Chanakya Niti Sastra – Ilmu Politik, Kepemimpinan dan Moralitas


Wanita pada masa Brahmacari

Masa Brahmacari adalah masa belajar, bisa juga dikatakan masa menuntut ilmu pengetahuan. Pada masa brahmacari hendaknya seseorang bisa mengendalikan indria-indrianya. Karena pada masa ini ujian yang dihadapi sangatlah besar, apabila kita tidak mampu menghadapi kita akan terjatuh. Seorang Brahmacari yang mampu mengendalikan dirinya (dari dorongan nafsu seks) dinyatakan memiliki kekuatan suci (cahaya) kedewataan (Titib, 1996:392). Dalam Atharvaveda XI.5.1 juga dikatakan bahwa semua dewata berdiam dalam diri seseorang Brahmacari.

Wanita ketika memasuki masa-masa brahmacari sama halnya dengan memasuki masa-masa yang rentan karena apabila benar dalam melangkah ia akan menjadi emas dan apabila salah melangkah ia akan menjadi sampah. Seperti pada fenomena dimasyarakat tentang pelecehan wanita. Dari sekian banyak kejadian mengatakan bahwa hal itu dikarenakan si wanita sendiri yang memancing dari kaum hidung belang. Seperti wanita yang berpakaian yang kurang sopan serta wanita yang berkata-kata jorok bisa memancing nafsu birahi dari laki-laki.

Dalam sastra dikatakan sesungguhnya wanita memiliki kelebihan dibandingkan laki-laki,

Canakya Niti Sastra, I.17:

“Strinam dviguna aharo Lajja capi calur-guna Sahasa sad-gunam caiva Kamas casta-gunah smrtah”

Terjemahan :

Wanita dibandingkan dengan lelaki dua kali lebih kuat nafsu makannya, empat kali lebih malu, enam kali lebih berani, dan hendaknya diingat bahwa nafsu kelaminnya delapan kali lebih kuat daripada lelaki (Dharmayasa, 1995: 8).

Dari uraian sastra diatas dapat disimpulkan bahwa wanita memiliki kelebihan dibandingkan laki-laki. Kelebihan wanita tersebut sangat jarang sekali diketahui oleh orang lain karena wanita sangat pandai menyembunyikan kelebihannya tersebut. Akan tetapi ketika wanita sudah lepas dari kontrol kesadaran ia akan memperlihatkan kelebihannya tersebut. Dibalik tubuh halus serta wajah yang polos dari wanita seseorang hendaknya dapat memahami tentang wanita tersebut diibaratkan seperti berada dalam air yang tenang namun bisa menghanyutkan.

Pepatah itu nampaknya cocok untuk mengungkapkan hakikat dari wanita, karena dibalik kelembutan dan sikap yang pemalu wanita juga memiliki keinginan bahkan lebih besar daripada lelaki. Wanita dikatakan  memiliki nafsu makan yang lebih besar daripada lelaki, hal ini ditunjukan ketika wanita dalam keadaan hamil atau sedang ngidam yang memiliki nafsu makan dua kali lebih besar dari laki-laki. Wanita empat kali lebih malu daripada laki-laki, ini dibuktikan ketika wanita lebih enggan untuk membuka rahasia tentang dirinya dibandingkan laki-laki yang lebih cenderung blak-blakan dalam berbicara.

Wanita dikatakan enam kali lebih berani daripada laki-laki, hal ini dibuktikan ketika seorang ibu yang rela melakukan apa saja demi menyelamatkan anaknya dari mara bahaya. Wanita juga dikatakan delapan kali lebih besar nafsu birahinya dibandingkan laki-laki, hal ini dibuktikan dari hasil penelitian ilmiah yang mengatakan bahwa nafsu wanita lebih besar daripada lelaki ketika dalam keadaan bercumbu. Walaupun dalam teori wanita memiliki keinginan yang lebih besar daripada laki-laki tetapi itu jarang sekali diketahui karena wanita sangat pandai menyimpan atau menyembunyikan keinginannya itu.

Maka dari itu diharapkan wanita hendaknya berbuat, berkata dan berpenampilan yang sewajarnya agar tidak menjadi bumerang dalam diri. Karena wanita sesungguhnya membawa nama baik diri sendiri dan keluarga. Apabila wanita tersebut bisa menempatkan diri maka ia dan keluarganya akan dihormati begitu juga sebaliknya apabila ia tidak bisa menempatkan diri maka ia dan keluarganya juga kurang dihormati.

Mengingat demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak wanita harus lebih rajin dari anak lelaki. Ia bangun pagi lebih awal, menyapu halaman, membersihkan piring, merebus air, menyediakan sarapan, mesaiban, memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah mengurus dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan, mebebantenan, menyama beraya, dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat dan agama.

Tanpa wanita seolah-olah kegiatan di dunia ini terhenti, sehingga seorang lelaki dewasa yang belum juga menikah dianggap suatu keanehan, kecuali memang niatnya melakukan berata “nyukla brahmacari” artinya tidak kawin seumur hidup seperti yang dilakukan oleh Maha Rsi Bisma dalam ephos Mahabharata, dengan tujuan tertentu, yaitu memberikan kesempatan kepada keturunan adik tirinya menduduki tahta kerajaan. Wanita Hindu juga dibelenggu oleh sederetan norma-norma yang lebih ketat sehingga membedakan perilakunya di masyarakat dengan kaimi lelaki. Pada beberapa hal ia tidak boleh melakukan hal yang sama seperti laki-laki. Baru zaman sekarang saja wanita “dibolehkan” memakai celana panjang, menyetir mobil, pergi ke mana-mana sendirian, berbicara bebas, dll.

Itu semua sebagai dampak pengaruh budaya dari “luar” Hindu. Di beberapa negara yang masih ketat melaksanakan norma-norma Hindu, wanita masih  berlaku demikian, misalnya di India dan Nepal. Di sana malah ada yang masih

menutupi wajahnya dengan cadar, dan sangat tabu memakai pakaian yang menampakkan aurat walau seminimal mungkin. Wanita Hindu Nusantara di masa kini dan di masa depan tentulah tidak boleh ketinggalan dari kaum lelaki dalam menempuh karir dan pendidikan serta menyelenggarakan kehidupan sebagaimana mestinya.

Persoalannya adalah bagaimana menempatkan diri secara bijaksana, sehingga peranan semula sebagai “pengamal Dharma” dalam rumah tangga tetap dapat dipertahankan sesuai dengan ayat-ayat Kitab Suci Veda seperti yang dikemukakan tadi. Berbagai upaya mesti dirancang dengan baik oleh ibu-ibu rumah tangga sejak awal, mendidik anak-anak gadisnya, membesarkan dalam nuansa Hindu, dan akhirnya ketika gadis, sudah siap menjadi pengamal Dharma atau dengan kata lain, matang untuk menjadi istri atau pendamping suami yang baik.


Sumber :

Drs. I Wayan Darna, M.Pd.



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga