Jenis dan Fungsi Pura di Komplek Besakih (Luhuring Ambal-Ambal)


3. Fungsi Pura Gelap

Pura Gelap termasuk pura Catur Dala atau pura Catur Loka Pala. Diperhatikan secara cermat, bahwasanya hampir semua pura di komplek  pura Besakih menggunakan nama yang khas lokal Bali. Demikian pula penamaan pura Gelap menggunakan ragam kata yang khas Bali. Namun, menurut  Wiana (2009: 126-127), dibalik nama lokal tersebut terdapat konsep universal, dan pemuka Hindu jaman dahulu menggunakan konsep berpikir universal akan tetapi berwujud pada prilaku yang lokal. Nama Pura Gelap sendiri berasal dari bahasa Bali Kuno yang berarti petir atau kilat dengan sinarnya yang putih menyilaukan.

Pura Gelap difungsikan untuk memuja Tuhan sebagai manifestasi sebagai Dewa Iswara. Dalam konsep dewata nawa sanga dan atau Siva Sidhanta, dewa Iswara adalah dewa pelindung arah timur alam semesta atau bhuwana agung, memiliki warna putih,  senjata Bajra atau Genta. Oleh karena pura ini sebagai media memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara, maka sangat tepat pura ini dinamakan pura Gelap, karena kata Gelap sendiri berarti sinar putih yang menyilaukan. Dengan kata lain, Iswara adalah dewanya sinar. Alam semesta beserta isinya dapat hidup, kerena adanya sinar matahari, oleh sebab itu Hinduisme meyakini bahwasanya sinar matahari yang tiada lain adalah Dewa Iswara wajib dipuja agar matahari selalu memancarkan sinar untuk kehidupan semesta.

Pustaka suci Veda sangat memuliakan sinar matahari, sebab sinar matahari adalah sumber energi kehidupan. Tumbuhan kendatipun sudah disiram dengan air, jika tidak terkena sinar matahari, tumbuhan akan mati. Sinar matahari sangat dibutuhkan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis, demikian pula makhluk  hidup sangat membutuhkan sinar matahari. Dunia ini akan mengalami kegelapan, jika sinar matahari tidak bersinar, karena itu Veda memberikan kemuliaan kepada sinar matahari, seperti pada mantram Rgveda berikut:

Aham rudrebhir vasubhih caramy Aham adityair uta visvadevaih, Aham mitravarunobha bibharmy Aham indraagni aham asvinobha.

(Rgveda,X.125.1)

Terjemahan:

Aku gerakan kekuatan alam menjadi tenaga dan kekayaan,   aku   bercahaya   menjadi   kekuatan yang cemerlang. Aku menyangga sumber kekuatan alam dalam wujud air dan cahaya. Aku adalah pusat energi, cahaya sebagai kehidupan yang datang  dari matahari, udara, api dan segala kekuatan alam yang berguna (Wiana, 2009: 126).

Bertumpu pada mantram dalam Rgveda tersebut, dapat dipahami bahwasanya cahaya atau sinar adalah sumber kekuatan alam, pusat energi dan sumber kehidupan bagi alam semesta dan isinya. Untuk dapat umat Hindu memberikan hormat sekaligus memuja sinar matahari sebagai sumber energi, maka Pura Gelap difungsikan sebagai media untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara, yaitu dewa sinar atau cahaya.

Banyak umat Hindu tidak memahami konsep atau fungsi dari keberadaan Pura Gelap. Terkadang Pura Gelap diidentikan dengan kata gelap dalam bahasa Indonesia. Terlebih bangunan fisik pura yang terbuat dari batu alam yang berwarna gelap. Sesugguhnya Pura Gelap adalah linggih atau sthana dari Dewa Iswara. Dalam konsep Siwa Tattwa di Bali, Iswara adalah dewa penguasa arah timur dengan atribut yang terdiri dari senjata Bajra, warna putih, aksara suci Bang dan atribut lainnya. Demikian juga dalam Siwa Tattwa, Iswara adalah dewa Siwa sendiri, seperti dinyatakan bahwa semua itu adalah Siwa dan Siwa semua itu. Pura Gelap difungsikan sebagai pemujaan kepada Dewa Iswara, yaitu Dewa Siwa sendiri yang termanifestasi sebagai dewa penguasa arah timur.

Tidak jauh berbeda dari Pura Kiduling Kreteg dan Pura Batu Madeg, pura Gelap juga dapat difungsikan sebagai media pendidikan teologi dan filsafat. Pura Gelap sebagai sthana atau linggih dari Dewa  Iswara, dan  Dewa Isvara  dalam  teologi  Siwa  Sindhanta  di Bali,

adalah penguasa arah timur. Dewa Iswara adalah manifes dari Tuhan Siwa sebagai penguasa alam Bhuwana Agung pada bagian timur untuk memberikan perlindungan dan menganugrahkan cahaya atau sinar kehidupan bagi manusia. Pura Gelap dilihat dari bangunan fisik dan sarana upakara yang digunakan pada saat piodalan menggunakan beragam simbol suci Hindu yang dibalik semua itu terkandung makna yang sangat dalam. Secara keseluruhan, pura tersebut dapat memeberikan pengetahuan kepada umat tentang beragam simbol suci yang ada dalam agama Hindu.

Pura Gelap sebagai bagian dari Luhuring Ambal- Ambal pura Besakih juga memiliki fungsi sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari aktifitas keumatan saat piodalan di pura Gelap, terlebih saat umat melakukan prosesi ritual yajña yang disebut dengan Aci Pangenteg Jagat. Menurut penuturan Jero Mangku Suyasa (Wawancara, 8 September 2012), menguraikan bahwa kompleks pura Besakih sendiri terdapat banyak prosesi yajña. Salah satunya ada yang disebut dengan Aci Nyatur yang diselenggarakan di empat pura Catur Dala. Salah satu prosesi upacara Aci Nyatur ini ada yang disebut dengan Aci Pangenteg Jagat. Upacara tersebut dilaksanakan setiap Purnama Sasih Karo, sekitar bulan Agustus. Lebih jauh diungkap oleh Jero Mangku, setiap melaksanakan prosesi upacara tersebut, banyak umat Hindu khususnya pengempon Pemerintah Daerah Klungkung berdatangan ngaturang ngayah.

 

Berdasarkan pada uraian Jero Mangku di atas, jika dilihat dari perspektif ilmu sosial, sudah tentu setiap piodalan atau naur Aci tersebut terjadi interaksi sosial di dalamnya. Robertson Smith  (dalam Koentjaraningrat,2002: 67) mengatakan bahwa, berkaitan dengan azas-azas religi dan agama pada umumnya, mengemukakan tiga gagasan penting antara lain ; (1) upacara merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus; (2) upacara religi atau agama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat;   dan (3) upacara religi atau agama yang dilakukan oleh manusia memanfaatkan bermacam persembahan. Dalam konteks ini, prosesi upacara Aci Pangenteg Jagat termasuk upacara religi atau agama yang mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.

Masyarakat Hindu yang ngaturang ayah atau sevanam pada saat piodalan atau masyarakat Hindu yang melakukan persembahyangan tidak akan dapat menghindarkan diri dari rasa solidaritas, kebersamaan dan kesatuan pandangan untuk bersama mewujudkan rasa bhakti umat terhadap Dewa Iswara yang bersthana di pura Gelap melalui prinsif ngayah. Melalui ngayah baik pada saat piodalan atau melakukan persembahyangan dan sejenisnya akan membangun rasa solidaritas dan kebersamaan antar sesama umat Hindu. Kebersamaan untuk mencapai persatuan dan kesatuan adalah visi dari Veda, seperti mantram Veda berikut:

Sam gacchadhvam sam vadahvam sam manamsi janatam,

Deva bhagam yatha purve samjanana upasate. Samano mantrah samitih samani  samanam manah saha cittam esam,

Samanam mantram abhi mantraye vah samanena vo havisa juhomi.

Samaniva akutih samana hrdayani vah Samanamastu vo mano yatha vah susahasati.

(Rgveda.X. 191. 2-4)

Terjemahan:

Adakanlah pertemuan; bergabunglah; agar engkau mencapai kesepakatan; seperti para dewa bersama- sama menikmati persembahan.

 

Capailah tujuan bersama, kesepakatan bersama; satu dalam pikiran, menuju satu tujuan. Aku canangkan suatu tujuan bersama bagi engkau sekalian; dan adakanlah pemujaan dengan persembahan bersama. Agar tujuanmu satu, dan seia sekata; agar pikiranmu satu sehingga engkau semua hidup bahagia bersama (Bose, 2000: 270-271).

Menilik mantram dalam Rgveda tersebut, dengan jelas Veda merekomendasaikan bahwa kebersamaan merupakan jalan untuk mencapai tujuan agar kebahagiaan dapat dituju. Mantram dalam Rgveda di atas juga menyiratkan bahwa kebersamaan adalah hal yang hendaknya di aplikasikan dalam kehidupan sosial, dan untuk mencapai kebersamaan tersebut, seyogyanya umat Hindu dapat berkumpul. Di pura Gelap pada saat piodalan, Naur Aci Pangenteg Jagat dan prosesi upacara lainnya adalah tempat warga atau umat Hindu berkumpul dari segala lapisan, sehingga dengan demikian keberadaan pura Gelap memiliki  fungsi sebagai pemersatu masyarakat sosial. Dengan kata lain, pura Gelap memiliki fungsi sosial untuk membangun solidaritas umat Hindu, seperti yang diamanatkan dalam Veda.

Pura Gelap tidak saja difungsikan sebagai fungsi religius, teologis, filsafat dan sosial, akan tetapi pura Gelap dapat pula difungsikan sebagai fungsi estetika atau keindahan. Hal tersebut dapat dilihat dari wujud fisik pura dan aktifitas seni yang dipentaskan saat piodalan berlangsung. Bagunan fisik pura yang indah dan megah sudah pasti lahir dari daya kreatifitas orang Bali, dan tangan seni orang Bali. Demikian juga, setiap piodalan berlangsung, seni dan budaya tidak dapat dipisahkan, dan kesmuanya itu dijiwai oleh Hindu itu sendiri.


Sumber

Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M. Si

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan (KDT)



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Blog Terkait