- 1Komplek Pura di Besakih
- 1.1Jenis Pura Yang Berada Di Luhuring Ambal-Ambal Pada Komplek Pura Besakih
- 1.1.11. Pura Kiduling Kreteg
- 1.1.12. Pura Batu Madeg
- 1.1.13. Pura Gelap
- 1.1.14. Pura Penataran Agung
- 1.1.25. Pura Peninjoan
- 1.1.16. Pura Pengubengan
- 1.1.17. Bentuk Pura Tirtha
- 1.1Fungsi Pura Yang Berada Di Luhuring Ambal-Ambal Pada Komplek Pura Besakih
- 1.1.11. Fungsi Pura Kiduling Kreteg
- 1.1.12. Fungsi Pura Batu Madeg
- 1.1.13. Fungsi Pura Gelap
- 1.1.14. Fungsi Pura Penataran Agung Besakih
- 1.1.15. Fungsi Pura Peninjoan
- 1.1.16. Fungsi Pura Pengubengan
- 1.1.17. Fungsi Pura Tirtha
- 1.1Makna Pura Yang Berada Di Luhuring Ambal-Ambal Pada Komplek Pura Besakih
- 1.1.11. Makna Pura Kiduling Kreteg
- 1.1.12. Makna Pura Batu Madeg
- 1.1.13. Makna Pura Gelap
- 1.1.14. Makna Pura Penataran Agung Besakih
- 1.1.15. Makna Pura Peninjoan
- 1.1.16. Makna Pura Tirtha
Fungsi Pura Yang Berada Di Luhuring Ambal-Ambal Pada Komplek Pura Besakih
Secara umum setiap pura di Bali memiliki fungsi sebagai tempat suci untuk memuja Tuhan. Memuja Tuhan bagi umat Hindu adalah salah satu bentuk bhakti umat Hindu kepada Tuhan. Jalan bhakti adalah jalan yang paling mudah dilakukan umat Hindu, dan jalan bhakti tersebut dapat diwujudkan dengan beragam cara, akan tetapi esensi dari bhakti adalah memuja Tuhan yang satu dengan cinta kasih universal, tulus dan iklas.
Salah satu mantram yang disebutkan dalam Isa Upanisad tersebut memberikan pehaman, bahwa Tuhan ada dalam segalanya. Namun, Tuhan yang berada dalam segalnya tidak serta merta umat tidak membutuhkan tempat suci untuk memuja Tuhan. Menurut Wiana (2009: 5-6), menyebutkan bahwa Tuhan memang berada dimana-mana, akan tetapi berbakti kepada tuhan yang dilakukan dengan cara lahir dan batin atau wahya dyatmika adalah perlu, terlebih melakukan bhakti secara bersama-sama membutuhkan sekali tempat khusus, yakni tempat sucia tau pura. Berbakti kepada Tuhan secara wahya dyatmika adalah penting, dan berbakti kepada Tuhan tidak saja memalui dimensi batin atau secara individual. Penting juga melakukan bhakti dengan cara lahiriah, yakni melakukan bhakti kolektif . Untuk melakukan bhakti secara kolektif, tempat suci atau pura sangat dibutuhkan.
Berdasarkan pada hal tersebut, umat Hindu di dalam memuja Tuhan melalui bhakti mendirikan tempat suci berupa Pura. Secara umum ada dua fungsi utama pura, yaitu Pura Dewa Pratistha, yaitu memuja Tuhan sebagai jiwa alam semesta yang disebut dengan Bhuwana Agung (macrocosmos) dengan segala aspek kemahakuasaan-Nya. Fungsi utama yang kedua, yaitu pura sebagai Atma Pratistha. Pura sebagai Atma Pratistha, yaitu pura dalam fungsinya sebagai jiwa yang suci dari makhluk hidup seperti manusia yang disebut dengan Bhuwana Alit (microcosmos). Demikian pula fungsi pura yang berada di Luhuring Ambal-Ambal pada komplek pura Besakih memiliki fungsi sebagai Dewa Pratistha dan Atma Pratistha. Berikut akan dideskripsikan fungsi masing-masing pura, sehingga mendapat pemhaman yang kompernsif holistik fungsi pura yang berada di Luhuring Ambal-Ambal pada komplek pura Besakih.
1. Fungsi Pura Kiduling Kreteg
Pura Kidulung Kreteg merupakan salah satu bagian pura yang termasuk dalam pura Luhiring Ambal- Ambal. Pura Kiduling Kreteg berada di arah selatan Pura Penataran Agung Besakih. Pura Kiduling Kreteg sesuai dengan namanya Kiduling Kreteg, yaitu kompleks pura yang berada di selatan jembatan, sebagaimana menurut Wiana (2009: 132), Pura Kiduling Kreteg persis berada disebelah jembatan Pura Penataran Agung Besakih sebagai pusat kompleks keseluruhan pura.
Menurut penuturan Jero Mangku Suyasa (Wawancara, 6 September 2012), Pura Kiduling Kreteg termasuk atau tergolong pura Catur Dala, yaitu pura sebagai media untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa Brahma. Hal itu diungkap pula oleh Wiana (2009: 132), bahwa Pura Kiduling Kreteg merupakan pura yang digolongkan sebagai pura Catur Dala, dan berfungsi untuk memuja Tuhan yang termanifestasi sebagai Dewa Brahma. Tuhan yang sudah berada dalam tatanan sagunam, menurut Donder (2010: 114), yakni Tuhan yang sudah berada dalam wujud, dapat dibayangkan oleh pikiran, dan termanifestasi menjadi berbagai dewa yang memiliki fungsi masing- masing.
Dewa Brahma dalam konsep Tri Murti memiliki fungsi sebagai dewa pencipta alam semesta beserta isinya, dan dewanya api yang berkobar dari bawah menuju ke atas. Dalam penggambaran Dewa Hindu, Dewa Brahma merupakan salah satu menifes Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dengan sakti Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahauan. Sebagaimana uraian Titib (2003: 189) menyebutkan, bahwa dalam Veda yang dominan dipuja adalah Dewa Agni, Indra, Vayu dan Surya. Demikian pula dalam kitab Purana, dalam kitab Itihasa, keempat dewa tersebut sangat populer, dan pada akhirnya kedudukan dari keempat dewa tersebut digantikan oleh Tri Murti. Agni diidentifikasikan sebagai Dewa Brahma, Indra dan Wayu digantikan oleh Wisnu dan Surya digantikan oleh Siwa.
Menurut Zimmer, sebagaimana dikutip oleh Titib (2003: 190), menguraikan bahwa mitologi tentang Dewa Brahma muncul pertama kali dan berkembang pada jaman Brahmana. Dewa Brahma dianggap sebagai perwujudan dari Brahman, jiwa tertinggi yang abadi dan muncul dengan sendirinya. Dalam susastra Veda terutama kitab Purana banyak menyebutkan bahwa sebelum dunia masih diselubungi oleh kegelapan, dan belum tercipta apa pun. Tuhan menciptakan dengan keinginan-Nya. Yang pertama diciptakan adalah air, kemudian menyebarkan benih, dan muncul telur emas yang bersinar seperti matahari. Dari telur inilah dewa Brahma Lahir yang merupakan perwujudan dari Sang Pancipta itu sendiri (Debroy, 2001: 9). Selain dalam Purana, Dewa Brahma lahir dari telur emas dapat di temukan dalam kitab Manawadharmasastra, dengan kutipan sloka sebagai berikut:
Tad andam adbhavad haiman Sahasramsusamaprabham, Tasmin jajna svayam Brahma Sarva loka pita mahah.
(Manavadharmasastra I. 9)
Terjemahan:
Benih menjadi telur alam semesta yang mahasuci, cemerlang laksana jutaan sinar. Dari dalam telur itu Ia menjadikan dirinya sendiri menjadi Brahma, pencipta cikal bakal jagat raya (Pudja, 2010: 10).
Keagungan Dewa Brahma sebagai pencipta tertuang pula dalam kitab Upanisad, yakni dalam Mundaka Upnaisad. Mundaka Upanisad menyebutkan Dewa Brahma sebagai dewa yang paling utama, dan terkemuka diantara semua Devata, pencipta alam semesta dan sebagai pelindung dunia. Untuk lebih jelasnya berikut akan dikutipkan mantram dari Mundaka Upanisad, yaitu:
Brahma devanam prathamah sambhuva vivasya karta bhuvanasya gopta.
Sa Brahma vidyam sarva-vidya-pratistham atharvaya jyestha putraya praha.
(Mundaka Upnaisad, I.1)
Terjemahan:
Brahma muncul sebagai yang paling utama diantara devata, pencipta alam semesta, pelindung dunia. Dia mengajarkan pengetahuan tentang Brahman, kepada putranya yang tertua, Atharvan (Radhakrisnan, 2010: 525).
Untaian mantram dalam Mundaka Upanisad tersebut, menyebutkan keagungan Dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta, paling utama diantara Devata. Demikian pula, Dewa Brahma yang mengajarkan pengetahuan tentang Tuhan kepada umat manusia. Dalam Visnu Purana I.4.2 juga menyebutkan hal yang hampir sama dengan yang dinyatakan dalam kitab Mundaka Upanisad, yaitu Dewa Brahma sebagai pencipta semua makhluk diseluruh jagat raya, dan Dewa Brahma dinyatakan pula sebagai Prajapati, nenek moyang semua makhluk, baik yang eksis maupun non eksis.
Dewa Brahma tidak saja diagungkan dalam kitab Purana, tetapi juga dalam kitab Upanisad, sehingga dewa Brahma sangat layak mendapat penghormatan oleh seluruh umat Hindu dengan memuja dan sujud bhakti. Keagungan Dewa Brahma digambarkan dalam pustaka suci Veda, sehingga Dewa Brahma disthanakan di Pura Kiduling Kreteg, untuk dipuja sebagai dewa yang memiliki fungsi sebagai pencipta alam semesta beserta isinya. Pura Kiduling Kreteg sebagai sthana atau linggih dewa Brahma, masih banyak umat Hindu yang belum mengetahui. Kendatipun ada yang mengetahui, akan tetapi fungsi Dewa Brahma sendiri sebagai pencipta alam semesta beserta isinya masih banyak umat Hindu yang belum memahami.
Umat Hindu memuja Dewa Brahma di pura Kiduling Kreteg adalah sebagai sebuah bentuk wujud bhakti agar dewa Brahma berkenan memberikan segala anugrah dan tuntunan agar tetap manusia dapat memiliki semangat untuk berkreasi mewujudkan kebenaran, kesucian dan keharmoniasan. Kesan yang harus dimunculkan ketika umat melakukan pemujaan kepada Dewa Brahma di Pura Kiduling Kreteg adalah kesan untuk menumbuhkan semangat dalam diri untuk bekerja atau bertindak untuk mewujudkan satyam (kebenaran), sivam (kesucian) dan sundaram (keindahan). Semangat yang tinggi berkobar bagaikan api yang menyala, bergerak dari bawah menuju ke atas, dan penguasa api dalam keyakinan Hindu adalah Dewa Brahma. Sejalan dengan itu Wiana (2009), menguraikan bahwa api adalah dewa Brahma yang dalam kenyataanya selalu berkobar dari bawah ke atas. Ini kenyataan alam, dan hendaknya memberikan kekutan daya cipta kepada umat manusia untuk terus menerus berkreasi. Kekuatan ini disebut dengan aiswarya yang memberikan dorongan umat manusia untuk selalu meningkatkan diri menuju yang lebih baik.
Pura Kiduling Kreteg juga memiliki fungsi pendidikan Teologi dan Filsafat. Teologi menurut Donder (2009: 1) adalah ilmu tentang Tuhan, dan dalam Hindu disebut dengan Brahmavidya. Brahmavidya sendiri menurut Pudja (1999: 3), yakni ilmu tentang Tuhan. Jadi, baik teologi maupun Brahmavidya memiliki pengertian yang sama, yaitu suatu ilmu tentang Tuhan. Sedangkan filsafat, menurut Donder (2010: 2), yakni berasal dari bahasa Yunani, yaitu cinta akan kebijaksanaan. Pendidikan tentang ilmu ketuhanan pada pura Kiduling Kreteg dapat dipahami dari dewa yang dipuja atau disthanakan, yaitu Dewa Brahma. Dalam teologi Hindu atau Brahmavidya, Dewa Brahma adalah salah satu dewa bagian dari Tri Murti atau trinitas Hindu. Demikian pula di utama mandala terdapat berbagai pelinggih sebagai linggih dari Ida Bethara dan Bethari serta dewa- dewi sebagai manifestasi dari Tuhan. Memuja banyak dewa, tidak serta merta Hindu menganut paham ketuhanan polytheisme. Umat Hindu tetap memuja Tuhan yang satu, akan tetapi termanifestasi menjadi banyak dewa yang memiliki fungsi masing-masing. Analoginya adalah seperti Matahari dengan ribuan sinar yang memancar. Mantram Veda berikut memberikan pemahaman yang jelas tentang konsep Dewa-Dewi Hindu.
Indram mitram varunam agnim ahur, Atho divyah sa suparno garutman,
Ekam sadvipra bahudha vadanti, Agnim yaman matarisvanam ahuh.
(Rgveda. I.64.46)
Terjemahan:
Mereka menyebutnya dengan Indra, Mitra, Varunam dan Agni, Ia yang bersayap keemasan Garuda, Ia adalah Esa, para maharsi (vipra atau bijaksana) memberi banyak nama, mereka menyebutnya Indra, Yama, Matarisvanam (Titib, 1996: 100).
Pura Kiduling Kreteg dapat pula difungsikan sebagai media pendidikan filsafat, karena di Pura Kiduling Kreteg banyak ragam bentuk simbol suci yang digunakan baik pada bangunan fisik maupun sarana dan prasarana ritual. Kesemuanya itu memunculkan nilai filsafati yang dapat dimaknai dan diterjemahkan. Bangunana fisik berupa pelinggih dan bangunan bale padanya pula terkandung beragam nilai pilosofis yang dapat digali dan dimaknai, demikian pula saran upacara yajña sudah tentu terdapat beragam simbol yang memiliki makna didalamnya. Berdasarkan pada hal itu, pura Kiduling Kreteg merupakan pura yang dapat difungsikan sebagai media pendidikan teologi dan filsafat.
Keberadaan pura Kiduling Kreteg yang difungsikan untuk media memuja dewa Brahma seyogyanya umat memahami dengan baik, dan mendapatkan kesan dari pemujaan tersebut, sehingga mewujudkan manusia yang lebih agamais dan religius. Selain itu, pemujaan dewa Brahma di Pura Kiduling Kreteg memiliki tujuan yang fundamental, yaitu untuk menuntun umat Hindu agar senantiasa mengembangkan daya kreatifitas dalam mewujudkan kebenaran Veda dalam kehidupan individual dan sosial. Hal ini sangat penting dipahami untuk mewujudkan kehidupan yang seimbang.
Mewujudkan kebenaran Veda dalam kehidupan sosial terkait dengan fungsi Pura Kiduling Kreteg sebagai media untuk membangun hubungan harmonis antar sesama umat Hindu. Bagaimana pun beragama secara komunal atau sosial tidak dapat dipisahkan dari peri kehidupan umat Hindu. Visi Veda sudah jelas juga mengungkapkan, bahwa kehidupan dalam ruang lingkup sosial sangat penting. Oleh karena itu, fungsi sosial dari pura Kiduling Kreteg adalah untuk membangun harmoni dan kesatuan padangan antar umat, sehingga tidak ada lagi permusuhan, terlebih kebencian. Visi Veda tersebut tertuang dalam mahavakya (kalimat agung) kitab Upanisad. Dalam mahavakya tersebut dinyatkan tentang; Atman Brahman Aikyam yang berarti segalanya adalah Tuhan, karena itu Aham Brahma Asmi yang berarti aku adalah Tuhan, karena itu Tat Tvam Asi yang berarti engkau adalah Tuhan, karena itu Sarvam Brahmam Mayam yang berarti segalanya adalah Brahman.
Mahavakyam yang merupakan visi Veda tersebut hendaknya dapat dibangun dalam diri, sehingga berimplikasi pada terwujudnya harmonisasi antar sesama. Pura Kiduling Kreteg sebagai tempat memuja Dewa Brahma dapatlah dijadikan media membangkitkan daya kreatifitas guna mengaplikasikan visi Veda guna membangun sisitem sosial yang lebih baik, dan mebangun masyarakat yang terhormat, sebagaimana Rgveda dalam salah satu mantram menyebutkan sebagai berikut:
Indram vardhanto apturah Krnvanto visvam aryam Apaghnanto aravnah
(Rgveda IX. 63.5)
Terjemahan:
Semoga semua dari anda menjadi giat, aktif dan bajik. Buatlah seluruh masyarakat menjadi mulia dan hancurkanlah orang-orang yang kikir (Titib, 1996: 425).
Pura Kiduling Kreteg sebagai fungsi sosial, dapat dilihat dari setiap piodalan yang dilaksanakan di pura tersebut. Menurut Jero Mangku di Pura Kiduling Kreteg (Wawancara, 6 September), menguraikan bahwa piodalan di Pura Kiduling Kreteg setiap Anggara Wage Wuku Dungulan atau setiap Penampahan Galungan. Penyelenggara piodalan di Pura Kiduling Kreteg ini menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem. Secara implisit disebutkan bahwa setiap piodalan atau wali, terdapat upacara penting yang dilakukan yang disebut dengan Aci Penyaeb Brahma. Upacara Aci Panyaeb Brahma ini dilangsungkan setiap purnama sasih kaenem sekitar bulan Desember. Pada saat dilangsungkan upacara tersebut, masyarakat, pamedek atau umat Hindu berdatangan menghanturkan bhakti sekaligus melakukan ngayah bersama.
Kesan yang nampak pada saat ngayah adalah adanya interaksi sosial antara sesama umat. Sebagimana secara elementer fungsi pura selain sebagai Dewa Pratistha, pura juga difungsikan sebagai Atma Pratistha yang diejawantahkan dalam bentuk pola interaksi umat di dalam melakukan ngayah. Demikian pula, pura tidak saja sebagai bukti identias umat Hindu dan tempat pemujaan, pura juga memiliki fungsi untuk berkumpul antar umat dan pengembangan umat melalui media pendidikan. Sebagaimana menurut Mandrasuta (2006: 4), menguraikan bahwa pura dibangun adalah untuk tempat berkumpul warga atau umat Hindu untuk bedoa dan sembayang bersama,
demikian pula pura dibangun untuk umat dapat saling mengenal antar sesama umat yang pada akhirnya adalah saling menyayangi. Jadi, dengan demikian Pura Kiduling Kreteg memiliki fungsi sosial untuk membangun harmonisasi antar sesama umat Hindu.
Selain fungsi tersebut di atas, Pura Kiduling Kreteg memiliki fungsi estetika atau keindahan. Menurut Putra (2009: 5), bangunan pura di Bali merupakan tempat lahirnya karya seni yang hebat. Di pura Kiduling Kreteg ini pula terlahir karya seni yang eksotisisme, karya seni yang adiluhung. Diperhatikan struktur bangunan pura, mulai dari pelinggih pura atau bangunan pura yang notabene menggunakan arsitektur Bali dan ornamen khas Bali, sehingga pura Kiduling Kreteg memiliki daya keindahan yang tinggi.
Semua keindahan tersebut muncul dari cipta, rasa dan karsa manusia Bali yang terkenal memiliki daya kreatifitas yang sangat tinggi. Kekuatan itu muncul diyakini tidak terlepas dari peran Dewa Brahma sebagai penganugrah daya kreatifitas. Pendirian pura dilihat dari segi fungsi estetika, sudah barang tentu atas campur tangan para seniman yang melahirkan bentuk yang indah (sundaram), akan tetapi tidak mengkesampingkan nilai kesucian dan kebenaran.