- 1asal-usul Pemujaan Dewi Śri
- 1..1Lahirnya Bidadari Niken Tiksnawati
- 1..1Terciptanya Hama Padi
- 1..2Asal mula Pasrean
- 1..3Ular sawah sebagai penjaga
- 1..1Śri menjadi Dewi padi
- 1..1Dewi Sri di Jawa dan Bali
- 2Upacara Pemujaan Bhatara Śri Rambut Sedana
- 2..1Daksina Linggih Untuk Bhatara Śri Rambut Sedana
- 2..1Banten / Upakara Untuk Bhatara Śri Rambut Sedana
- 2..1.1A. Banten Saat Buda Cemeng / Wage Kelawu Pujawali
- 2..1.2B. Banten yang digunakan sehari-hari
- 2..1Mantra dan Sesontengan Pemujaan Bhatara Śri Rambut Sedana
Daksina Linggih Untuk Bhatara Śri Rambut Sedana
Penggunaan Daksina Linggih sebagai pralingga di dalam memuja Hyang Widhi dilandasi oleh konsepsi Ketuhanan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kalau pada jaman Empu Kuturan di Bali pemujaan pada Hyang Widhi baru hanya sampai tingkat manifestasi beliau yang disebut Dewa atau Bhatara. Maka sejak kedatangan Dang Hyang Dwijendra ke Bali pemujaan kepada Hyang Widhi bukan saja melalui Dewa/Bhatara yang merupakan prabawa atau sinar suci dari Hyang Widhi tetapi dapat diwujudkan dalam imajinasi manusia sehingga diproyeksikan wujud konkrit dalam benda suci yang disebut arca/ pratima sebagai ekspresi imajinasi abstrak manusia tentang wujud beliau. Maka arca/ pratima itu berfungsi sebagai pralingga Dewa/ Bhatara.
Daksina Linggih ini tempatnya disebut bedogan yang terbuat dari janur. Kemudian bedogan tersebut dialasi wakul/ bakul dari bambu yang bentuknya menyerupai selinder, di samping wakul dari bambu masih diberi alas bokor, yaitu sebuah tempat yang menyerupai mangkok yang terbuat dari emas, perak atau bahan dari logam lainnya.
Selanjutnya diberi serobong yang terbuat dari daun janur atau ental (daun lontar), adapun gegantusan isinya terdiri dari tampak, beras, benang tukelan, kelapa, pesel-peselan, bija ratus, pisang, telur itik, uang kepeng, khusus untuk daksina linggih/pralingga selain uang kepeng yang ditempatkan di kojong, juga menggunakan uang kepeng yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk lingkaran, jumlahnya 225 buah untuk landasan bawah yang disebut lekeh. Delengkapi dengan canang payasan yang tempatnya berbentuk segi tiga (ituk-ituk) dilengkapi dengan porosan, merupakan unsur terpenting yang dibuat dari daun sirih, irisan pinang, dan kapur.
Ketiga bahan ini digabung menjadi satu diikat denga janur, lalu di atas porosan ini diberi bunga segar dan harum. Bagian luarnya yaitu bedongan di beri wastra (kain putih kuning seperti layaknya kita memakai kain. Daksina Linggih ini dilengkapi dengan peperai/wajah/ muka, bisa terbuat dari janur yang menyerupai cili (berbentuk kipas) atau daun lontar yang dibuat sifatnya permanen dengan maksud bisa disimpan dan dapat dipergunakan pada waktu kesempatan lain. Model atau bentuknya bisa dibuat bermacam-macam sesuai sesuai dengan seni yang membuatnya.
Untuk peperai (bentuk wajah/ muka) ini bisa juga dibuat dari bahan kawat, bentuk ini pada kelompok upakara dikenal dengan nama dendeng ai. Bentuk lain dari pererai ini bisa juga dibuat dari lempengan kayu cendana, lempengan logam seperti perak, emas, yang mengembil bentuk lebih riil, yaitu dibuat atau dilukis seperti muka manusia ada mata, alis, mulut dan sebagainya. Kemudian dihias dengan menambahkan bunga-bunga segar yang berwarna putih kuning atau bunga yang dibuat dari emas atau perak. Dengan tambahan kain atau wastra, pererai yang dihias membuat
Daksina Linggih ini berbeda dari daksina alit/ kecil pada umumnya dalam penampilannya. Daksina Tapakan/Linggih pada umumnya dipergunakan pada waktu ada pujawali/Piodalan di pura-pura. Biasanya daksina ini diletakkan di depan padmasana atau pada bangunan suci di pura yang sedang melangsungkan upacara piodalan.
Pengunaan Daksina Linggih yang digunakan oleh masing-masing usaha dagang pada msyarakat di Bali, merupakan Pralingga Bhatara Sri Rambut Sedana yang diyakini sebagai Dewa pemberi kemakmuran dan kekekayaan.
Banten Daksina Linggih yang berfungsi sebagai stana Tuhan di Bumi dibuat dari berbagai simbol seperti kelapa yang berbentuk bundar sebagai simbol Bumi, tapak (tapak dara) sebagai simbol keharmonisan atau keseimbangan sebagai dasar Bumi, telor itik sebagai simbol dari krida (kerja) Tuhan di Bumi, gegantusan simbul dari isi Bumi. Keseluruhan dari unsur yang membangun Banten Daksina Linggih dapat mendukung fungsi dan perwujudan dari Daksina itu sendiri. Salah satu unsur tidak ada, dapat mengurangi makna dari yang disimbolkan oleh Banten Daksina itu. Hal ini sejalan dengan Teori Fungsional Struktual bahwa Upacara Pemujaan Batara Sri Rambut Sedana baik bantenya maupun prilaku orangnya sebagai suatu simbol yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Salah satu tidak berfungsi akan mengganggu fungsi lainnya, oleh karena itu seseorang harus memaknai dan melaksanakan fungsinya masing-masing.