Chanakya Niti Sastra – Ilmu Politik, Kepemimpinan dan Moralitas


Tugas seorang Putra

Seorang putra ataupun putri yang dilahirkan dalam keluarga tentu akan melewati empat tahapan yang sering disebut Catur Asrama.

“Takitakining sewaka guna widya, smarawisaya ritang puluhing ayuaya, tengahi tuuh sanwacana gegenta, patilaringatmeng tanu paguroaken”.

Kakawin Niti Sastra, V.I

Terjemahan:

Bersiap sedialah selalu mengabdi pada ilmu pengetahuan yang berguna. Hal yang menyangkut asmara barulah di perbolehkan setelah berumur dua puluh tahun. Setelah berusia setengah umur menjadi penasehatlah pegangannya. Setelah itu hanya memikirkan lepasnya atma yang menjadi perhatian.

Pada sloka tersebut dikatakan bahwa seseorang hendaknya melewati empat tahapan hidup atau disebut dengan Catur Asrama. Pada seorang putra yang belum menikah dikatakan berada dalam masa Brahmacari yaitu masa menuntut ilmu. Ketika sudah umur dua puluh tahun sudah diperbolehkan untuk memasuki masa Grahasta (berumah tangga). Setelah berusia setengah umur hendaknya menjadi penasehat atau menjadi berbuat Yajna. Setelah itu hendaknya memikirkan tentang pelapasan Atma (roh) agar mendapatkan pembebasan. Ketika memasuki masa Brahmacari hendaknya memusatkan pikiran sepenuhnya pada ilmu pengetahuan agar ilmu yang didapat hasilnya sempurna.

Kamum krodham tatha lobham Svadam srnggara kautukam Ati nidrati seva ca

Vidyarthi hyasta varjayet

Canakya Niti Sastra, XV. 10

Terjemahan:

Seorang Brahmacari/pelajar kerohanian hendaknya meninggalkan delapan kecendrungan berikut: yaitu hawa nafsu, amarah, loba, kenikmatan lidah, rasa cenderung berhias, bermain-main, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak bekerja.

Dikatakan bahwa seorang ketika memasuki masa Brahmacari jangan sampai terjerumus dalam hawa nafsu, amarah, loba, kenikmatan lidah, keinginan untuk berhias, bermain-main, terlalu banyak tidur, dan terlalu banyak bekerja. Karena orang seperti itu akan susah mendapatkan ilmu pengetahuan. Hendaknya seseorang bisa menahan godaan tersebut agar bisa mencapai pengetahuan yang berguna.

Dalam memasuki masa Brahmacari seorang putra hendaknya tidak melupakan tugas atau swadharma sebagai seorang anak. Swadharma seorang anak adalah menghormati, membantu orang tua dan menjaga nama baik dari orang tua. Seorang putra juga hendaknya mengetahui bahwa orang tua juga merupakan seorang guru yang harus dihormati dan diikuti perintahnya. Orang tua disebut juga dengan guru rupaka yakni guru yang mengajarkan dan sekaligus membesarkan kita dirumah. Alangkah tak bergunanya seorang anak yang memiliki pengetahuan yang tinggi akan tetapi mengabaikan orang tuanya sendiri. Peranan seorang putra dalam keluarga sangatlah penting dan putra juga sebagai penopang nama keluarga. Seperti yang tertera pada sloka dibawah ini:

Ekenapi suvrksena Puspitena sugandhita Vasitam tadvanam sarvam Suputrena kulam yatha

Canakya Niti Sastra, III. 14

Terjemahan:

Seluruh hutan akan menjadi wangi hanya karena ada sebuah pohon dengan bunga indah dan harum semerbak, begitu juga halnya kalau didalam keluarga terhadap seorang anak yang suputra (anak yang berbhakti).

Ekena suska-vrksena Dahyamanena vahnina Dahyate tadvanam sarvam Kuputrena kulam yatha

Canakya Niti Sastra, III. 15

Terjemahan:

Seluruh hutan terbakar hangus hanya karena satu pohon kering yang terbakar, begitulah seorang anak yang kuputra menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga.

Pada sloka diatas jelas dikatakan bahwa seorang putra bisa mempengaruhi nama baik keluarga apabila seorang anak berkelakuan baik. Bisa juga sebagai penghancur keluarga apabila seorang putra berkelakuan kurang baik. Masa depan keluarga juga tergantung dari putra yang dilahirkan dalam keluarga tersebut. Semua keluarga tentu ingin agar nama keluarganya terangkat dan terpuji. Maka dari itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang putra yang mengangkat nama baik keluarga dan tidak sebagai aib dalam keluarga.

Seorang anak juga berkewajiban membayar hutang kepada ayah dan ibu yang melahirkan dan membesarkan kita. Hutang yang kita miliki sudah ada ketika kita baru dilahirkan di dunia ini. Hutang yang dimiliki bukan hanya hutang materi melainkan juga hutang karma dan kasih sayang. Jadi itu semua tidak akan bisa dibayarkan oleh seluruh emas yang ada di jagad raya ini. Hutang yang  dimiliki hanya bisa ditebus dengan selalu berbhakti kepada orang tua dan membuat mereka merasa bahagia. Selain itu untuk membayar hutang pada orang tua juga pada saat mereka sudah meninggal, dan seorang putralah yang berkewajiban mengantarkan beliau sampai diperistirahatan terakhir (pengabenan). Tidak sedikit orang yang rela mengorbankan seluruh hartanya untuk membayar hutang pada orang tua dengan cara membakar hartanya pada saat upacara pengabenan orang tuanya. Sering muncul pertanyaan apakah kita harus menunggu orang tua meninggal baru kita bisa membayar hutang?

Sebenamya membayar hutang pada orang tua tidak harus dengan cara membuat acara pengabenan yang mewah, atau juga dengan membakar harta benda pada saat pengabenan. Akan tetapi juga bisa dengan cara mebayarnya ketika beliau masih hidup yaitu dengan cara berbhakti, mcnghormati serta membahagiakan keluarga. Bukankah sebaiknya kita membahagiakan orang tua selagi kita bisa bernafas dan selagi mereka masih hidup?, dari pada menangisi mereka pada saat mereka sudah tiada? Ataupun kita tidak bisa membayarnya sama sekali karena kita yang lebih dulu tiada? Semua itu kita sendiri yang memilih untuk menjalani dan melakukannya.


Sumber :

Drs. I Wayan Darna, M.Pd.



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga