Lontar Bali – Warisan dan Tradisi Manuskrip Masyarakat Bali


TRADISI MENULIS PADA LONTAR

Sebelum menghasilkan goresan-goresan artistik aksara Bali di atas daun lontar perlu dipahami apa yang dimaksud dengan Aksara Bali sebagai lambang bahasa. Maksudnya melalui Aksara Bali-lah bahasa sebagai unsur universal dari kebudayaan itu terdokumentasikan. Aksara Bali adalah lambang bahasa yang telah mengambil fungsi dan peran sebagai lambang identitas masyarakat Bali. Aksara Bali adalah wahana atau sarana untuk mengungkapkan segala hal tentang kebudayaan Bali

Dalam tradisi penulisan lontar, seorang pengawi atau penyalin sebelum memulai menggoreskan pangrupak di atas lempiran lontar mereka biasanya melakukan ritual kecil memohon anugerah ke hadapan Ida Sang Hyang Aji Saraswati, sidha sidhi kasaraswaten, dengan puja pembuka,

Om Sang Hyang Saraswati Gumelar”, dan puja-puja runtutannya. Hakekat menulis adalah yogaksara/yogasastra, praktek sprritualitas mengasah dan mempraktekkan seluruh kemampuan intelektual dan kualitas intuitif, kehalusan rasa hingga; terjadinya irama pernafasan yang teratur, jernih, dan murni.

Sebagaimana dinyatakan dalam lontar Tutur Saraswati, Hyang Yogiswara filosofinys berstana pada kedua mata penulis lontar, Bhagawan Mredhu berstana pada kedua tangan penulis, dan Baghawan Reka berstana pada ujung pangrupak.

Dengan cara ini mereka meyakini berhasil menciptakan teks lontar utama dan memiliki jiwa (ruh suci). Karena itu pula, seorang penulis lontar berusaha keras agar tidak mematikan aksara atau ngucek (mencoret-coret) aksara. Mereka percaya manakala hal ini terjadi berakibat buruk pada dirinya sendiri, seperti dipercaya akan berumur pendek. Mencoret sandangan aksara yang berada di atas pangawak (badan pokok aksara) seperti ulu akan berakibat buta atau daya ingat berkurang; mencoret taleng/taling dan bisah/wisah berakibat pancet (sakit pinggang), dan melangkahi aksara akan berkibat bodoh.

Kepercayaan ini menjadikan lontar yang ada kelihatan tulisannya sealu bersih, rapi, dan tampak seperti tidak ada kesalahan penulisan. Tidak pernah ada aksara Bali yang dicoret. Seandainya terjadi salah tulis, penulis membubuhkan dua sandangan (pangangge) aksara, sehingga aksara yang salah tulis tidak berbunyi (mati). Sandangan yang lazim dipakai adalah ulu dan suku. Karenanya  jamak dijadikan bahan pemeo dituturkan dalam masyarakat Bali, bagaikan orang beraksara memakai dua sandangan suara, masuku (memakai suku) dan maulu (memakai ulu) itu artinya sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi, artinya sudah mati.

Bagaimana halnya kalau dilakukan pembacaan terhadap lontar yang banyak ditemukan aksara mati?

Pembaca lontar harus tanggap, cepat-cepatlah melirik aksara berikutnya yang menjadi sambungan aksara di depannya.

Secara tradisi seorang pengarang karya sastra Bali (pangawi), seorang penedun (penyalin) lontar adalah beliau-beliau para steak holders bahasa dan sastra dan aksara Bali sendiri. Dalam aktivitas penulisan lontar para steak horders ini menyiapkan bahan-bahan yang utama seperti:

(1) pepesan (daun tal siap tulis), (2) pangrupak (pisau tulis) , (3) pelican (alat penjepit lembaran lontar yang akan di tulis terbuat dari bambu kecil yang dilubangi hingga tembus pada kedua

sisinya), (4) serbuk tinggkih (serbuk bakar dari buah kemiri) ataupun serbuk buah naga sari yang dibakar sebagai bahan penghitam goresan aksara Bali di atas daun lontar sehabis ditulis, (5) bantalan kasur kecil sebagai alas menulis, (6) dulang kayu (sejenis meja yang bundar) sebagai meja tulis, (7) penggaris dan pensil (bagi penulis yang tidak yakin akan mampu menghasilkan urut-urutan aksara Bali yang lurus, rapi, dan bersih), (8 ) panakep dari kayu, bambu, atau uyung (seseh pohon enau), (9) kapas atau kain halus untuk menggosok dan membersihkan bekas-bekas material penghitam, (10) sesajen seperlunya, dan (11) pangrupak (pisau tulis).

Jenis-jenis pangrupak dipakai menggores lontar disesuaikan dengan maksud dan tujuan penulisan; yaitu pangrupak dengan kelancipan 45 derajat untuk menulis aksara Bali, pangrupak dengan kelancipan 8 derajat untuk membuat prasi (menggambardi atas daun lontar), dan pangrupak kelancipan sedang (kurang lebih 1drajat), lebar, dan tajam untuk memotong rontal.

Pangrupak memiliki tiga mata sisi yang tajam untuk menghasilkan karakter aksara Bali yang ideal. Aksara Bali yang memiliki kakuub (karakter) wayah dan ngatumbah/matan titiran (bundar, lembut, halus, dan mengagumkan). Masing-masing pangrupak juga memakai hiasan beragam  pada panggeh/pati (sejenis warangka dalam keris), ada yang menyerupai pendeta, patung Hanoman, burung merak, atau aksara Ongkara, dan yang lainnya.

Menulis di atas daun lontar dengan pangrupak memerlukan keterampilan teknik menulis yang khusus. Keterampilan yang satu ini sangat memperhatikan posisi tangan saat menggores lontar.Tangan kiri berada di posisi bawah untuk menghalasi atau memegang lontar dan tangan kanan berada di posisi atas memegang pangrupak serta menggerakkan jari-jemari tangan sedemikian rupa.

Jempol/ibu jari dan jari tengah tangan kanan adalah penjepit lembut pangrupak, telunjuk penekan halus saat menggores bentukan aksara. Jempol tangan kiri yang posisinya di sebelah kiri bertugas mendorong-dorong pangrupak hingga terjadi pergerakan mengarah ke sebelah kanan lontar. Sedangkan dua jemari tangan kanan lainnya, jari manis dan kelingking membantu menjaga kesetabilan, berfungsi mensupalai energi kelembutan sehingga tangan tidak mudah lelah.

Menggoreskan aksara Bali dari kiri ke arah kanan harus mencermati ruang-ruang di antara tiga lubang yang ada di kiri, tengah, dan kanan. Terdapat empat garis yang tersedia di atas rontal. Mulailah menulis dari garis yang memiliki ruang paling sempit, dengan aksara digantung pada garis yang telah disediakan. Perhatikan lebar ruang yang disediakan di antara garis-garis yang tersedia.

Berkosentrasi dan menciptalah dengan perasaan halus, lembut, tenang, dan senang. Goresan simbol aksara yang pertama sangat mempengaruhi besar kecil dan kehalusan aksara berikutnya. Karena itu jagalah hati, cerdaskan intuisi dan intekstualitas yang dimiliki. Bernafaslah yang teratur. Lemah lembut dalam ketenangan hati yang menakjubkan. Sekali-kali nikmati bunyi irama yang ditimbulkan oleh goresan yang dibuat. Berirama mengkhusukkan.


Sumber

Dr. Drs. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum
Prodi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya (Fakultas Sastra) Unud



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Dapatkan Dalam Versi Cetak
Baca Juga