Disamping pendekatan hakikat seperti disebutkan diatas, pendekatan lain seperti pendekatan filsafat tantra dapat digunakan. Melalui pendekatan tantra diuraikan bahwa antara alam dengan isinya termasuk manusia adalah berada dalam sumber yang suci yaitu Dewa sang pencipta yang juga disebut dengan maha sakti. Hubungan isi alam dan manusia dengan penciptanya adalah hubungan penyembah dan yang disembah yaitu yang disebut Dewa sebagai Sadguna brahman. Di alam ini manusia bersenang senang, bisa menikmati makanan, minuman, dan juga hubungan seks dalam suatu kesadaran tinggi . Hal ini dapat dilihat dari kutipan Heinrich Zimer dalam bukunya Philosophy of India (Sejaraf Filsafat India) , “ Dunia ini adalah sebuah rumah kebahagiaan besar, disini aku dapat makan, disini aku minum dan bersuka ria “ artha (kemakmuran, kama (nafsu indrawi) , dharma (ritual-ritual religius dan moral dalam kehidupan sehari hari dengan menerima semua beban kewajiban) dan moksa (pelepasan dari semuanya) adalah satu.
Selanjutnya dalam Tantrisme, sebagai sebuah wacana, menegaskan kesucian dan kemurnian segalanya; oleh karenanya, lima larangan (lima M demikian mereka menyebutnya) merupakan bahan makanan sakramen dalam ritus ritus tantric tertentu : anggur (madya), daging (mamsa), ikan (mattsya), butir-butir padi yang dibakar (mudra), dan hubungan seks (maithuna). ( Zimmer, 2003:550). Makan terhadap lima unsur – unsur tersebut berati melanggar larangan, melanggar larangan itu berarti dosa. Untuk menghidari dosa maka dilakukan persembahan unsur tersebut. Menikmati berlebihan dilarang, sebab menimbulkan efek tidak baik bagi kehidupan manusia, sehingga ada ukuran keseimbangan.
Karena manusia menikmati makan minum tersebut maka manusia berkewajiban menjaga, keharmonisan, kesucian, alam ini sebagai tempat manusia hidup. Untuk itu manusia wajib mempersembahkan apa yang dinikmati. Ketika menikmatan makanan dari butir butir padi yang dibakar merupakan simbol kehidupan ( pertiwi), minuman anggur (madya) sebagai simbol dari teja (panas) daya imajinasi, daging sebagai simbol kekuatan dan tenaga (bayu), ikan disimbolkan sebuah lautan (apah), hubungan sek dalam kesadaran tertinggi sebagai simbol ether (akasa). Ketika itu dinikmati oleh manusia menjadikan mereka memiliki daya dan kekuatan hidup yang disimbolkan sebagai kekuatan sek sebagai simbol Lingga. Sedangkan pertiwi yaitu alam semesta ini sebagai simbol Yoni. Dalam setiap ritual – ritual tantrik menjadikan hal tersebut butir- butir padi, daging, ikan , air, kesadaran tertinggi sebagai komponen ritual sekaligus simbol dalam setiap peribadatan tantrik klasik.
Dalam Panca Balikrama dengan menggunakan pendekatan tantrik beberapa komponen upakara menggunakan unsur – unsur tersebut, sesungguhnya sebagai esisiensi persembahan kepada bhuta sebagai wujud persembahan untuk pembersihan disebut Bhutasuddhi atau pembersihan (suddhi), lima unsur penyusun tubuh (bhuta ) (Zimmer, 2003: 561). Berdasarkan pendekatan tersebut sesungguhnya tawur Panca Balikrama adalah bentuk persembahan untuk penyucian alam (bhuwana agung dengan unsur panca mahabhutanya) dan badan (bhuwana alit), menjadi harmonisasi suatu kehidupan. Lebih lanjut, jika Panca Balikrama yang merupakan sebuah yadnya dapat dipahami melalui pendekatan hakikat pengertian fungsi ,tujuan dan maknanya.
Sudarsana (2009) mengupas pengertian Panca Balikrama dari kosa kata, yaitu Panca berarti lima, kata Bali adalah wali sebagai korban suci (wewalian), karma adalah tujuan keyakinan atau kehidupan. Berdasarkan atas kosa kata tersebut maka pengertian Panca Balikrama dimaksudkan adalah Upacara korban suci yang memiliki fungsi untuk menetralisir dan memelihara keharmonisan kekuatan Pancamahabhuta baik di bhuwana agung dan bhuwana alit agar keseimbangannya dapat selalu dijaga dan dilestarikan untuk dapat tercapainya ketentraman, kesejatraan didalam kehidupan masyarakat.
Dalam hubungan dengan korban, bila Panca Balikrama dilihat sebagai korban suci, dikaji dari pendekatan teori Evans-Pritchard dalam penelitian Neur Religion (1956) ( dalam Brian Morris, 244-248) yang berlatar belakang perzinahan dan pembunuhan memaparkan bahwa :
“ pengorbanan pada dasarnya merupakan ritus kesusahaan dan dilakukan untuk memenuhi tuntutan roh. Yang dilakukan demi kepentingan kolektif, khususnya sebagai bagian dari ritus perjalanan, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada dasarnya pengorbanan lebih berkaitan dengan dengan krisis moral dan sepritual dari pada pristiwa natural terkecuali jika peristiwa peristiwa tersebut mengintervensi kesejatraan manusia. Persembahan binatang kepada roh yang diidealnya berupa lembu jantan, penstabihan binatang, doa yang dilakukan oleh pemimpin upacara sambil memegang tombak, dan mengemukakan tujuan pengorbanan dan persoalan- persoalan yang berkaitan dengannya, terakhir dibunuh dan dikorbankannya objek pengorbanan., dia menulis bahwa kehidupan dan darah binatang korban oleh agama Neur (agama bumi) diyakini milik roh, sementara daging binatang korban itu diambil oleh mereka yang turut serta dalam upacara pengorbanan. Ritual dalam bentuk pengorbanan adalah sebuah bentuk penebusan dosa atas perbuatan.