Tradisi Pemujaan untuk Bhatara/i Śri Rambut Sedana


Dewi Sri di Jawa dan Bali

Dewi Śri selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik, ramping tetapi bertubuh sintal dan berisi, dengan wajah khas kecantikan alami gadis asli Nusantara. Mewujudkan perempuan di usia puncak kecantikan, kewanitaan dan kesuburannya.

Kebudayaan adiluhung dengan selera estetis tinggi menggambarkan Dewi Śri seperti penggambaran dewi dan putri ningrat dalam pewayangan. Wajah putih dengan mata tipis menatap ke bawah dengan raut wajah yang anggun dan tenang. Serupa dengan penggambaran kecantikan dewi Sinta dari kisah Ramayana.

Pasangannya, Sedhana juga digambarkan dengan rupa bagus seperti Rama. Patung loro blonyo (berarti: “dua lapik atau dasar”) yang menggambarkan sepasang lelaki dan perempuan, juga diibaratkan sebagai pasangan Dewi Śri dan Sedhana. Karena hal tersebut, Dewi Śri dan Dewa Sedhana seringkali dianggap sebagai titisan Bhatara Wisnu dan istrinya, Bhatari Sri sekar Widowati.

Dewi Śri tetap dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda dan Bali. Meskipun demikian banyak versi mitos serupa mengenai dewi kesuburan juga dikenal oleh suku bangsa lainnya di Indonesia. 

Kepercayaan lokal seperti Kejawen dan Sunda Wiwitan tetap berakar kuat dan pemuliaan terhadap Dewi Śri terus berlangsung bersamaan dengan pengaruh Hindu, Buddha, Islam dan Kristen. Beberapa kraton di Indonesia, seperti kraton di Cirebon, Ubud, Surakarta, dan Yogyakarta tetap membudayakan tradisi ini. Sebagai contoh upacara selamatan atau syukuran panen di Jawa disebut Sekaten atau Grebeg Mulud yang juga berbarengan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad.

Masyarakat tradisional Jawa, terutama pengamal ajaran Kejawen, memiliki tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Śri yang disebut Pasrean (tempat Dewi Śri ) agar mendapatkan kemakmuran. Tempat khusus ini dihiasi dengan ukiran ular dan patung loro blonyo, kadang-kadang lengkap dengan peralatan pertanian seperti ani-ani atau arit kecil dan sejumput padi. Sering pula diberi sesajen kecil untuk persembahan bagi Dewi Sri. Patung loro blonyo dianggap sebagai perwujudan Dewi Śri dan Sedhana, atau Kamaratih dan Kamajaya, semuanya merupakan lambang kemakmuran dan kebahagiaan rumah tangga, serta kerukunan hubungan suami-istri.

Pada masyarakat petani di pedesaan Jawa, ada tradisi yang melarang mengganggu dan mengusir ular yang masuk ke dalam rumah. Malah ular itu diberikan persembahan dan dihormati hingga ular itu pergi dengan sendirinya, tradisi ini menganggap ular adalah pertanda baik bahwa panen mendatang akan berhasil melimpah. Pada upacara slametan menanam padi juga melibatkan dukun yang mengelilingi desa dengan keris berkekuatan gaib untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam.

Masyarakat Sunda memiliki rangkaian perayaan dan upacara khusus yang dipersembahkan untuk Dewi Śri. Misalnya upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun oleh masyarakat Baduy, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, Cigugur, Kuningan, dan berbagai komunitas tradisional Sunda lainnya.

Tradisi ini ditelusuri sudah dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba. Upacara digelar untuk memberkati bibit padi yang akan ditanam serta padi yang akan dipanen. Pada perayaan ini masyarakat Sunda menyanyikan beberapa pantun atau kidung seperti Pangemat dan Angin-angin. Kidung nyanyian ini dimaksudkan untuk mengundang Dewi Śri agar sudi turun ke bumi dan memberkati bibit padi, supaya para petani sehat, dan sebagai upacara ngaruwat atau tolak bala; untuk menangkal kesialan atau nasib buruk yang mungkin dapat menimpa para petani.

Pada saat memanen padi pun masyarakat tradisional Sunda tidak boleh menggunakan arit atau golok untuk memanen padi, mereka harus menggunakan ani-ani atau ketam, pisau kecil yang dapat disembunyikan di telapak tangan. Masyarakat Sunda percaya bahwa Dewi Śri Pohaci yang berjiwa halus dan lemah lembut akan ketakutan melihat senjata tajam besar seperti arit atau golok. Selain itu ada kepercayaan bahwa padi yang akan dipanen, yang juga perwujudan sang dewi, harus diperlakukan dengan hormat dan lembut satu persatu, tidak boleh dibabat secara kasar begitu saja.

Masyarakat petani di Bali biasanya menyediakan kuil kecil (Pelinggih) di sawah untuk memuliakan Dewi Śri. Pelinggih ini sering kali diberi sesajen sebagai persembahan agar Dewi Śri sudi melindungi sawah mereka dan mengkaruniai kemakmuran dan panen yang berlimpah. Pada sistem kepercayaan Hindu Dharma, Dewi Śri dianggap sebagai perwujudan atau perpaduan beberapa dewi-dewi Hindu seperti dewi Lakshmi. Di Bali Dewi ini dianggap sebagai dewi padi, kesuburan, penjamin keberhasilan panen, serta kemakmuran dan pelindung keluarga.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga