- 1Isi Utama (Inti) Lontar Tutur Gong Besi
- 2Terjamahan Inti Lontar Tutur Gong Besi
- 3Keputusan Sanghyang Wimbayagni di Tutur Gong Besi
- 4Nanem, Ngaben dan Ngerorasin dalam Tutur Gong Besi
- 4..1Prosesi Nanem (Tata cara Menguburkan Jenazah)
- 4..2Prosesi Ngaben ( Kremasi ) dan Ngerorasin
- 4..1Waktu Pelaksanaan Upacara
- 4..1Yang Berhak Muput Upacara Pitra Yajna
- 4..2Proses Leluhur, dari Preta menjadi Dewa Pitara
- 5Perwatakan dalam Tutur Gong Besi (Wariga Cina)
- 5..1Perwatakan Sesuai Panca Gati
- 5..2Perwatakan Sesuai Sad Wara
- 5..3Perwatakan Sesuai Asta Wara
- 5..4Perwatakan Sesuai Sangha Wara
- 5..5Perwatakan Sesuai Wuku
- 6Baik Buruknya Wuku dalam Tutur Gong Besi
- 7Baik Buruknya Sifat sesuai Pawukon di Tutur Gong Besi
Gong Besi adalah termasuk lontar tutur yang besrifat Siwaistik. Lontar ini tergolong muda dan kemungkinan besar ditulis di Bali. Ditilik dari isinya, lontar ini isinya lebih dari satu, hal ini dapat dimengerti karena adanya kebiasaan dari para penyalin lontar memasukan beberapa materi dalam satu lontar. Pokok-pokok isinya dapat disampaikan sebagai berikut :
- Bagian yang berisi Tutur Gong Besi
Menyebutkan bahwasanya Bhatara Dalem patut dipuja dengan penuh bakti. Beliau dapat di-utpeti, stiti dan pralina. Untuk dapat memuja beliau secara tepat maka terlebih dahulu harus diketahui nama-nama lain dari beliau, karena beliau meiliki banyak nama sesuai dengan tempat yang ditempati beliau. - Bagian yang berisi “Keputusan”
Keputusan Sanghyang Wimbayagni. Keputusan ini diajarkan oleh Danghyang Dwijendra kepada Ida Manik Angkeran, terakhir kepada Dewa Sakti di Manoaba.Ilmu ini berguna untuk membakar racun dalam tubuh.Keputusan ini juga disebut Sanghyang Kutyagni.
Pangaradan Dewa atau disebut pula Pamatuh Ndewasraya. Ilmu ini berguna untuk menarik Dewa tertentu agar hadir memberikan anugrah. - Bagian yang berisi ajaran Sanghyang Dharmatattwa
Bahwasanya manusia memiliki dua aspek yaitu aspek sakala (nyata) dan aspek niskala (tidak nyata), yang menyebabkan manusia mengalami dua hal yang berbeda seperti baik-buruk, tidur-terjaga, hidup-mati, kesemuanya disertai dengan upacara.Upacara untuk orang hidup disebut “Pradhana Sakala” dan untuk orang mati disebut “Pradhana Niskala”.
Pengetahuan tentang sakala dan niskala sangat perlu bagi seorang Resi dalam menyelesaikan upacara ngaben.Ia harus bisa menghadirkan atma orang yang diaben, maka itu ia harus mengetahui keluar masuknya tujuh atma dalam badan, sebab kalau tidak demikian akan percumalah upacara tersebut. - Bagian yang mengandung ajaran wariga (Wariga Gemet)
Pada bagian ini disebutkan ada tiga tingkatan upacara yaitu ala, madhya, dan utama.Setiap upacara, apakah itu ala, madhya, dan utama tidak boleh lepas dari perhitungan hari baik yang harus dicari dalam Pncawara, Uku, Tanggal, dan Panglong dalam Wariga. Di sini juga diingatkan bahwa pada setiap akhir pelaksanaan yajnya agar nasi yang digunakan untuk menyucikan dewasa itu disantap oleh yang punya yajna beserta seluruh anggota keluarga karena akan berpahala kerahayuan dan kebahagiaan. - Bagian yang berisi sederetan hari baik dan buruk.
x Hari baik atau buruk ditentukan berdasarkan perhitungan pertemuan antara Saptawara dengan Pancawara dan Uku.Hari tidak baik haruslah dihindari untuk melakukan suatu kegiatan atau upacara agama.
Nilai ketuhanan (brahma vidya atau teologi) yang terkandung dalam tutur gong besi tersirat dalam awal teks yang menegaskan bahwa umat manusia hendaknya memuja Bhatara Dalem. Yang dimaksudkan dengan Bhatara Dalem adalah Hyang Widhi Wasa, atau dalam bahasa Veda disebut dengan Brahman. Bila dalam masyarakat Hindu di India menyebutkan dengan gelar Bhagavan atau Prabhu, yang tiada lain adalah sebut Tuhan juga. Bagi umat di Bali sering dinamakan Sang Hyang Tunggal, yang tiada lain adalah Hyang Siwa atau juga disebut Sang Parama Kawi.
Nama lain dari Bhatara Dalem sesuai Tutur Gong Besi adalah Sang Hyang Triyo Dasa Sakti saat beliau bersthana di Pura Puseh. Disebut Sanghyang Tri Upasedhana jika Beliau bersthana di Pura Desa. Bila bersthana di Pura Baleagung bergelar Sanghyang Bhagawati. Besthana di perempatan jalan bergelar Sanghyang Catur Bhuwana, bergelar Sanghyang Sapuh Jagat saat berstana di pertigaan jalan, saat di kuburan bergelar Bhatara Durga, saat di tempat pembakaran atau pemurnian Beliau bergelar Sanghyang Bherawi, kemudian bersthana di hulu setra bergelar Sanghyang Mrapajati. Lalu saat di laut Beliau bergelar Sanghyang Mutering Bhuwana, saat ada di langit gelarnya Sanghyang Taskarapati, bila bersthana di gunung Agung bergelar Sanghyang Giriputri. Bila bersthana pada panti, penataran, sanggar, parahyangan gelarnya adalah Bhatara Guru. Lalu saat di gunung Lebah gelar Beliau adalah Deun Danu, kemudian sthananya saat di pancuran digelari Sang Gayatri, saat di jurang atau sungai bergelar Bhatari Gangga, saat di tegalan dan sawah Beliau Bhatara Uma, jika di lumbung Beliau Bhatari Sri, saat di bejana tempat beras (pulu) Beliau bergelar Sanghyang Tri Suci. Kemudian pada saat di dapur bergelar Sanghyang Pawitra Saraswati, lalu saat di periuk (tempat air, nasi dan ikan) Beliau disebut Sanghyang Tri Mrtha, lalu sthananya di Kamimitan bergelar Sanghyang Catur Bhoga, Sanghyang Tuduh, Sanghyang Tunggal (yang bisa berujud laki, perempuan, dan banci).
Jika Beliau bersthana di sanggar parahyangan bergelar Sanghyang Atma, pada kamulan sebelah kanan selalu ayah gelarnya Sanghyang Paratma pada kamulan sebelah kiri ibumu bergelar Sang Siwatma, pada kamulan tengah adalah dirinya (raganya) sebagai roh suci menjadi ayah, ibu dan dirinya kembali ke Bhatara Dalem bergelar Sanghyang Tunggal atau Sanghyang Parama Wisesa/Parama Kawi atau Bhatara Dalem Kawi. Jika sehat, sakit, hidup, dan mati berasal dari Bhatara Dalem. Dalam unsur alam berupa air, cahaya, udara dan ether Beliaulah berada bergelar Sanghyang Mutering Jagat. Keharmonisan dan ketidakharmonisan ini Beliaulah penyebabnya, makanya Beliau hendaknya dipuja umat manusia.
Nama Beliau (Tuhan) jika dalam pawukon sesuai Tutur Gong Besi juga beraneka nama atau sebutan, yakni saat wuku Sinta bergelar Sanghyang Yamadipati, Landep bergelar Sanghyang Mahadewa, Ukir bergelar Sanghyang Mahayukti, Kulantir bergelar Sanghyang Langsur, Tolu bergelar Sanghyang Bayu, Gumbreg bergelar Sanghyang Cakra, Wariga bergelar Sanghyang Semara, Warigadean bergelar Sanghyang Maha Resi, Julungwangi bergelar Sanghyang Sambhu, Sungsang bergelar Sanghyang Gana, Dunggulan bergelar Sanghyang Kamajaya, Kuningan bergelar Sanghyang Indra, Langkir bergelar Sanghyang Kala, Medangsia bergelar Sanghyang Brahma, Pujut bergelar Sanghyang Guretno, Pahang bergelar Sanghyang Tantra, Krulut bergelar Sanghyang Wisnu, Merakih bergelar Sanghyang Suranggana, Tanwir bergelar Sanghyang Siwa, Medangkungan bergelar Sanghyang Basuki, Matai bergelar Sanghyang Sakra, Uye bergelar Sanghyang Kuwera, Menail bergelar Sanghyang Citragatra, Perangbakat bergelar Sanghyang Bisma, Bala bergelar Sanghyang Bhatari Durga, Ugu bergelar Sanghyang Singajatma, Wayang bergelar Bhatari Sri, Kelawu bergelar Bhatara Sedhana, Dukut bergelar Sanghyang Agni, dan pada wuku Watugunung Beliau bergelar Sanghyang Anantabhoga dan Sanghyang Naga Gini.
Dalam Tutur Gong Besi juga mengandung nilai ajaran suci tentang persembahan atau ritual (yajna). Secara jelas disuratkan mengenai bagaimana melakukan persembahan terhadap pitara (pitam puja). Secara rinci ada disebutkan mengenai upacara ngarorasin, matuwun, mapegat, mukur yang tergolong upacara uttama terhadap pitara sesuai ucap sastra tutur gong besi, guna menuju jalan dan tempat utama dari sang atma yaitu bertemu Bhatara Dalem.
Selain itu juga dijelaskan mengenai upacara dewa yajna. Terutama melakukan pemujaan ke hadapan Bhatara Surya yang disebut Surya Sewana. Yang mana saat pemujaan itu tentunya mengikuti perjalanan arah matahari dan bulan menuju ke arah kebaikan yakni subhacara dan subhakara. Pemujaan ke hadapan Sang Hyang Surya merupakan pemujaan yang utama.
Yang lainnya, tentang padewasan (hari baik buruk dewasa/subhasubhacara) juga terkandung dalam tutur gong besi. Tentang hari baik untuk memuja pitara (pitra puja) dapat dipilih pada sasih karo dan katiga (pada bulan Agustus dan September serta sasih kalima (bulan November) termasuk sasih kanem dan kapitu (bulan Desember dan Januari) saat yang baik untuk melakukan pitra yajna, oleh karena pintunya yamaloka (sorganya Bhatara Yama terbuka).
Pada bagian lain juga dijelaskan tentang penjelasan wuku sesuai panca wara dan sapta wara maupun, penjelasan pawukon terkait dengan sifat manusia. Ajaran kelepasan berupa dharma tattwa, hatur kamulan, desa kroktah, sundari tiga, surya tiga, agar dipahami dengan baik.
Yang lainnya, tentang nilai spiritual (kalepasan/kajnanan) antara lain tentang keputusan sanghyang mimbayagni ajaran Resi Dwijendra kepada Manik Angkeran saat berbakti di Parahyangan Besakih. Dibicarakan juga ajaran panca geni (lima api) dalam badan. Yang tujuan untuk membakar habis racun dalam badan dengan mengucapkan mantra tertinggi yaitu Sanghyang Mantra Wisesa.
Selanjutnya juga diajarkan mengenai ilmu bagaimana untuk menarik para dewa, terutama pada hari Kamis, umanis, guru, wuku klawu, pada purnama kadasa, dan tilem pananggal 1, atau Jumat penanggal ke-4, 5, 9, 10, 13. Pada bagian lain juga diajarkan tentang hakikat manusia melalui ilmu yang disabdakan Sanghyang Dharmatattwa kepada Wiswakarma dan Yogiswara sebagai ajaran seluk beluk hidup dan mati, manusia dengan perwujudan sakala dan niskala, baik dan buruk, tidur dan terjaga, yang disertai dengan upacara suci lepas pusar, tiga bulanan, otonan, yang tergolong pradana sakala, serta upacara pebersihan setelah sebelas hari, ngaben, mukur, nyekah, ngeroras, matuun mensthanakan, yang tergolong pradana niskala (upacara terhadap orang yang telah meninggal). Juga ajaran kependetaan sebagai ajaran yang dianugerahkan oleh Sanghyang Suksmantara Wisesa.
Isi Utama (Inti) Lontar Tutur Gong Besi
1b. Iti tutur Gong Wsi. Iti tutur Gong Bsi, nga, wit Dalem Kawi, nga, kawruhakna denta dadi jatma ika wnang upti astiti praline, astiti baktine lewih, ng, tan lyan Bhatara Dalem, mu raga lewih, nyan astiti bakti, nanghing apang kawruhakna denta arane Bhatara Dalem, ida, nga, Sanghyang Tri Yodadasa Sakti, nga, sah saking Puseh, malinggih ida ring desa, Sanghyang Tri Upasdhana, nga, sah saking desa malinggih ida ring Bale Agung, Ida Sanghyang Bhagawati, nga, sah saking Bale Agung, malinggih ida ring Pempatan Agung, Ida Sanghyang Catur Bwana, nga, sah saking Pempatan Agung
2a. malinggih ida ring Patluwan, dadi ida Sanghyang Sapuh Jagat, nga, sah saking Patluwan, malinggih ida ring setra, dadi Ida Bhatara Durgha, nga, sah ida saking Setra Agung, malinggih ida ring Pamuunan, dadi ida Sanghyang Bherawi, nga, sah ida saking Pamuunan, malinggih ida ring Panguluning Setra, dadi Ida Sanghyang Mrajapati, nga, sah ida saking Panguluning Setra, malinggih ida ring Sagara, dadi Ida Sanghyang Mutering Bwana, nga, sah ida saking Sagara, malinggih ida ring Akasa, dadi Ida Sanghyang Taskarapati, Taskara, nga, Suryapati, nga, u, sah ida saking langit, malinggih ida ring
2b. Gunung Agung, dadi Ida Sanghyang Giriputri, nga, Ganaputra, nga, putra yatha putran Bhatara Guru, hana Sanggar Penataran, Panti, Paryasan kabeh, sakti ring paryangan, nga, sah ida saking Gunung Agung, malinggih ida ring jurang pangkung, lwah, dadi ida Bhatari Gangga, nga, sah ida saking pangkung tukad, malinggih ida ring gaga sawah, dadi Ida Bhatari ring Uma, nga, sah ida saking carik, malinggih ida ring jineng, dadi Ida Bhatari Sri, nga, sah saking jineng kalumpu, malinggih ring pantaraning pulu, dadi Ida Sanghyang Tri Suci, nga, sah saking Pulu, malinggih ida ring dapur, dadi Ida Sanghyang Pawitra, Saraswati
3a. nga, sah saking dapur, malinggih ida ring pawon ring kumba payuk, dadi Ida Sanghyang Tri Mertha, yeh, nasi, be, nga, sah ida saking payuk, malinggih ida ring Sanggar Kamimitan, ngaran aku Catur Bhoga, Aku maraga lanang, maraga wadon, maraga daki, dadi Aku manusa sawiji, ngaran Aku Sanghyang Tuduh, Sanghyang Tunggal, ring Sanggar Paryangan linggih nira, ngaran Ida Sanghyang Atma, rng kamulan tengen bapanta, nga, Sang Pratma ring Kamulan kiwa, ibunta, nga, Sang Siwatma ring Kamulan madya raganya, Susudatma dadi meme bapa, ragane mantuk ring Dalem, dadi Sanghyang Tunggal, nunggalang rasa, sa, nga, sakit, sa, nga, seger,
3b. sa, nga, sariranta, ya ta Pramawisesa, saking Dalem Kawi, seger, saking Dalem, gring saking Dalem urip saking Dalem pati saking Dalem sunya umantuk ring bayu sabda idep ring raganta, ala sabdan ta, idep bayu saking Dalem, yan ring apah teja bayu akasa, tan hana lewihan ring Dalem, apan Sanghyang Pamutring Jagat, nga, irika sangkanya mtu bedha ring Dalem, sangkan irika astiti upti praline, nga, Dalem, tlas katatwaning Dalem Kawi, pingitakna iki, arang sang pandita wruh ring katuturanya Gong Bsi, nora putus sang pandita, tapwan wruh ring katuturan Gong Bsi, nga, hana wang
4a. akti, roro nora wruh, alaksa sinunggal nora wruh, ring katuturan Gong Bsi, nga, iki rasanya uttama lewih pingit kawiting tutur, nga