mesalin tenggek) Panca Balikrama mesti dilaksanakan kendalitipun waktunya tidak ditetapkan. Ketika anemu mesalin tenggek, kondisi alam sudah berubah, sehingga perlu diantisipasi dengan berbagai ritual agama yang besar setingkat Panca Bali Krama. Ketika Panca Balikrama dilaksanakan diyakini sebagai ritual (upacara) ini akan dapat memberikan dan merubah energi negatif menjadi energi baik yang berpengaruh pada dunia dan kehidupan semua mahluk tentu upacara ini dipertahankan. Penentuan pemilihan ketepatan waktu begitu menjadi momen penting yaitu pada tilem Caetra, dimana pada saat waktu tersebut terjadi puncak pengaruh buruk menuju waktu yang baik. Waktu yang baik itulah menurut sastra harus dilaksanakan upacara tawur yang sifatnya besar (utama). Mengapa besar, karena diperuntukan dan dimohonkan untuk memberi pengaruh pada global dunia, alam semesta (kesejagatan) berserta semua mahluk ciptaannya. Jika Tuhan mengabulkan maka akan terjadi perubahan, membawa pengaruh positip pada semua kehidupan di alam ini. Bagi pemikiran Hindu penetapan hari baik ( suba dewasa) untuk melakukan yadnya atau melakukan sesuatu aktivitas diyakini membawa kedamaian dan memberikan kelancaran upacara yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan, harapan dan keinginan sang pemilik yadnya ( Sida sidaning don ).

Disamping  dari  teks  naskah  Raja   Purana,   lontar   widhi  widhaning Ekadasarudra , juga dari Bhagawadgita dalam hubungannya dengan penciptaan , Panca dewata dan Pancamahabhuta dan Panca Balikrama diacu menjadi sumber kajian secara teologis. Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Mahakuasa dalam agama Hindu disebut Bhatara Siwa.

Menurut Ajaran Hindu bahwa Sang Hyang Widhi wasa / Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Bhatara Siwa menciptakan alam semesta melalui Lila atau kridanya. Sanghyang widhi sebagai pencipta alam semesta melalui Yajna, melalui unsur-unsur Panca mahabhuta,dapat dilihat seperti apa yang dinyatakan dalam Bhagawadgita sebagai berikut :

bhumir’nalo way kham mano buddhir ewa ca ahamkara itiyam me bhinna prakrtir astadha ”.

Bhagawadgita, VIII.4

maksudnya, Tanah, air, api, udara, angkasa, pikiran, kecerdasan dan ego keseluruhan ke delapan unsur ini muncul dari alam-KU

Menurut Pedanda Bajing dkk (1990 : 65) : Lima yang pertama dari terjemahan sloka diatas (tanah, air, api, udara dan angkasa/eter ) disebut Panca Mahabhuta, sedang keseluruhan disebut Astadha. Kondisi alam semeta memiliki sifat tidak tetap, berubah menurut siklus zaman yang merupakan kehendak Nya, melalui KridaNya tidak ada yang tahu persis.

Selanjutnya melalui kridaNya munculah Santa ataupun Bhuta (Panca Mahabhuta dan Kala). Bila Alam Semesta ciptaanNya ini tenang tentram, maka yang dipuja adalah aspek Santa dari Sanghyang Widhi, berupa Sanghyang Panca Dewata. Bila alam semesta terganggu keseimbangannya maka sanghyang widhi yang dipuja dalam aspek krodaNya dalam wujud Bhuta dan Kala. Ketika Sang Hyang Widhi dalam wujud kroda (memurti) maka beliau berwujud menjadi Bhutakala. Ketika kondisi seperti itu terjadi maka terjadi ketidak seimbangan alam semesta . Terjadinya ketidak seimbangan Panca Mahabhuta sebagai unsur penciptaan alam, dengan unsur-unsur (Pertiwi unsur tanah, Apah unsur air, Teja unsur Api / sinar dan Bayu unsur udara dan ether unsur akasa), dalam pemikiran Hindu , bila salah satunya terganggu maka terjadi ketidak harmonisan , maka pada saat itulah sepatutnya dilaksanakan upacara yadnya.


Sumber
Dr. W. Kandi Wijaya

Panca Bali Krama Besakih



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga