Veda (Weda) Sebagai Sumber Ajaran Agama Hindu


 

3. Samkhya Darsana

Filsafat Samkhya Darsana didirikan oleh Sri Kapila Muni. Secara arti kata “Samkhya” memiliki arti sebagai jumlah. Istilah Samkhya juga dipergunakan dalam pengertian “Vicara” yaitu perenunga filosofis. Sistem filsafat Samkhya memberikan 25 prinsip (tattwas) dari alam semesta.

Samkhya adalah salah satu sistem filsafat India yang mengakui Veda sebagai otoritas tertinggi. Oleh sebab itu Samkhya dikelompokkan kedalam Astika (ortodok). Jika dilihat dari bentuk katanya, Samkhya berasal dari dua urat kata yaitu “Sam” dan “Khya”. Sam diartikan sebagai bersama-sama dan Khya diartikan sebagai bilangan, jadi secara harfiah Samkhya berarti bilangan bersama-sama.

Kata Samkhya digunakan dalam Sruti dan Smerti, dimana masing-masing digunakan dalam pengertian pengetahuan dan tindakan, sehingga kata Samkhya ini juga memiliki arti pengetahuan yang benar. Perkataan Samkhya juga berarti pengetahuan yang sempurna, yang dimaksud adalah filsafat tentang sesuatu yang memberi pelajaran untuk mengenal diri sendiri secara metafisik. Istilah Samkhya juga dipergunakan dalam pengertian Vicara, yaitu perenungan filosofis.

 

3.1. Pemahaman Samkhya

Ajaran Samkhya disebut realistis, dualistis dan pluralitas. Disebut relistis karena mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena prinsip ajarannya ada dua realitas yang berdiri sendiri saling bertentangan dan dapat dipadukan, yaitu purusa dan prakerti. Dan Samkhya disebut plurslisme karena mengajarkan bahwa purusa itu beranak sekali.

Dalam Sarva Darsana Samgraha, yaitu suatu system filsafat Hindu mengatakan kata Samkhya (sankhya) itu artinya adalah jumlah. Dan sistem ini memberikan 25 prinsip terjadinya alam semesta setelah dua asas yaitu purusa dan prakerti sehingga berkembanglah sebagai penyusun alam semesta dan tubuh manusia itu sendiri.

Kadangkala system ajaran Samkhya dikatakan sebagai ajaran yang bersifat atheistic atau Nir Iswara Sankhya (Samkhya tanpa Tuhan), yaitu suatu ajaran yang tidak mempercayai adanya Tuhan, karena dalam ajaran Samkhya ini sama sekali tidak menyebut-nyebut nama Tuhan, dengan alasan Tuhan itu sangat sulit untuk bisa dibuktikan keberadaannya. Tapi ajaran Samkhya jika dilihat dari pengakuannya terhadap otoritas Veda, nyatanya system ini termasuk ke dalam kelompok Astika yang mengakui Veda sebagai sumber ajaran kebenaran Hindu. Sistem Samkhya ini tidak menentang Tuhan, hanya saja Samkhya menunjukkan bahwa Purusa dan Prakrti sudah cukup untuk menjelaskan alam semesta ini, jadi tidak ada alasan untuk merumuskan hipotesa tentang keberadaan Tuhan.

Ajaran pokok dari Samkhya adalah adanya dua realitas asasi yaitu Purusa dan Pekerti atau asas kejiwaan dan asas kebendaan yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Dalam Samkhya Darsana menggunakan tiga sistem pembuktian yang disebut dengan Tri Pramana, yaitu : Pratyaksa pramana (pengamatan), Anumana pramana (penyimpulan) dan Apta wakya (benar, sesuai dengan Veda dan guru yang mendapatkan wahyu). Sedangkan pengamatan ada dua, yaitu Nirwikalpa dan Sawikalpa. Nirwikalpa adalah pengamatan yang tidak menentukan yang ada hanya pengenalan objek sebagai sesuatu bukan sebagai benda yang jelas identitasnya. Sedangkan sawikalpa adallah pengamatan yang menentukan ia merupakan hasil analisis sintesis dan interprestasi alam pikiran.

 

3.2. Pokok Ajaran Samkhya

Meskipun Samkhya kadangkala dikatakan sebagai ajaran yang bersifat atheistik namun Samkhya menggunakan Veda sebagai otoritas tertingginya. Samkhya menggunakan Veda sebagai dasar pengembangan kebenaran Hindu. Selain Veda, Samkhya juga menggunakan Chandogya Upanisad, Prashna Upanisad, Katha Upanisad, dan Svetasvatara Upanisad. Dan yang tidak kalah penting dalam ajaran Samkhya adalah Mahabharata yang termuat dalam kitab Bhagawadgita.

Isi Pokok dan Pandangan Samkhya Terhadap Makrokosmos dan Mikrokosmos

Samkhya merupakan suatu kelompok filsafat yang tergolong Astika,dalam ajarannya secara metafisis mengemukakan pokok-pokok ajaran purusa, prakerti,tri guna,penciptaan alam semesta dan atheistik.

Samkhya merupakan suatu kelompok filsafat yang tergolong Astika,dalam ajarannya secara metafisis mengemukakan pokok-pokok ajaran purusa, prakerti,tri guna,penciptaan alam semesta dan atheistik.

 

3.2.1. Purusa 

Purusa merupakan jenis kesadaran tertinggi. Samkhya menyebut Purusa sama dengan roh/jiwa. Purusa bersifat Asanga (tak terikat dan merupakan kesadaran yang meresapi segala dan abadi). Purusa merupakan subyek dari pengetahuan dan 24 unsur lainnya merupakan prinsip-prinsip alam yang merupakan obyek pengetahuan. Purusa adalah roh, ia bukan merupakan hasil atau produk. Ia adalah subyek atau saksi yang bersifat : asanga artinya tak terikat, merupakan kesadaran yang meresapi segala sesuatu dan abadi, tanpa awal (Anadi) dan tanpa akhir (Ananta) serta nyata (Sat). Purusa tunggal, statis dan tidak berubah.

Oleh karena Purusa adalah kesadaran, maka Purusa adalah yang mengetahui dan Prakrti adalah yang tidak sadar, yang diketahui. Purusa tidak semata-mata sebuah substansi yang sifat sadar, tapi merupakan suatu kesadaran murni yang menerangi dirinya sendiri, tidak berubah, tidak disebabkan, meliputi segalanya, realitas yang kekal. Apapun yang diciptakan, berubah, mati, hancur adalah prakrti dengan segenap evolusinya tapi bukan sang diri. Adalah sangat bodoh kalau beranggapan bahwa sang diri adalah badan, indra-indra, pikiran atau intelek dimana karena kebodohan ini purusa bingung dan menganggap dirinya adalah obyek dari dunia ini. Dengan demikian ia akan terikat dalam arus perubahan dan merasakan dirinya sebagai yang menderita dan menikmati.

Samkhya membuat lima argumentasi untuk membuktikan adanya Purusa sebagai berikut :

  1. Kumpulan dari segala sesuatu yang ada di dunia ini ada tujuannya yaitu demi sesuatu yang lain diluar dirinya. Artinya bahwa semua obyek-obyek yang ada di dunia ini dimaksudkan adalah untuk dimanfaatkan oleh seseorang atau sesuatu di luar dirinya sendiri. Dicontohkan dengan “Tempat Tidur” dimana tempat tidur ini terdiri dari bagian- bagian yang membentuknya, yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tempat tidur ini dibuat bukan untuk dirinya sendiri tapi untuk orang lain yang akan tidur di atasnya. Begitu pula “Dunia ini” terbentuk dari lima unsur-unsur kasar yang memiliki tujuan lain diluar dirinya yaitu sesuatu yang lain yang berbeda dengan obyek-obyek itu sendiri, karena obyek-obyek itu tidak dapat menikmati keberadaannya sendiri, ataupun obyek material yang satu tidak akan dapat menikmati obyek material yang lain. Maka dari itu harus ada penikmat dari obyek itu yang sadar yaitu Sang Pribadi (Roh) yang dikenal sebagai Purusa.
  2. Semua obyek yang dikenal memiliki unsur Tri Guna (Sattvam, Rajas, Tamas). Prakrti berpotensi atau memiliki esensi yang cenderung menderita atau bahagia maka itu tak mungkin ia menjadi penikmat dari dirinya sendiri. Harus ada subyek yang mengenal, yang mengatasi realitas yaitu suatu Roh yang bebas dari tiga Guna itu. Itulah Purusa.
  3. Obyek-obyek yang ada di dunia ini termasuk pikiran, panca indra dan intelek adalah sesuatu yang tidak sadar. Mereka itu semua tidak akan dapat berfungsi tanpa pengarahan dari sesuatu yang memiliki kecerdasan untuk mencapai sesuatu tujuan. Harus ada sesuatu yang memiliki kekuatan, suatu kesadaran murni yang mampu mengkoordinir semua pengalaman-pengalaman yang ada. Sesuatu itu adalah Purusa.
  4. Prakrti yang merupakan sesuatu yang dinamis yang dapat menghasilkan sesuatu berupa produk-produk tetapi produk-produk itu tidak memiliki kecerdasan. Mereka itu semua tidak akan mempunyai makna apapun kalau tidak ada suatu kekuatan kecerdasan yang menikmati atau memanfaatkannya maka dari itu harus ada sesuatu yang dapat mengalami produk-produk dari Prakrti itu yang memilki kecerdasan ia itu adalah Purusa.
  5. Hidup ini mempunyai tujuan, tujuan itu adalah pembebasan (Moksha) dari penderitaan. Harus ada sesuatu yang berusaha menuju kepada pembebasan itu yang mengimplikasikan sesuatu yang memiliki kwalitas yang berbeda dengan Prakrti. Oleh karena bila hal itu adalah Prakrti maka apapun yang dicapai oleh Prakrti akan membawa pada penderitaan itu sendiri. Bila tidak ada sesuatu yang berbeda dengan Prakrti yang tidak dihasilkan oleh proses evolusi, bagaimana mungkin pembebasan itu dapat dicapai?

Lagipula, bila yang ada hanya Prakrti maka konsep tentang pembebasan itu sendiri dan keinginan untuk bebas yang ada pada setiap manusia seperti apa yang dikatakan oleh para resi dan kitab-kitab suci adalah sesuatu yang tidak bermakna. Maka dari itu harus ada sesuatu yang bukan Prakrti, suatu prinsip kesadaran untuk mencapai pembebasan itu. Sesuatu itu adalah Purusa. Kalau begitu apa hekekat dari pribadi atau subyek yang berkesadaran itu?. Yang pasti ia bukan badan, ia bukanlah produk dari unsur-unsur. Ia juga bukan seperti halnya indra-indra yang sekedar merupakan alat-alat saja yang pada hakekatnya bukan si pemakai alat.

Purusa bukanlah Buddhi, karena Buddhi-pun tidak memiliki kesadaran. Pribadi itu adalah Roh Murni yang berbeda dengan badan atau Prakrti. Hakekat Purusa adalah tidak berubah, tidak bergerak, tidak berpindah. S.Radhakrishnan menyimpulkan bahwa Purusa yang dimaksud oleh Samkhya adalah seperti halnya konsep Atman dalam Upanishad yang mengatakan bahwa Purusa itu adalah tanpa permulaan tanpa akhir, tanpa kwalitas, halus sekali, omnipresent, abadi, mengatasi indra-indra, mengatur pikiran, melebihi kecerdasan, di luar ruang dan waktu serta kausalitas. Ia tidak diciptakan, tidak menciptakan abadi dan sempurna.

Teori Samkhya menyatakan Purusa atau jiwa/roh sebagai berikut:

  • Roh itu ada karena ia menjelma.
  • Ketidakadaannya tidak dapat dinyatakan dengan apapun juga
  • Roh itu berbeda dengan indriya, pikiran dan akal. Ia adalah semangat kesadaran selalu menjadi subjek pengetahuan, tidak pernah menjadi obyek pengetahuan.
  • Bersifat langgeng, tidak pernah ada aktivitas, tidak mengalami perubahan tempat maupun bentuk.
    Ia tanpa sebab, menyusupi segala, namun bebas dari segala ikatan dan pengaruh dunia obyek.

Walaupun ada kesepakatan umum tentang keberadaan jiwa, namun ada perbedaan opini yang luas tentang sifatnya. Beberapa Carvaka atau kaum materialis mengidentifikasikan jiwa dengan badan kasar, yang lain dengan indra-indra, beberapa menyebutnya sebagai hidup badan yang lain mengidentifikasikannya dengan Manah. Kaum Budha dan beberapa kaum empiris menganggap jiwa itu identik dengan arus kesadaran.

Nyaya-Vaisesika dan Prabhakara Mimamsaka berpendapat bahwa jiwa itu adalah suatu substansi tak-sadar yang dapat memperoleh atribut kesadaran di bawah kondisi tertentu. Sebaliknya Battha Mimamsaka berpendapat bahwa jiwa itu adalah suatu kesatuan yang sadar yang terutama tersembunyi oleh ketidak-tahuan, sebagaimana terlihat dari pengetahuan yang tidak sempurna dan tidak seimbang yang dimiliki manusia tentang jiwa mereka sendiri. Kaum Advaita Vedanta berpendapat bahwa jiwa itu adalah kesadaran murni yang kekal yang kehadirannya penuh kebahagiaan nan mulia atau Saccidananda Svarupa. Jiwa itu adalah satu dalam semua raga dan bebas secara abadi dan itelegensia yang swa-sinar pencerahan.

Menurut Samkhya, jiwa itu berbeda dengan raga dan indra, manas maupun intelek (Buddhi). Tidak ada apapun berasal dari dunia objek. Jiwa itu bukan otak maupun sistem saraf dan bukan juga kumpulan keadaan sadar. Jiwa itu adalah roh sadar yang selalu jadi subjek selaku ilmu pengetahuan dan tidak akan pernah menjadi objek pengetahuan.

Keberadaan jiwa itu sebagai suatu subjek yang transendental dari pengalaman dibuktikan oleh Samkhya dengan beberapa argumentasi sebagai berikut :

Objek-objek dunia seperti meja, kursi dan sebagainya yang terdiri dari bagian-bagian adalah alat untuk tujuan lain-lain makhluk hidup. Makhluk-makhluk ini yang bertujuan dilayani oleh objek-objek dunia ini haruslah tidak sama dan sangat berbeda dengan mereka semua. Artinya, mereka tidak dapat dikatakan sebagai benda-benda tanpa kesadaran, terdiri dari bagian-bagian objek fisik. Jika demikian keadaannya makhluk-makhluk ini akan menjadi alat untuk tujuan yang lain dan tidak berhenti pada diri mereka sendiri. Mereka haruslah jiwa yang sadar dimana semua objek fisik adalah alat untuk tujuan mereka.

Semua objek material termasuk manah dan intelek harus dikendalikan dan diarahkan oleh suatu prinsip cerdas agar mereka mampu mencapai apapun atau merealisasikan tujuan. Sebuah mesin atau mobil akan bekerja dibawah tuntunan seseorang. Jadi haruslah ada suatu jiwa yang mengatur kegiatan Prakrti dan poduk-produknya. Semua objek dunia mempunyai sifat kenikmatan, kesedihan, dan ketidak-pedulian dan ketidak-acuhan. Tetapi kenikmatan dan kesedihan hanya akan berarti kalau dialami oleh sesuatu yang berkesadaran. Jadi, pasti ada subjek-subjek atau jiwa yang sadar yang merasakan kenikmatan dan kesakitan itu.

Beberapa orang di dunia ini setidaknya berusaha dengan tulus untuk memperoleh kelepasan akhir dari semua kesengsaraan ini. Hal ini tidak mungkin terjadi pada dunia fisik karena oleh sifatnya sendiri, dunia fisik menimbulkan kesengsaraan dan daripadanya tidak melepaskannya. Jadi pasti ada substansi bukan material atau jiwa yang transendental di atas susunan fisik ini. Kalau tidak demikian, maka konsep pelepasan atau penyelamatan dan kemauan untuk lepas atau dilepaskan (Moksha) sebagaimana yang ditemukan pada orang suci dan juru selamat kemanusiaan akan tidak berarti apa-apa.

Mencermati pengamatan terhadap adanya purusa atau roh seperti diungkap di atas, dan sebagaimana dikutip dalam Sankhyakarika dan Sankhyatattwakaumudi menunjukkan sudut pandang bahwa Purusa menganut prinsip pluralisme, merupakan subyek pengetahuan, sadar, bukan efek bukan pula penyebab, mereka tidak berubah dan tak bergerak, tidak aktif, namun mengetahui atau subyek sadar.

 

3.2.2. Prakerti

Samkhya dalam ajarannya menerima dua ultimasi yakni Purusa dan Prakrti, sebagai dua asas rohani dan kebendaan. Dari kedua asas inilah terciptanya alam semesta. Teori Samkhya tentang sebab asal muasal benda menimbulkan ajaran bahwa Prakrti adalah sebab terakhir dari alam semesta. Ia tidak memiliki sebab, tetapi merupakan sebab dari semua akibat. Prakrti (bahasa Sansekrta) terdiri atas prefiks “pra” berarti “sebelum” atau “pertama”, dan dari akar kata “kri” berarti “membuat” atau “menghasilkan”. Di sini “Prakrti” berarti yang ada sebelum segala sesuatunya dihasilkan/disebabkan, sumber pertama dari semua benda, bahan asal darimana semua benda menyebar dan ke dalam mana semua benda pada akhirnya akan kembali. Ia disebut juga Pradana (pokok) karena semua akibat ditemukan padanya dan ia juga merupakan sumber dari segala yang ada. (Maswinara, 1998:42).

Prakerti dari kata Pra yang artinya sebelum dan Kri yang artinya membuat. Prakrti artinya sebelum membuat, sebelum penciptaan. Ia merupakan prinsip awal dari segala sesuatu. Prinsip mula-mula yang berkembang dan menghasilkan sesuatu yang lain. Ia juga tanpa awal (Anadi) dan tanpa akhir (Ananta) dan nyata (Sat). Prakrti adalah azas jasmani dari alam semesta yang sangat luas, kompleks dan terdiri dari unsur-unsur yang selalu berubah. Ia adalah basis dasar dari alam semesta yang empiris ini. Sistem filsafat Samkhya menunjukkan bahwa keseluruhan dari dunia ini, termasuk badan, pikiran dan indra-indra ditentukan dan dibatasi serta dibentuk oleh akibat-akibat tertentu. Prakrti atau asas bendani adalah sebab pertama alam semesta, yang terdiri dari unsur-unsur kebendaan dan kejiwaan atau psikologis.

Berbagai aliran filsafat seperti Carvaka, Buddhisme, Jainisme, Nyaya dan Vaisesika berpendapat bahwa atom tanah, atom air, atom api, dan atom udara adalah penyebab materiil dari dunia ini, sedangkan menurut Samkhya atom-atom tidak dapat menghasilkan benda-benda alam yang sangat halus seperti pikiran, intelek dan keakuan yang palsu. Oleh karena itu kita harus mencari penyebab dari benda-benda kasar dan aspek-aspek terkecil yang membentuknya, dan jika kita memeriksa kejadian dalam alam ini, maka dalam kenyataannya penyebab lebih halus atau lebih kecil dari akibatnya, bagaimana mungkin penyebab itu melingkupi akibatnya yang lebih besar?.

Keberadaan Prakrti sebagai suatu penyebab maha halus dari dunia dikenal melalui kesimpulan berdasarkan hal-hal berikut:

  • Semua objek dari dunia, mulai dari intelek sampai pada tanah adalah terbatas dan saling bergantung satu sama lain. Jadi mestinya ada suatu sebab yang tak terbatas dan bebas untuk keberadaannya. Yang bersifat terbatas itu adalah Prakrti.
  • Benda-benda yang ada di dunia memiliki ciri yang sama, yang karena itu mampu menghasilkan kenikmatan dan kegembiraan, kesedihan dan ketidak pedulian. Karena itu mereka tentu mempunyai sebab atau sumber yang sama karena memiliki tiga sifat yang sama. Sumber itu adalah Prakrti.
  • Semua akibat berlangsung dari aktivitas suatu sebab yang mengandung potensi di dalamnya. Dunia objek-objek adalah akibat haruslah secara implisit berisikan suatu penyebab dunia.
  • Suatu akibat muncul dari penyebabnya dan kembali dilebur ke dalamnya pada saat kehancuran. Ini berarti suatu akibat yang ada dimanifestasikan oleh suatu sebab dan kemudian diserap kembali kedalam yang tersebut belakangan.

Jadi objek khusus pengalaman haruslah timbul dari penyebab khususnya, dan ini kembali dari penyebab umum yang lain, demikian seterusnya., sampai tiba pada penyebab pertama dunia ini. Secara sebaliknya, pada saat kehancuran, unsur-unsur fisik harus dilebur menjadi atom, atom menjadi energi dan demikian seterusnya, sehingga seluruh produk terleburkan ke dalam Prakrti yang tak termanifestasikan dan abadi. Jadi, didapatkan satu penyebab yang tak terbatas, tak terkondisikan, meresapi semuanya, dan mutlak dari dunia keseluruhannya termasuk segala sesuatunya kecuali jiwa itu. Inilah matrik sebab akibat dunia non jiwa yang abadi dan tak terpisahkan, yang diberi macam-macam nama oleh Samkhya seperti Prakrti , Pradhana, Avyakta dan sebagainya.

Apabila Tri Guna dikaitkan dengan teori Samkhhya, maka Prakrti dikatakan sebagai persatuan atau terdiri atas tiga Guna (sifat) yang berada dalam keadaan seimbang dan terkendali (Samyavasta). Ketiga guna tersebut adalah Sattwa Guna, Rajas Guna, dan Tamas Guna. Di sini dikatakan bahwa guna itu berarti elemen pembentuk atau komponen dari Prakrti dan bukan merupakan sebuah atribut atau sifat. Jadi, dengan guna dari Sattwa, Rajas dan Tamas, unsur-unsur dari substansi utama dapat dimengerti yaitu Prakrti, ketiganya ini (Sattwa, Rajas dan Tamas) merupakan elemen baik dari Prakrti, substansi tertinggi maupun objek-objek biasa di dunia ini.

Sattwa adalah elemen Prakrti yang memiliki sifat nikmat dan ringan (Laghu), terang atau bersinar (Prakasaka). Manifestasi objek adalah kesadaran (Jnana), kecenderungan terhadap manifestasi sadar dalam indra, pikiran, dan intelek, kecemerlangan sinar, dan kekuatan merefleksi di cermin atau pada kristal, semuanya itu berkat pekerjaan unsur Sattwa dalam membentuk benda. Demikian pula kenikmatan dan kegembiraan dalam berbagai bentuknya, seperti kepuasan, gembira, bahagia, dan sebagainya dihasilkan oleh sesuatu di dalam pikiran (Manah) melalui kekuatan sattwa yang melekat di dalam keduanya.

Rajas adalah prinsip kegiatan sesuatu (benda). Ia selalu bergerak dan membuat suatu yang lain bergerak. Pada sisi pengaruh terhadap kehidupan manusia, rajas adalah penyebab dari semua pengalaman sedih dan pahit dan dia sendiri bersifat sedih. Ia membantu unsur-unsur Sattwa dan Tamas, yang tak aktif dan tanpa gerak untuk melaksanakan fungsi mereka.

Tamas adalah prinsip kepasifan dan kenegatifan dalam benda atau objek. Ia bertentangan dengan sattwa karena berat (Guru) dan dalam mengahadapi manifestasi objek (Varanaka). Ia jga menolak prinsip rajas atau aktifitas dalam arti ia menahan gerak benda. Ia melawan kekuatan manifestasi dalam Manah (pikiran), intelek dan lain-lain benda dan oleh karena itu menghasilkan kebodohan atau ketidaktahuan dan kegelapan yang membawa kepada kebingungan dan kekacauan.

Dalam hal hubungan ketiga guna ini berkaitan dengan terbentuknya dunia ini, dapat diamati bahwa hubungan ketiganya senantiasa dalam keadaan konflik dan juga saling bekerja sama. Mereka selalu bersama-sama dan tak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Sama halnya dengan seperti minyak, sumbu dan api yang secara relatif saling bertentangan, bekerjasama untuk menghasilkan cahaya lampu, demikianlah ketiga Guna itu bekerjasama untuk menghasilkan objek-objek dunia, walaupun masing-masing memiliki kualitas yang berbeda dan bertentangan. Jadi ketiga-tiga guna hadir di setiap objek dunia, besar atau kecil, halus atau kasar.

Tetapi masing-masing berusaha menekan atau mendominasi dua lainnya. Sifat objek ditentukan oleh guna yang berkuasa, sedangkan dua yang lainnya berada dalam kedudukan bawahan. Klasifikasi objek ke dalam kategori baik, buruk, dan netral atau murni, tidak murni dan netral, atau inteligen (cerdas), aktif, dan malas, mengacu pada kelebihan dari Sattwa, Rajas, dan Tamas masing-masingnya.

Sifat lain dari guna itu adalah bahwa ketiganya berubah secara konstan. Perubahan atau transformasi merupakan yang paling inti dari guna itu dan ketiganya tak dapat tidak berubah bahkan untuk sekejap saja pun. Ada dua macam transformasi yang dialami Guna. Selama waktu Pralaya atau pemusnahan dunia, ketiga Guna itu berubah, masing-masing dalam dirinya sendiri tanpa menggangu yang lainnya. Pada tahap ini guna itu tidak dapat menghasilkan apapun, karena mereka tidak saling bertentangan maupun bekerjasama satu dengan yang lainnya.

Tak satu pun objek di dunia ini timbul kecuali jika ketiga guna ini berkombinasi dan salah satunya mengungguli dua yang lainnya. Ini adalah keadaan seimbang (Samyavastha) bagi ketiga Guna yang oleh Samkhya dinamakan Prakrti. Jenis transfortasi lainnya terjadi apabila salah satu dari ketiga guna tersebut mendominasi dua lainnya dan menjadi bawahannya. Apabila ini terjadi maka akan diperoleh produksi objek-objek khusus. Transformasi demikian disebut Virupparinama atau perubahan menjadi heterogen, beragam yang merupakan titik awal evolusi dunia.

 

3.2.3. Tri Guna

Agama Hindu mengajarkan adanya Tri Guna yang terdiri atas Sattvam, Rajas, dan Tamas. Sattvam bersal dari kata “sat” yang berarti benar dan “tva” yang berarti mempunyai sifat. Jadi Sattva berarti sifat yang benar, yang dimaksudkandalam pernyataan ini adalah sifat ringan bagi benda, dan baik bagi makhlik hidup(manusia). Sattva adalah hakekat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat terang yang menerangi. Rajas merupakan aktivitas yang dinyatakan sebagai raga-dvesa yakni suka atau tidak suka, cinta atau benci, menarik atau memuakkan. Rajas adalah unsure yang menggerakkan guna sattva dan guna tamas. Tamas berasal dari kata “tam” yang berarti susah atau gelap. Dalam hal ini, tamas berarti sifat yang menyebabkan semua makhluk berdiam dalam kegelapan atau kemalasan.

 

3.2.4. Penciptaan alam semesta

Alam sebagai fenomena merupakan salah satu aspek bahasan darsana. Sebagai suatu untuk menunjukkan sistem filsafat India (Hindu), yang terbagi atas dua kelompok yaitu : Astika dan Nastika. Dalam mengungkap keberadaan alam semesta, sistem filsafat Samkhya memegang peranan penting di dalam kancah kefilsafatannya diantara sistem-sistem filsafat india (Hindu) lainnya. Secara metafisika, Prakrti hanya tergantung pada aktivitas dari unsur pokok gunanya sendiri. Ia terbentuk dari tiga Guna yang tidak pernah terpisah, saling menunjang satu sama lain, dan saling bercampur (heterogen).

Hanya dalam perubahan heterogen dan ketika Guna Rajas bergetar dan membuat Guna Sattwa dan Guna Tamas bergetar pula sehingga keseimbangannya terganggu, maka terjadi evolusi. Ketika prinsip Rajas aktivitasnya bergetar dan membuat Sattwa dan Tamas bergetar, maka proses penciptaan tidak dapat dihindari. Evolusi dimulai merupakan hasil dari suatu gerak atau perkembangan dari sesuatu, ajaran filsafat Samkhya mengatakan bahwa evolusi terjadi membantu tercapainya tujuan Purusa. Berkembangnya Prakrti tiada lain karena Purusa yang mempengaruhi tiga Guna itu, ibarat minyak, api dan sumbu, demikian hubungan tiga guna yang ada pada Prakrti. Ketiga guna yang membentuk Prakrti tak pernah terpisah, selalu menyatu, namun saling bertentangan satu sama lain. Mereka berada pada setiap benda, dalam komposisi dan intensitas yang berbeda. Hakekatnya menentukan kadar benda dan temperamen manusia.

Tiga Guna dalam keadaan seimbang dan terkendali maka belum terjadi penciptaan. Ini bukan berarti tidak ada aktivitas dari Tri Guna tersebut. Ada kecendrungan dari tiga Guna itu untuk saling mempengaruhi, bertahan dan saling menggangu. Artinya dalam beraktifitas, akan dapat menyebabkan suatu keadaan tegang dan terguncang, masing-masing guna berupaya untuk mengatasi kekuatan guna yang lainnya. Ketika terjadi penyatuan ketiga guna dapat berhubungan dengan Purusa, maka terjadilah secara evolusi objek-objek yang lebih nyata.

Adanya saling mempengaruhi Guna-Guna terdapat dalam Prakrti, maka Prakrti mengalami perkembangan pula. Pengembangan itu akan lebih nyata menjadikan adanya evolusi alam semesta apabila Prakrti saling berhubungan dengan Purusa. Evolusi tidak akan terjadi apabila hanya Purusa yang aktif. Tidak juga karena Prakrti, karena Prakrti tanpa kesadaran. Hubungan Prakrti dan Purusa yang mengandung Tri Guna yang saling berinteraksi satu sama lain menyebabkan berkembangnya unsur penyusun tubuh manusia maupun alam semesta beserta isinya terjadi, yang keseluruhannya terdiri dari 25 prinsip atau Tattwa atau asas. Mereka memperlihatkan kerjasama untuk mencapai tujuannya, yakni terciptanya alam semesta ini.

Ketika ketidakseimbangan dari ke tiga Guna tersebut, yang ada dalam Prakrti sebagai akibat pengaruh Purusa, maka memunculkan perwujudan atas evolusi. Dengan kata lain Prakrti berkembang karena pengaruh Purusa.

Mahat adalah sebagai yang paling awal muncul ketika adanya perhubungan yang harmonis antara Purusa dan Prakrti. Mahat yang menjadi benih alam semesta ini. Mahat dari segi psikologi disebut Buddhi, apabila dihubungkan dengan azas kosmis, maka Buddhi adalah azas kewajiban namun bukan merupakan roh yang memiliki kesadaran, ia yang halus dari segala proses kecakapan mental untuk lebih mempertimbangkan dan memutuskan segala sesuatu yang diajukan oleh indriya yang lebih rendah, namun Buddhi bukan juga roh atau Prakrti yang bersifat kebendaan. Sebagai asas kejiwaan atau psikologi, Buddhi memiliki sifat Jnana (pengetahuan), dharma (kebajikan, Wairagia/tidak bernafsu, dan Aiswarya/ ketuhanan).

Setelah Mahat muncul Buddhi dan kemudian Ahamkara. Ahamkara yakni asas kepribadian atau yang menciptakan kepribadian, sifatnya keakuan (Abhimana) dan asas yang menimbulkan individu-individu. Fungsinya merasakan rasa aku (ego), maka dengan Ahamkara sang diri merasa dirinya mampu bergerak, berkeinginan dan merasa memiliki. Ketika sampai pada evolusi ahamkara inilah, kemudian Prakrti berkembangan menuju dua arah yakni :

  1. Perkembangan ke roh kejiwaan.
    Manas, sebagai asas kejiwaan yang pertama, manas merupakan pusat indrya lainnya ketika menikmati kenyataan di luar badan jasmani manusia. Ketika pengamatan terjadi, manas bertugas mengatur rangsangan-rangsangan indrya, sehingga menjadi petunjuk yang diteruskan kepada Ahamkara dan Buddhi. Tugas lainnya adalah meneruskan kehendak kepada peralatan indrya yang lebih rendah. Ahamkara mampu memberi perintah kepada organ-organ kegiatan (Karma Indrya) yang ada pada badan manusia, karena sifatnya lebih menonjol. Kemudian muncul Panca Buddhindrya/Panca Jnanendrya (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba). Dilanjutkan dengan lahinya Panca Kamendrya, yakni indrya untuk berbuat seperti daya bicara, memegang, berjalan, daya untuk membuang kotoran, dan daya untuk membuang sperma. Kesepuluh indrya inilah yang tidak dapat dilihat, namun tetap ada pada tubuh manusia. Melalui indrya-indrya pada tubuh manusia dapat mengamati objek-objek yang ada di luar dirinya. 
  2. Perkembangan ke arah keberadaan/ jasmani.

    Dalam perkembangan ini melahirkan asas dunia/alam yang ada di luar diri manusia. Azas ini adalah Panca Tan Matra (lima unsur halus) yaitu sari benih, rasa, suara, sentuhan warna, dan bau. Sifatnya sangat halus sangat sulit diamati dengan mata biasa. Evolusi berikutnya adalah lahirnya unsur-unsur kasar yakni Panca Maha Bhuta, yang menjadikan alam semesta beserta segala isinya. Penggabungan antara unsur-unsur yang halus inilah menimbulkan adanya unsur-unsur Panca Maha Bhuta, proses pengembangan setelah penggabungan itu adalah sebagai berikut:

    • Unsur suara menimbulkan Akasa (ether).

    • Unsur suara + raba menimbulkan Vayu (udara)

    • Unsur suara + raba + warna melahirkan Agni (panas).

    • Unsur suara + raba + warna + rasa melahirkan Apah (air)

    • Unsur suara + raba + warna + rasa + bau melahirkan Prthivi (tanah).

Dari semua anasir kasar dan berkembanglah alam semesta beserta segala isisnya. Hanya saja perkembangan itu tidak menimbulkan asas-asas baru lagi seperti perkembangan Mahat, Ahamkara, dan Manas. Tahap berikutnya tidak sampai disitu saja. Yang telah tercipta memerlukan penggerak atau asas, yakni roh yang menjadi saksi dan menikmati alam ini. Evolusi Prakrti menjadi alam semesta memungkinkan roh menikmati kebahagiaan dan penderitaan sesuai dengan baik buruk penderitaannya.

Terjadilah kehidupan atau kejadian ini yang juga disebut Bhawa (ada) merupakan suatu kejadian sebagia akibat dari terjadinya hubungan antara dua hakekat (Purusa dan Prakrti). Ajaran ini pada mulanya dijumpai didalam kitab Reg Veda pada bagian Purusasukta dan Nasadiasukta. Kemudian ajaran ini ditafsirkan dalam ajaran filsafat Samkhya oleh Rsi Kapila (Pudja, 1985:181). Dalam Paninisutra I.4.30. mengatakan bahwa Prakrti adalah sebagai aspek alam yang merupakan unsur dari mana segala sesuatu ciptaan ini dijadikan alam semesta ini atau untuk menciptakan manusia.

Proses terjadinya alam semesta ini merupakan Parmana (proses evolusi) yang berkembang menjadi suatu kenyataan yang ada, suatu perubahan besar dari tidak ada (Asa) menjadi yang ada (Sat), atau perubahan dari wujud yang satu kedalam wujud yang baru atau dari Abhawa menjadi Bhawa. Perkembangan Prakrti menjadi alam semesta merupakan perkembangan yang terakhir. Dalam kondisi ini terjadi berbagai perubahan yang senantiasa terjadi saling bergantian di dalam batas-batas tertentu. Misalnya sebatang pohon yang tumbuh lalu mati dan dikembalikan kepada anasir unsur-unsur yang membentuknya (Panca Maha Bhuta).

Namun perkembangan yang pertama dari Mahat (unsur intelek/kemauan) sampai dengan unsur/benih kasar tetap ada disepanjang perputan masa, dan hanya akan dipisahkan pada akhir perputaran masa (Kalpa). Ketika terjadi peleburan alam semesta, hasil–hasil perkembangan Prakrti pada masa perkembangan pertamayang mendahuluinya akan kembali dengan pergerakan yang berlawanan, dan akhirnya masuk ke Prakrti.

 

3.2.5. Etika Samkhya

Dalam konsep samkhya, manusia yang lahir di dunia, terikat oleh penderitaan (dukha) yang berjumlah tiga, yaitu : 1). Adhyatmika : penderitaan yang disebabkan oleh penyebab psiko-fisika intra organik yang mencakup semua penderitaan fisik dan mental, 2). Adhidaiwika : penderitaan yang disebabkan oleh penyebab super natural, 3). Adhibhautika : penderitaan yang disebabkan penyebab alam ekstra organik seperti manusia atau binatang.

Oleh karenanyalah tujuan hidup manusia adalah terlepas dari penderitaan tersebut, sehingga mencapai moksa yaitu penghentian total dari semua jenis penderitaan. Jiwa yang bersifat abadi seolah-olah mengalami penderitaan karena pengaruh awidya (kegelapan), jadi belenggu dianggap fiksi belaka karena ego (ahamkara) yang menjadi milik dari prakrti. Maka dari pembedaan dari jiwa dan bukan jiwalah yang seharusnya dipahami, dengan pemahaman ini maka diharapkan jiva berhenti terpengaruh oleh suka dan duka.

Pembebasan dapat diraih ketika manusia masih hidup (jivanmukti) atau setelah meninggal (vedeha mukti). Pembebasan tidak saja dapat dicapai oleh pemahaman atau pembedaan antara jiwa dan bukan jiwa, namun perlu pula menggunakan metode spiritual, inilah salah satu yang nantinya ditambahkan oleh filsafat Yoga. Dari semua ini pada hakikatnya Samkhya memiliih jalan wiweka atau kebijaksanaan mendalam untuk melepaskan purusa dari jebakan prakerti.

 

3.3. Tujuan Akhir Ajaran Samkhya

Tujuan akhir dari Ajaran Samkhya adalah kelepasan. Kelepasan dapat dicapai oleh seseorang bila orang tersebut menyadari bahwa purusa tidak sama dengan alam pikiran, perasaan, dan badan jasmani. Bila seseoarng belum menyadari hal itu, maka ia tidak akan dapat mencapai kelepasan, akibatnya ia mengalami kelahiran yang berulang-ulang. Jalan untuk mencapai kelaepasan adalah melalui pengetahuan yang benar, latihan kerohanian yang terus menerus, merealisasikan perbedaan purusa dan prakerti serta cinta kasih terhadap semua makhluk. Dengan demikian samkhya menekankan pada jalan jnana dalam wujud wiweka dan kebijaksanaan untuk melepaskan purusa dari jebakan prakerti.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga