Lontar Bali – Warisan dan Tradisi Manuskrip Masyarakat Bali


Proses Pembuatan Lempiran Lontar

Lontar terbuat dari daun alami pohon Tan/Rontal. Lontar mempunyai kekuatan yang luar biasa, dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama, berabad-abad.

Bagi masyarakat Bali lontar memiliki karakater atau wibawa tersendiri, taksu (kekuatan ilahi), dan dihormati sebagai sumber berbagai ilmu pengetahuan lahir dan batin. Kualitas lontar yang penulis citrakan itu tidak lepas dari dasar-dasar budaya atau karakter peradaban dan keyakinan masyarakat Bali yang melahirkannya. Di samping itu semua, Lontar Bali dibuat dengan cara yang saksama, dalam teknologi tradisional. Kesabaran yang tinggi, berada dalam suasana yang khusuk akan menghasilkan lempiran lontar sehelai demi selehelai.

Dibangun atas dasar keyakinan, ketekunan, dan kedisiplinan. Proses pembuatan daun lontar ini dapat disajikan berdasarkan pengalaman penulis meneliti prosesi pembuatan lempiran lontar dan bahan bacaan yang ada.

Pada kesempatan ini penulis sarikan impormasi pembuatan lempiran daun lontar sebagaimana yang dilakukan oleh Ida I Dewa Gde Catra di Rumah Pintar Ttradisional di ujung Timur pulau Bali, bilangan jalan Untung Surapati, Subagan, Amlapura.

Berikut penulis sarikan teknik tradisional Prosesi Pembuatan Lempiran Lontar Bali seperti yang dilakukan budayawan lontar asal Puri Sidemen Karangasem ini.

Ida I Dewa Gde Catra (pelaku prosesi pembuatan lempiran lontar yang paling produktif sampai hari ini di Bali) menyebut helai daun lontar yang dihasilkannya sebagai lempiran. Daun lontar atau lempiran yang dimaksud berbetuk blanko dihasilkan melui proses khas teknologi tradisi Bali selempir demi selempir sehingga menghasilkan pepesan, satu bendel berjumlah 100 lempiran. Inilah lempiran lontar kosong yang siap ditulisi. Dinyatakan pula pembuatan lempiran lontar memakan waktu yang relatif lama, rumit, membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Tujuannya adalah agar mendapatkan mutu lempiran yang baik, bertahan dalam waktu yang panjang, mudah ditulisi, serta bentuknya yang indah dan rapi.

Sebelum prosesi pembuatan lontar dilakukan, seniman lontar memperhatikan jenis pohon rontal yang akan dipetik daunnya. Pohon rontal yang baik adalah telah berumur lebih dari 3 tahun, tumbuh di tanah yang mengandung kapur atau berzat kapur, tanah bebatuan seperti tanah lahar, tanah di tepi laut, mendapat sinar matahari langsung dari pagi hingga sore, pernah disadap niranya, tidak banyak mengandung sagu. Pohon rontal yang tumbuh di tanah yang subur, daunnya kurang baik dibuat pepesan karena berdaun tebal, berserat besar-besar dan kaku.

Masyarakat Bali membedakan pohon rontal atas dua jenis, yaitu rontal luh (betina) yang dapat menghasilkan buah atau tuak (nira) dan rontar muani (jantan) yang tidak menghasilkan buah. Rontal muani terkadang juga dapat menumbuhkan  bunga akan tetapi tidak pernah jadi buah. Demikian pula jenis dan kualitas daun pohon rontal berbeda-beda.

Pohon Rontar yang daunnya luwes, kenyal, berserat halus disebut juga ron tal taluh (telor). Pohon rontal yang daunnya tebal berserat kasar dan kaku seperti kulit binatang disebut ron tal belulang. Sedangkan pohon lontar yang helai daunnya panjang dan lebar disebut pohon ron tal dolog (menyerupai senjata dolog, yaitu sejenis golok yang panjang).

Daun tal yang dipilih untuk prosesi pembuatan pepesan berkatagori panyaja (muda atau menengah). Usia daun tal penyaja di samping dikatahui dari katagori hijau daunnya juga ditandai dari posisi kecondongan pelepahnya kurang lebih 45 drajat, semua ujungnya panjut (merapat dan sedikit mengering).

Sedangkan lontar yang masih muda berupa busung (janur) ataupun yang sudah berupa danyuh/wayah (tua) tidak dimanfaatkan sebagai lempiran pepesan.

Pemetikan daun tal untuk pepesan menggunakan joan anggetan (galah ujungnya memakai pisau), daun tal yang berbentuk kipas kangget (dipotong dan dicari ) hanya bagian tengah saja tidak lebih dari empat sampai dengan enam helai setiap satu pelepah daun tal.

Mengingat daun tal cukup tebal dan tiap bilahnya terdiri dari dua helai dalam satu lidi, maka proses pengeringannya agar benar-benar kering seperti yang diinginkan tentu memakan waktu yang cukup lama. Harus dijemur di tempat yang terang dan dilakukan beberapa kali, sehingga benar-benar renyah (kering benar).

Musim petik yang baik pada sasih kasanga- kadasa (seputar bulan Maret – April) yang disebut kreta masa, dan sasih katiga-kapat (seputar bulan September – Oktober) yang disebut gegadon. Pada bulan-bulan ini adalah musim kemarau, saat mana matahari bersinar panas dan suasana langit terang benderang.

Bilah daun tal kering petik yang dipilih untuk pepesan adalah yang bilahnya panjang, lebarnya sesuai,permukaan rata tidak tuludan (berlekak-lekuk), seratnya halus, tidak berbintik-bintik, dan helai daunnya tidak terlalu tebal atau terlalu tipis.Bilah daun tal petik kering dipotong ujung dan pangkalnya dengan ukuran panjang tertentu sesuai dengan keperluan. Ngesit (melepas lidi) dilakukan secara hati-hati agar bilah daun lontar kering petik tidak amis (rusak).

Bilah daun tal kering petik yang sudah kasit (dilepaskan lidinya) dikumpulkan dan ditata sedemikian rupa kemudian kakum (direndam) selama tiga minggu. Pada minggu pertama air kum berwarna keruh kekuningan dan berbahu  kurang sedap sehingga harus diganti setiap hari, pagi, dan sore.

Pada minggu kedua dan ketiga air kum diganti setiap tiga hari sekali, hingga air kum benarbenar bersih, tidak berbuih, dan tidak berbahu lagi. Ngekum (merendam) daun tal kering petik dengan tujuan menghilangkan sagunya, agar hampa tak rapuh (serbukan) yang disukai rayap.

Tiga minggu prosesi ngekum tal telah berlalu. Daun tal diangkat dan di diguyur air bersih, dijemur, ditebarkan sedemikian rapi di tempat yang terang sehingga hari itu juga dipastikan benar-benar kering.Dua hari dua malam dianginanginkan untuk tiga bulan kemudian baru direbus. Merebus daun tal kering petik memerlukan alat perebus, seperti panci besar, tunggu, kayu api, dan air cukup dan dijaga dengan saksama.Ramuan bahan pengawet seperti kulit pohon kayu intaran, kayu wong, kulit pangkal pohon kelapa, batang kantewali, daun sambiroto, umbi gadung diparut.Rempah-rempah seperti lada, merica, jebug harum, jebug (buah pinang yang tua) semua dirajang dan kemudian ditumbuk hingga halus menjadi serbuk.

Bahan-bahan itu digunakan sesuai dengan jumlah rontal yang akan direbus. Saat prosesing perebusan, setiap kali air rebus menyurut petugas harus menambahkan air secukupnya hingga berlangsung lima enam jam. Lebih lama direbus hasilnya lebih baik. Daun tal yang dianggap telah masak, biarkan jangan langsung diangkat agar dingin dengan sendirinya.

Setelah dingin angkat dan segera jemur di tempat yang lapang dan mendapat sinar matahari penuh. Agar lebih cepat kering, lontar dibolak balik selembar demi selembar.

Setelah merata kering, diangkat perlahan-lahan agar tidak pecah, kemudian dayuhin (diangin-anginkan) di tempat yang teduh.Tiga puluh sampai dengan lima puluh lembar lontar disatukan, diikat ujung, tengah, dan pangkalnya.

Disimpan di tempat yang aman terhindar dari sinar matahari, ujan, hawa panas berlebihan. Lama menyimpan tiga empat bulan, semakin lama disimpan kualitasnya semakin membaik.

Blagbag, pres tradisional lontar dibuat dari kayu dengan menggunakan pasak.

Alat ini digunakan untuk meluruskan dan memampatkan serat dan ronggarongga yang kemungkinan masih terdapat pada lontar setelah proses pengeringan.

Caranya, daun lontar yang telah direbus dan disimpan berbulan-bulan dimasukkan ke dalam penjempit blagbag secara teratur sesuai dengan panjang lontar masingmasing.

Setelah berjumlah seratus, disela dengan penampang kayu (pandalan),  demikian juga selanjutnya hingga penuh sesuai kapasitas blagbag.

Kemudian pasak dipasang, beberapa hari lontar mengalami pemampatan, pasak pun longgar. Disela dengan pandalan dan dipasak kembali hingga mampat.

Proses ini dilakukan berminggu-minggu kadang bulanan, hingga rontal benar-benar lurus dan rata. Pembuatan lontar pepesan didahului dengan pembuatan mal yang dibuat dari

daun tal dengan panjang dan lebar yang telah ditetapkan, diisi lubang sebasar jarum. Mal ditempal di atas daun tal,jarum pirit (paser tradisioanal Bali) ditusukkan pada tengah-tengah lubang kecil mal yang di kiri, kanan, dan tengah.

Mirit, melubangi lontar di samping kiri, kanan, dan tengah tepat di titik ujung pirit. Lontar yang telah mapirit (berlubang) dimasuki lidi (jelujuh) agar tidak

mudah bergerak saat diiris dan dirapikan pinggirannya.

Langkah-langkah berikutnya dalam proses pembuatan lontar adalah nepes (menjepit), nyerut (mengetam), dan nyepat (menggaris). Nepes adalah pres terakhir lontar tepesan. Nyerut adalah merapikan ujung pangkal dan diisi cat tradisional Bali agar kelihatan indah dan rapi.

Sedangkan nyepat adalah tindakan terakhir prosesi pembuatan lontar tepesan siap tulis (gores) dengan pangrupak (pisau tulis tradisional Bali).


Sumber

Dr. Drs. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum
Prodi Sastra Bali, Fakultas Ilmu Budaya (Fakultas Sastra) Unud



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Dapatkan Dalam Versi Cetak
Baca Juga