Lontar Siwa Tattwa Purana



7a. -/la tar wnang sumaba, lwiring candela, buh, uta, tuli, kurang lewih, cedangga, wwang ayu juga wnang. Mojar Hyang Indra lan Hyang smara, ulun ginawe ligya, aranya, tar wnang isor salwiring kinaryya, ginawe pwa panggangan aranya. Mojar mwah Sanghyang Bayu lawan Sanghyang Baruna, Sanghyang Kala lawan Suryya, prasama makabehan, singgih pukun ulun ginawe raja karyya angluwer namanya, panulun kapi wuntat, tan ana katamanya mwah, maka wnang iwaking saji sajnya, daging samudra, mwang daging giri gahana, buron kidang ptak, paksya sahaneng sucya laksana, we srayu, yamuna sindu saraswati mwang gangga, ika kottameng tirta, tlas pwa

ikut melaksanakan upacara ini, diantaranya: sakit ingatan, perut yang bengkak, buta, tuli, dan orang yang kekurangan anggota badan, hanya orang-orang sempurnakan saja yang ikut mengerjakan. Berkata juga Hyang Indra dan Hyang Smara, hamba membuat Ligya namanya, tidak boleh pekerjaan dikerjakan di bawah, tetapi harus dibuatkan panggung. Lalu berkata juga Sanghyang Bayu dan Sang Hyang Baruna, serta Sanghyang Kala dan Surya, sembahnya bersama-sama dan serentak, “pendapat hamba, lalu dilaksanakan upacara Ngluwer namanya, karena inilah upacara yang terakhir, tidak ada lagi yang lebih besar, dengan sesajennya yang berisi ikan-ikan dari lautan, daging binatang hutan, kijang putih, berbagai jenis burung yang dianggap suci, air suci Sungai Srayu, Yamuna, Sindu, Saraswati dan Gangga, itu adalah air suci yang sangat utama, dengan ini selesailah

7b. gatining saraja karyya, dulur duluraning atiwa, ta ampwa naku, enakpwa Sanghyang Jagatnata angrenga ujaretmajan ira, makabehan. Ah kita naku kabeh, ana wkasku, ring dlaha manusa pada ginawe mangkana den wruh wwang nging madya tata tititning naku, Hyang durmuka naku, kita ginawe margganing ayu, wariga lawan tenung putru mwang plutuk, den wruh wwanging madya, Sanghyang Yama kon angraksa pitranya manusa, anuduh ana dumadi manusa, ala lawan ayu. Mojar Hyang Ghana, lawan Sanghyang Yama, singgih anda pwang kulun, kengetakna mwah naku, yan wang wus atiwa, pitranya aran dewa pitara, yan wus akakangsen,

upacara yang berturut-turut mulai dari Atiwa, demikian agar dimaklumi. Sangat gembira Sanghyang Jagatnata mendengar putera-puteranya semua. “Ah engkau anakku semua, sekarang ada maksudku untuk mengajar dan menyebarluaskan kepada seluruh umat manusia yang hendaknya melakukan upacara seperti itu, supaya mereka melaksanakan semua ajaran yang anak-anakku kemukakan tadi. Hyang Durmuka anakku, buatlah tata cara yang baik yang disebut Wariga, Tenung, Putru dan Plutuk, supaya dijadikan dasar pengetahuan manusia. Sedangkan Sanghyang Yama berkuasa menguasai semua roh-roh yang dapat menjelma kembali menurut perbuatan baik dan buruknya. Berkata Hyang Ghana dan Sanghyang Yama, maaf paduka, hamba akan melasanakan perintah paduka, jika telah melaksanakan Atiwa, Pitra disebut Dewa Pitara, jika selesai Kakangsen,


8a. Sanghyang Pitara aranya, yan wus anykah, dewa hyang pitara aranya, yan wus abukur, pitra widdi aranya, yan wus maligya, widdi wasa pitra ngaranya, yan wus angluwer, acintya pramawasa pitra ngaranya, mangkana naku, ta ampu kulun. Mwah rengonena naku, yan ana wwang madyapada, pjah tan ana sawanya, tan inulatan, ika wnang ginawe swasta, mwah yan ana matya prang, wnang amoring licin, yan manusa masawa, tar wnang swasta, yan murug matmah sasab makweh, atmah gagak awusungan, ngalahalaring nagara karma, mwah naku, yan wang salah patya tar wnang upakara, antyakna, 3, tawun, mwah yan sudra atmaja salah wtu, ca-/

Sang Hyang Pitra namanya, jika selesai Nykah, Dewa Hyang Pitra namanya, jika selesai Mamukur, Pitra Widhi namanya, jika selesai Maligya, Widhi Wasa namanya, jika selesai Ngluwer, Acintya Pramawasa Pitra namanya, demikian pendapat hamba, kiranya paduka memaklumi. Dan dengarkan anakku, jika ada manusia yang mati tidak ditemukan mayatnya, tidak dilihat, itu boleh dibuatkan upacara Swasta, jika ada mati karena berperang dan dapat tempat di Surga, jika manusia ada jenazahnya, tidak boleh menggunakan upacara Swasta, jika melanggar akan berakibat menemukan bencana berat, menjelma menjadi burung gagak yang memberi penyakit kepada Negara dan lagi anak-anakku, jika ada orang Salah Pati tidak boleh dibuatkan upacara, tunggu selama tiga tahun, dan jika ada orang Sudra melahirkan anak salah dilahirkan,

8b. -/ndala tan sameng wong tka wnang ring catuspata, sawulan sapta aji. Wus waneng ngusaba desa, rikang gnahan letuh, lwir upakaranya, acaru manca klud, ring catuspataning nagara karma, mwah ring lbuh swang, makadi ring pura-pura. Wus sahika, wnang mangenteg makihis, ngayu-ayu, 11, dina, mwah yan ana wong sudra ngamet istri brahma kula, satriya kuka, wesya kula, ika wnang danda lineboking we agung, ya ring gni agung, yan kari urip, ring nagara karma, mtu ta suta, yatika ari-arinya matmah caning api, trak kang nagara, tahunta nadi, wkasan pjah janma ika, tar wnang supat sang sadaka aywa angentas pitya, yanya muru/-

atau cacad yang tidak seperti biasanya, harus diasingkan ke perempatan jalan selama satu bulan tujuh hari. Setelah itu, wajib melakukan Usaba Desa di tempat terjadinya peristiwa yang dianggap kotor, serta upacaranya yaitu, Caru Maca Klud di Perempatan Jalan kota, dan di masing-masing pintu pekarangan, juga pada pura. Setelah itu, lalu menyelenggarakan Ngenteg Makihis, dengen selamatan desa selama sebelas hari, dan jika ada orang Sudra mengambil istri dari wangsa Brahmana, keturunan Satriya, keturunan Wesya, itu perlu diberikan hukuman dihanyutkan pada air besar, pada bara api, jika masih hidup, dan berada di daerah itu hingga mempunyai anak, maka plasentanya dianggap menjadi api yang panas, hingga Negara kepanasan, tanaman tidak mampu tumbuh. Kemudian jika manusia itu mati, tidak boleh disucikan oleh pendeta yang berwenang menganugerahkan air suci Pangentas, jika dilanggar


9a. -/g. Atmah maka dinanda de Sanghyang yama, sang sadaka ika, yatika srega langeyehi prasada, nga, apan tan wenang pradana ngwasa purusa, purusa juga ngwasa pradana, purusa, nga, laki, pradana, nga, istri, saking laki juga wnang-wnang angalap, marmmanya tar wnang amurug, ta ampu kulun. Mwah naku, kangetakna glaring aksara, maring wong pjah, aja salah surup, apan sang sadaka wnang anglepas pitraning wong pjah, sang catur janma, den anuten wangsaning wwang, aja ngliwaring lewih ika wonganya, tan dadi sang sadaka tarwruhing sarira, pasukwet weng aksara, yoga samadi, upti stiti prelina, tkedaging genta, aksara mwang dewatanya, yan no/-

rohnya akan dihukum oleh Sanghyang Yama, begitu juga pendeta yang berani memberikan, jika seperti itu ibarat anjing kencing di tempat suci namanya, karena tidak benar Pradana menguasai Purusa, namun juga purusa menguasai pradana, ingatlah purusa berarti laki-laki dan pradana bearti perempuan, jadi dari pihak laki-laki yang berhak mengambil, itu sebabnya tidak boleh dilanggar. Hamba sangat memahami perintah paduka. Dan anakku, ingatlah kedudukan aksara suci pada orang yang meninggal, jangan salah menempatkannya, karena pendeta yang pantas melepas jiwa orang yang meninggal, begitu juga saudara empatnya, sesuaikan juga dengan asal keturunannya, jangan sampai melebihi atau menguranginya, karena pendeta tidak boleh tidak mengetahui akan dirinya sendiri, mengenai keluar masuknya aksara suci, sebagai Yoga Samadi, juga mencipta, memelihara dan melebur, juga memahami hakekat genta, aksara suci dan dewatanya, jika

9b. -/ra sang sadaka wruh, ring puter puteraning bajra paganta gantinya, aja angalap arta di daksina, tan wun dinanda de Sanghyang Yamadipati, linboking cambra gomuka, rug ikang rat, sendu Sanghyang Girinata, mreta atma wisya, bhuwana maharug, aja sing dipaning rat tan wruh ring dasa para martaning sang wiku. Naku Sang Siwa Sridanta, aja ngarepakna nagabanda, wnang kita naku bubuksah, yan kita murug inalap jiwanta de hyang taksaka, mwah rikalaning Sang Tara Bhumi wkasan, ageta wuren ri pangulunning bhuwana tiga, ndi pangulunya, tan waneh sagara danu ukir agung, yatika panguluning bhuwana. Ndah ka/-

tidak dipahami oleh pendeta mengenai cara penggunaan Bajra Gentanya, jangan mengambil uang pada daksina, tidak dapat dihindarkan ia dihukum oleh Sanghyang Yamadipati, ditenggelamkan pada kawah Cambra Gomuka, menjadi kacaulah dunia, oleh karena itu, sedih Sanghyang Girinata, air kehidupan berubah menjadi racun, dunia menjadi kacau, karena itu janganlah seorang pemimpin tidak mengetahui akan kewajiban pendeta. Anakku Sanghyang Siwa Sridanta, janganlah mengutamakan Naga Banda, hal ini adalah wewenangnya putraku Bubuksah, jika engkau melanggar, jiwamu akan diamil oleh Hyang Taksaka, dan ketika bumi mengalami mala petaka, segeralah membuat upacara di hulu ketiga dunia, diantaranya: di Samudera, Danau, dan Gunung, itulah hulunya dunia. Dan itu




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Dapatkan Dalam Versi Cetak
Baca Juga