Runtutan Upacara Ngaben Arya Kubon Tubuh


Masesapuh

Setelah tiga hari upacara ngaben selesai dengan ditandai pelaksanaan ngayut, masih ada kegiatan yakni mesapuh. Upacara mesapuh ini adalah upacara pembersihan yang diisi dengan caru manca sanak. Menurut Sukayasa (2005:9) dalam makalahnya yang berjudul caru manca sanak bahwa caru manca sanak adalah bagian dari butha yajna.
Lontar Agastya Parwa menjelaskan Bhuta Yajna adalah upacara tawur. Kata tawur artinya kurban, persembahan, upacara kurban yang disuguhkan kepada bhuta. Arti yang lebih realis adalah kurban suci yang dipersembahkan kepada lima unsur alam (Nala, 2003). Lima unsur alam itu dipersonifikasi dengan sebutan Sang Hyang Panca Maha Bhuta: ether disebut Sang Hyang Akasa; udara disebut Sang Hyang Bayu; unsur yang bercahaya disebut Sang Hyang Teja; unsur yang cair (air) disebut Sang Hyang Apah; dan unsur yang padat disebut Sang Hyang Prethiwi, atau lebih lumrah Ibu Prethiwi.
Menurut lontar Tatwa Jnana, kelima unsur alam ini tidak lain adalah perwujudan dari Acetana atau Prakreti, yaitu wujud azas materi yang paling kasar. Kurban yang dipersembahkan kepada lima personifikasi unsur alam ini disebut caru. Caru berasal dari bahasa Sansekerta yang pada dasarnya berarti makanan atau sesaji yang dibuat dari beras yang direbus dalam susu, mentega atau air.

Dalam tradisi Bali, bahan caru dan tawur tidak hanya berasal dari bahan nabati tetapi dari bahan hewani. Caru dan tawur dimaknai berbeda walau hakekatnya sama, yaitu upacara kurban kepada alam dan sarwa bhuta.

Maksud dan tujuan caru panca sanak tidak bisa dipisahkan dengan maksud dan tujuan upacara yajna secara umum. Karena caru panca sanak adalah bagian dari struktur yajna. Upakara yadnya yang diwujudkan dengan berbagai jenis banten adalah simbol agama Hindu yang khas Bali. Sebagai simbol, banten bermakna dan berfungsi didaktis, yaitu mengajarkan umat untuk menjadi orang yang berkualitas luhur.

Ikhlas mengorbankan keterikatan dirinya kepada sifat-sifat buruk dan kesukaan rendahnya, dengan cara memupuk sifat-sifat luhur pada dirinya dengan membatinkan nilai-nilai kemanusiaan: kebenaran, kebajikan, cinta kasih, tanpa kekerasan dan kedamaian sebagai yang tersirat dalam elemen-elemen yajna. Artinya, untuk menjadi manusia berkualitas, seseorang haruslah merebut makna yang ada di balik aktivitas simbolik itu.

Dengan demikian, melalui proses belajar tersebut seseorang akan dapat mensublimasikan pikiran-pikiran rendah (manah) menjadi daya budi (satyam), mensublimasikan emosi menjadi daya estetika (sundharam), dan mensublimasikan perilaku destruktif menjadi perilaku bermoral (sivam).

Secara etimologi Caru Panca Sata terdiri kata Caru, Panca, dan Sata. Caru dalam kitab “Swara Samhita” artinya harmonis atau cantik (Wiana, 2007: 174). Panca „lima‟ (Zoetmulder, 2004:751) dan Sata „ayam‟ (Panitia Penyusun, 1978: 503; Zoetmulder, 2004: 1054). Jadi Caru Panca Sata adalah suatu bentuk persembahan yang terbuat dari lima jenis ayam, disembelih dan diolah menjadi simbol-simbol berupa jenis-jenis makanan khas Bali untuk menjamu Bhuta Kala supaya harmonis.

Dalam konteks caru panca sanak, aktivitas dimaksud bermakna menjamu bhuta dengan makanan yang diolah dari bahan utama berupa lima ekor ayam dan seekor bebek bulu sikep. Ayam dan bebek dianggap serumpun (sanak), yaitu rumpun sato. Tetapi secara simbolik-didaktik, mengarah ke makna bahwa manusia hendaknya mengorbankan sifat buruknya. Dalam hal ini, sifat buruk manusia diasosiasikan dengan sifat ayam.

Manusia berkelahi antar sanaknya sendiri hanya karena berebut makanan, seks, dan kekuasaan. Sifat egois seperti itu sepatutnya diganti dengan sifat baik, yaitu sadar diri sebagai seanak, damai menyatu dengan sanak saudara, seperti sifat bebek. Bebek bulu sikep mengisyaratkan makna waspada atau berpendirian teguh (sikep), yaitu teguh bersatu sesama saudara.
Ajaran agama yang mendasari tata pelaksaan mecaru adalah konsep nyomya atau ruwatan dari luar ke dalam dari bawah ke atas, dari sekala ke niskala. Sejalan dengan itu, maka upakara yajna ditata menurut konsep pangider. Olahan diporsikan menurut konsep urip hari yang lima (pancawara).

Secara umum Caru Panca Sata terbuat dari bahan utama berupa lima jenis/warna ayam yang disembelih (putih, biying, putih syungan, hitam dan brumbun), bayang-bayang/layang-layang „kulit, bulu, kepala, kaki dan sayap tetap utuh melekat pada kulit‟. Darah dipisahkan berdasarkan jenis ayam, dipakai untuk melengkapi tetandingan (mentah dalam takir daun pisang) dan sebagai campuran urab barak. Masing-masing daging ayam diolah menjadi sate lembat „tumbukan daging dicampur dengan bumbu Bali dan kelapa parut‟, ususnya diolah menjadi sate asem dan serapah „usus atau daging yang direbus ditusuk dengan bambu kecil yang diraut (katikan), 3 irisan tiap katik‟. Begitu pula disertakan urab barak, urab putih, sayur, garam, balung „tulang‟.

Jumlah sate dan bayuhan dari masing-masing ayam ditentukan dengan urip/neptu „hitungan angka-angka mistis dihubungkan dengan arah mata angin‟, seperti: (1) Ayam putih dengan urip 5, arah Timur; (2) ayam biying „merah‟ urip 9, arah Selatan; (3) ayam putih siyungan urip 7, arah Barat; (4) ayam hitam urip 4, arah Utara dan (5) ayam brumbun urip 8, arah Tengah.
Bayang-bayang ditata dan dibentangkan di atas sengkui, di lengkapi dengan sorohan banten caru, tumpeng dan nasi menurut warna, urip masing-masing ayam atau arah mata angin. Masing-masing dilengkapi dengan sanggah cucuk, diatasnya diletakkan banten dananan. Tetabuhan (arak, berem dan air) dimasukkan dalam cambeng. Disamping itu, dilengkapi pula dengan soroan: peras, penyeneng, pengambeyan dan lain sebagainya, untuk banten pesaksi „bentuk persembahan untuk memohon saksi‟ ke Surya. Banten pemiak kala, prayascita, durmangala sebagai pebersihan.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga