Tradisi Pemujaan untuk Bhatara/i Śri Rambut Sedana


Lahirnya Bidadari Niken Tiksnawati

Mula-mula dikisahkan pada pertemuan dewa di Kahyangan, Batara Guru mencoba untuk memegang Retna Dumilah, mustika sakti milik Batara Narada yang dapat membuat pemakainya tidak perlu makan dan tidur, tidak basah terkena air, dan tidak terbakar oleh api. Tangan Batara Guru tidak kuat menahan Retna Dumilah sehingga mustika sakti itu terlepas dari tangan Batara Guru dan jatuh ke bumi lapis ketujuh di mana seekor naga bernama Sang Hyang Antaboga menangkap dan menelannya. Antaboga kemudian mengetahui bahwa para dewa mencari mustika yang ia telan dan muncul keinginan untuk menguji mereka. Dia letakkan mustika itu ke dalam sebuah cupu lalu ia berikan kepada Batara Guru. Batara Guru tidak mampu membuka cupu tersebut, begitu pula dengan Batara Narada dan para dewa lainnya. Akhirnya cupu tersebut dibanting oleh Batara Guru hingga hancur. Dari cupu yang hancur keluarlah Retna Dumilah yang berubah bentuk menjadi seorang bayi perempuan. Bayi itu kemudian dinamakan Niken Tiksnawati.

Setelah berumur 14 tahun, Tiksnawati menjadi bidadari yang sangat cantik. Batara Guru jatuh cinta dan mencoba mempersunting Tiksnawati. Tiksnawati memberikan tiga syarat yang harus disanggupi oleh Batara Guru untuk mempersuntingnya. Syaratnya adalah pakaian yang selamanya tidak akan usang, makanan yang sekali dimakan akan selalu mengenyangkan, dan gamelan bernama kětopyak atau kethok kethopyok kepyak kethopyak, sebuah teka teki yang berasal dari suara lesung. Bhatara Guru menyanggupi dan memerintahkan anak Batara Kala yang bernama Kala Gumarang untuk mencari dan melengkapi persyaratan tersebut.

Ditengah pencarian, Kala Gumarang melihat Dewi Śri, yang sudah berstatus sebagai istri Dewa Wisnu, mandi di taman Banjaran Sari. Kala Gumarang terpikat dan mengejar Dewi Śri hingga turun ke bumi dan masuk ke tengah hutan. Dewa Wisnu melepaskan anak panah ke arah Kala Gumarang yang kemudian berubah menjadi akar rotan yang menjerat kaki Kala Gumarang dan membuatnya terjatuh. Dewi Śri terkejut melihat Kala Gumarang jatuh merangkak dan dari mulut Dewi Śri terucap perkataan bahwa Kala Gumarang mirip seperti babi. Seketika itu juga Kala Gumarang berubah menjadi babi hutan. Dewi Śri kemudian menitis ke dalam Dewi Darmanastiti, permaisuri Raja Makukuhan di Medang Kamulan. Sedangkan Dewa Wisnu sendiri menitis ke dalam Raja Makukuhan.

Mendengar bahwa Kala Gumarang berubah menjadi babi dan tidak dapat kembali ke Kahyangan, Batara Guru hilang kesabarannya dan memaksa Tiksnawati untuk melayaninya. Tiksnawati memberontak dan meninggal dunia. Bhatara Guru tertekan dan menyerahkan jasad Tiksnawati kepada Bhatara Narada untuk dikuburkan ke bumi di hutan Krendawahana wilayah kerajaan Medang Kamulan. Setelah dikubur, dari jasad Tiksnawati tumbuh berbagai macam tanaman.

  1. Dari bagian kepala tumbuh pohon kelapa
  2. Dari bagian kemaluan tumbuh pohon aren
  3. Dari bagian telapak tangan tumbuh tanaman pisang
  4. Dari bagian gigi tumbuh tanaman jagung
  5. Dari bagian rambut tumbuh tanaman padi
  6. Dari bagian bulu tumbuh tanaman menjalar dan tanaman dengan buah menggantung
  7. Dari bagian kaki tumbuh tanaman umbi-umbian

Tumbuh-tumbuhan tersebut kemudian dikembangbiakkan secara merata ke seluruh wilayah kerajaan. Dewi Sri kemudian keluar dari tubuh Dewi Damanastiti dan merasuk ke dalam tanaman padi.

Patung-patung kayu ini dilapisi uang kepeng (koin Cina dengan lubang di tengahnya). Waktu Cina memulai perdagangan dengan sejumlah kerajaan di Nusantara, koin-koin ini menjadi banyak digunakan di wilayah kita.

Selain menjadi alat pembayaran yang sah, orang Bali dan Lombok percaya bahwa koin-koin ini memiliki nilai magis, dan karena itulah digunakan di upacara agama (seperti yang kemudian dipakai untuk menghias patung Ida Batara Rambut Sedana).

Patung Rambut Sedana biasa diletakkan di gedong, yaitu tempat untuk menyimpan benda keramat. Untuk menunjukkan rasa hormat terhadap Bhatara Rambut Sedana, upacara Buda Cemeng Klawu dilakukan untuk meminta kemakmuran dan berterima kasih kepada berkat dan kekayaan yang telah diberikan para dewa.

Berdasarkan kepercayaan Bali, waktu para dewa hadir sesaat di antara manusia melalui medium, patung Rambut Sedana menjadi tempat tinggal dewa. Pada masa kunjungan tersebut, para dewa memberi berkat mereka kepada para pengikutnya. Semua itu merupakan ucapan rasa terima kasih atas karunia Brahman dengan manifestasinya sebagai Dewa Kuwera.

Walaupun di Bali dipuja dengan istilah Bhatara Śri Sedana. Khusus pada uang kepeng yang memiliki nilai magis karena berbahan dasar Pancadatu juga menjadi pusat pemujaan. Pancadatu yang dimaksud, seperti:

  • tembaga sebagai simbol Dewa Brahma,
  • timah sebagai simbol Dewa Siwa,
  • besi sebagai simbol Dewa Wisnu,
  • perak sebagai simbol Dewa Iswara, dan
  • emas sebagai simbol Dewa Mahadewa.

Demikian juga karena uang kepeng berbentuk bulat juga sebagai lambang Windu. Uang kepeng merupakan wujud akulturasi budaya antara Cina dan Bali sebagai pengaruh Putri Khang Cing We dengan Raja Jayapangus.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga