Chanakya Niti Sastra – Ilmu Politik, Kepemimpinan dan Moralitas


NITI SASTRA DALAM MASYARAKAT

Jika melihat dari pengertian Niti Sastra diatas yaitu suatu ilmu pengetahuan tentang moralitas yang mengajarkan tentang bagaimana mendidik, membimbing, memimpin, bertingkahlaku serta menjalani kehidupan berdasarkah Dharma atau kebenaran maka di masyarakatpun hendaknya ajaran ini bisa diterapkan. Penerapan ajaran Niti Sastra dimasyarakat sudah ada sejak zaman dahulu meski belum diketahui sesungguhnya itu merupakan ajaran Niti Sastra.

Karena pada masyarakat terdiri dari banyak keluarga dan memiliki pola pikir yang berbeda maka agak susah untuk menerapkan ajaran sastra kecuali mereka yang mengerti tentang makna sastra. Tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa untuk apa mempelajari sastra? Apakah orang lapar bisa makan sastra?

Pertanyaan diatas sering muncul karena mereka belum mengerti dan selalu berpikir bekerja untuk mendapatkan hasil. Ajaran Niti Sastra di masyarakat sudah ada sejak zaman dahulu seperti ajaran kepemimpinan, pendidikan, moralitas, serta bhakti itu termasuk ajaran Niti Sastra.

Seperti contoh dari ajaran moralitas yaitu tidak boleh menyentuh atau menunjuk seseorang dengan menggunakan kaki. Dalam ajaran Niti Sastra Sargah VII, sloka 6 juga dikatakan “jangan menyentuh semua ini dengan kaki, yaitu: Agni/api, Brahmana, guru, sapi, gadis, anak kecil, dan orang tua”. Sloka diatas mengandung ajaran etika dan sopan santun dimasyarakat bahwa menunjuk atau menuding dengan kaki itu adalah perbuatan yang kurang baik apalagi menuding orang yang suci.

Pada kehidupan di masyarakat terdapat banyak sekali orang yang memiliki sifat-sifat yang berbeda, ada yang bersifat baik ada juga yang bersifat kurang baik. Semua itu berdasarkan cirri kelahiran dari seseorang tersebut. Berikut dijelaskan pada sloka dibawah ini lentang ciri kelahiran seseorang:

Svarga sthitanam iha jivaloke Catvari cinhani vasanti dehe Dana prasango madhura ca vani

Devarcanam Brahmana-tarpanas ca.

Canakya Niti Sastra, VII. 16

Terjemahan:

Setelah menikmati kepuasan di surga loka, roh-roh lahir kembali ke bumi ini. Empat ciri kelahiran surga dapat dilihat pada empat kegiatan ini yaitu: kedermawanan, kata-kata yang lemah lembut dan menarik, tekun memuja Tuhan Yang Maha Esa dan melayani/menghormati para Brahmana.

Atyanta kopah katuka ca vani Daridrata ca svajanesu vairam Nica prasangah kulahina seva Cihnani dehe narakasthitanam

Canakya Niti Sastra, VII.17

Terjemahan:

Sebaliknya ciri-ciri penduduk neraka dapat dilihat sebagai berikut: amarah yang meluap-luap, kata-kata yang ketus dan kasar, kemiskinan, membenci atau memusuhi sanak keluarga atau golongan sendiri, pergaulan dengan orang-orang hina, dan melayani orang-orang jahat.

Dari kedua sloka diatas dapat dibedakan orang yang selalu berbuat baik berasal dari Surga dan apabila selalu berbuat demikian pasti akan masuk Surga pula nantinya. Begitu juga sebaliknya apabila selalu berbuat yang tidak baik berarti kelahiran neraka dan apabila selalu berbuat demikian pasti akan jatuh ke neraka akhirnya. Apakah orang yang kelahiran neraka tidak bisa mencapai Surga? Siapa saja bisa mencapai Surga Loka, tidak hanya orang yang kelahiran Surga. Brahmana atau para Yogi saja. Orang yang miskin, pengemis, dan penjahat pun bisa masuk Surga asalkan mampu berbuat Dharma. Seperti pada ceritra Rsi Walmiki yang awalnya adalah penjahat yang bernama Ratnakara dan bisa mencapai pelepasan. Secara singkat diceritakan sebagai berikut:

“Rsi Precataka mempunyai putra bernama Ratnakara, mereka tinggal  dalam Pasraman. Ratnakara selalu bermain-main di dalam Pasraman dan kalau keluar pasti masih disekitar lingkungan Pasraman ayahnya. Karena saking asyiknya bermain Ratnakara pun sampai lupa waktu dan tidak terasa ia telah jauh berada dari Pasraman ayahnya. Ratnakara pun menangis karena ketakutan dan tidak bisa mencari jalan pulang. Rsi Precataka pun mencari-cari anaknya kemana- mana dan tidak ditemukan juga. Karena sudah lama mencari tetapi tidak diketemukan juga, akhirnya Rsi Precataka pun menganggap putranya sudah hilang. Ratnakara pun terus menangis, dan akhirnya dipungut oleh seorang pemburu. Ratnakara dibesarkan oleh seorang pemburu, dan dia pun akhirnya menjadi seorang pemburu. Setelah dewasa Ratnakara pun menikah dan mempunyai banyak anak.

Ratnakara menghidupi istri dan anaknya dari hasil berburu. Karena terlalu banyak memiliki putra, akhirnya hasil dari berburu pun tidak cukup menghidupi keluarganya. Akhirnya Ratnakara pun merampok setiap orang yang lewat untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pada suatu ketika Rsi Narada pun berjalan dan melewati tempat Ratnakara dengan menyanyikan lagu pujian kepada Sri Rama. Lagu pujian tersebut selalu melindungi beliau karena Sri Rama merupakan awatara dari Dewa Wisnu.

Pada saat melewati wilayah Ratnakara tiba-tiba Rsi Narada salah menyanyikan yang seharusnya menyanyikannya dengan menyebut RAMA, RAMA, RAMA pun dibalik menjadi MARA, MARA, MARA. MARA yang artinya bahaya pun dinyanyikan oleh Rsi Narada. Karena salah ucapan tersebut akhirnya muncul keinginan dari Ratnakara untuk merampok Rsi Narada. Setelah dirampok Rsi Narada baru sadar bahwa apa yang diucapkan itu salah dan menyebabkan bahaya bagi dirinya. Rsi Narada pun langsung mengucapkan kata RAMA, RAMA, RAMA kembali. Dengan demikian Rsi Narada semakin tenang karena sifat kasar dari Ratnakara dan Ratnakara pun terkena aura spiritual dari Rsi Narada.

Karena pengaruh spiritual akhirnya Ratnakara menyesal merampok Rsi Narada. Singkat cerita akhirnya Ratnakara menjadi murid dan diberi bimbingan spiritual oleh Rsi Narada. Ratnakara pun melakukan partapaan untuk menaklukan sitat-sifat buruknya. Karena  ketulusannya Ratnakara berhasil menjalankan tapa dan mampu menaklukan sifat- sifat buruknya. Karena lama bertapa tubuh Ratnakara pun dipenuhi semut sampai tubuhnya tidak kelihatan. Setelah beberapa tahun Rsi Narada datang untuk melihat muridnya yang sedang bertapa, dengan perasaan bangga Rsi Narada melihat bahwa Ratnakara berhasil melewati tapanya.

Rsi Narada membanguni Ratnakara dari tapanya dan dilantik menjadi orang suci sebagai Rsi. Ratnakara pun di diksa dan menjadi Rsi yang diberi gelar Rsi Walmiki. Walmiki berasal dari kata Walmika yang memiliki arti rumah semut. Gelar ini diberikan karena Ratnakara berhasil melakukan tapa di atas rumah semut. Rsi Walmiki diberikan tugas menulis kitab Ramayana yang sekarang terkenal dengan Ramayana Walmiki”.

Dari cerita diatas digambarkan bahwa seorang perampok pun bisa mencapai pelepasan asalkan ada keinginan yang tulus. Dalam masyarakat Ajaran Niti Sastra sangatlah baik untuk diajarkan karena sebagai ajaran berisi tentang moralitas dan tuntunan berprilaku.

Adhityedam yatlia sastram Naro jinali sattamah Dharmapadesa vikhyatam Karyakaryam subhasubham

Canakya Niti Sastra, 1.2

Terjemahan:

Iya yang mengerti ajaran Niti Sastra yang baik ini, yang mengajarkan ajaran-ajaran Dharma yang termasyur, dengan pengetahuan ini bisa membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang patut dilakukan dan apa yang tidak patut dilakukan. Orang yang seperti itu hendaknya dimengerti sebagai orang yang utama.

Dalam sloka diatas dikatakan bahwa Niti Sastra memberikan pandangan untuk memilah sesuatu yang baik dan yang kurang baik. Dengan pengetahuan seseorang mampu memilah mana yang baik dan kurang baik. Karena pengetahuan adalah sebagai penerang bagi jiwa. Namun apabila seseorang memiliki pengetahuan tetapi tidak mampu mengimplementasikannya diibaratkan seperti Panglima tanpa tentaranya. Jadi hendaknya pengetahuan harus selalu dipraktekan untuk membantu sesama.


Sumber :

Drs. I Wayan Darna, M.Pd.



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga