- 1Weda - Kitab Suci Agama Hindu
- 1.1Bahasa Veda (Weda)
- 1.2Isi Weda
- 2Jaman / Sejarah Turunnya Veda (Weda)
- 2.1Penduduk India pada zaman Kuno
- 2.2Berbagai Peninggalan India dari Zaman Kuno
- 2.3Waktu Turunnya Wahyu Weda
- 2.3.11. Ric (Reg / Rg) Veda
- 2.3.22. Sama Veda
- 2.3.33. Yajur Veda
- 2.3.44. Atharwa Veda
- 2.4Keagamaan Pada Zaman Turunnya Veda
- 2.1Jaman Kaum Brahmana
- 2.1Pendidikan dan Kebudayaan di Jaman Weda
- 3Zaman Aranyaka Dan Zaman Upanisad
- 3.11. Dharma
- 3.22. Artha
- 3.33.Kama
- 3.44. Moksha
- 3.5Ajaran dan Pandangan Tentang Atman - Brahman
- 3.5.11. Pandangan Secara Vedanta
- 3.5.22. Pandangan Secara Visista-Dwaita
- 3.5.33. Pandangan Secara Yoga
- 3.5.44. Pandangan Secara Samkya
- 4Kebudayaan Zaman Hinduisme
- 5Bagian–Bagian Kitab Suci Veda (Weda)
- 5.11. SRUTI
- 5.1.11.1. Rg. Weda Samhita
- 5.1.21.2. Sama Weda Samhita
- 5.1.31.3. Yajur Weda Samhita
- 5.1.3.1Sukla Yajur Veda (Putih)
- 5.1.3.2Kresna Yajur Veda (Hitam)
- 5.1.41.4. Atharwa Weda Samhita
- 5.12. SMRTI
- 5.1.12.1. Wedangga
- 5.1.1.12.1.1. Siksa (Phonetika)
- 5.1.1.22.1.2. Wyakarana (Tata Bahasa)
- 5.1.1.32.2.3. Chanda (Lagu)
- 5.1.1.42.2.4. Nirukta
- 5.1.1.52.2.4. Jyotisa (Astronomi)
- 5.1.1.62.2.5. Kalpa
- 5.1.12.2. Upaweda
- 5.1.1.12.2.1. Itihasa
- 5.1.1.22.2.2. Purana
- 5.1.1.32.2.3. Arthasastra
- 5.1.1.42.2.4. Ayur Weda
- 5.1.1.52.2.5. Gandharwa Weda
- 5.1.1.62.2.6. Kama Sastra
- 5.1.1.72.2.7. Kitab Agama
- 6Fitur dan Rincian Singkat Catur Veda (Weda)
- 6.1.1Fitur Rig veda
- 6.1.2Fitur Sama veda
- 6.1.3Fitur Yajur veda
- 6.1.4Fitur Atharva veda
- 7Sapta Maha Rsi Penerima Wahyu Weda
- 7.11. GRTSAMADA
- 7.22. WISWAMITRA
- 7.33. WAMADEWA
- 7.44. ATRI
- 7.55. BHARADWAJA
- 7.66. WASISTA
- 7.77. KANWA
- 8Weda Sebagai Sumber Hukum Hindu
- 8.1Manawa Dharmasastra
- 8.2Sejarah Perkembangan Hukum Hindu
- 8.1Hubungan Catur weda dengan Hukum Hindu
- 9Enam Filsafat Hindu (Sad Darśana)
- 9.11. Nyaya Darsana
- 9.1.11.1. Pokok-pokok Ajaran Nyaya
- 9.1.21.2. Epistemologi Nyaya
- 9.1.31.3. Catur pramana
- 9.1.3.11.3.1. Pratyakasa Pramana
- 9.1.3.21.3.2. Anumana Pramana
- 9.1.3.31.3.3. Upamana Pramana
- 9.1.3.41.3.4. Sabdha Pramana
- 9.12. Waisesika Darsana
- 9.1.12.1. Pokok ajaran Waisasika
- 9.1.22.2. Padartha
- 9.1.2.12.2.1. Drawya (Substansi)
- 9.1.2.22.2.2. Guna (Kualitas)
- 9.1.2.32.2.3. Karma (TinDakan)
- 9.1.2.42.2.4. Samanya (Sifat umum)
- 9.1.2.52.2.5. Wisesa (Keistimewaan)
- 9.1.2.62.2.6 Samawaya (Pelekatan)
- 9.1.2.72.2.7. Abhawa (Ketidakadaan)
- 9.1.32.3. Cara Mendapatkan Pengetahuan Menurut Waisasika
- 9.1.42.4. Terjadinya Alam Semesta menurut Waisasika
- 9.1.52.5. Etika dalam Waisasika
- 9.13. Samkhya Darsana
- 9.1.13.1. Pemahaman Samkhya
- 9.1.23.2. Pokok Ajaran Samkhya
- 9.1.2.13.2.1. Purusa
- 9.1.2.23.2.2. Prakerti
- 9.1.2.33.2.3. Tri Guna
- 9.1.2.43.2.4. Penciptaan alam semesta
- 9.1.2.53.2.5. Etika Samkhya
- 9.1.33.3. Tujuan Akhir Ajaran Samkhya
- 9.14. Yoga Darsana
- 9.1.14.1. Pandangan Yoga Darsana
- 9.1.1.14.1.1. Tentang Brahman
- 9.1.1.24.1.2. Tentang Atman
- 9.1.1.34.1.3. Maya
- 9.1.1.44.1.4. Moksa
- 9.1.24.2. Pokok Ajaran Yoga Darsana
- 9.1.34.3. Epistimologi Yoga Darsana
- 9.15. Mimamsa Darsana
- 9.1.15.1. Pandangan Purva Mimamsa
- 9.1.1.15.1.1. Tentang Brahman
- 9.1.1.25.1.2. Tentang Atman
- 9.1.1.35.1.3. Maya
- 9.1.1.45.1.4. Moksa
- 9.1.25.2. Pokok Ajaran Mimamsa Darsana
- 9.1.35.3. Metafisika Mimamsa Darsana
- 9.1.45.4. Epistimologi Purva Mimamsa
- 9.1.4.15.4.1. Pratyaksa
- 9.1.4.25.4.2. Anumana
- 9.1.4.35.4.3. Sabda
- 9.1.4.45.4.4. Upamana
- 9.1.4.55.4.5. Arthapatti
- 9.1.4.65.4.6. Anupalabdi
- 9.1.55.5. Aksiologi Purva Mimamsa
- 9.1.5.15.5.1. Kedudukan Weda di dalam Agama
- 9.1.5.25.5.2. Kewajiban yang Mendasar
- 9.1.5.35.5.3. Kebaikan yang Tertinggi
- 9.16. Wedanta Darsana
- 9.1.16.1. Pokok Wedanta - Brahma Sutra
- 10Tentang Upanishad
- 10.1.1Apa itu Upanishad ?
- 10.1.1.1Apa itu pengetahuan
- 10.1.1.2Kesalahpahaman Tentang Upanishad
- 10.1.2Tema Sentral dari Upanishad
- 10.1.1Apakah Upanishad Lebih Baik Dari Psikologi Modern ?
- 11Konsep Keberadaan Diri (Atman) Dalam Agama Hindu
- 11.11. Mengetahui Diri sejati
- 11.22. Apakah Jiwa, Atman dan Diri Sama ?
- 11.2.12.1. Jiwa dan diri sendiri
- 11.2.22.2. Diri Individu dan Diri tertinggi
- 11.2.32.3. Berbagai jenis diri
- 11.13. Kesadaran Murni
- 11.24. Spiritualitas dan Transformasi Diri
- 11.15. Mengapa Brahman tidak disembah Langsung Melalui Ritual Hindu
- 11.1.15.1. Alasan Brahman tidak disembah secara ritual
- 11.1.25.3. Pemujaan Dewa - Dewi dalam Weda
- 11.1.2.15.3.1. Dewa dalam makrokosmos dan mikrokosmos
- 11.1.2.25.3.2. Mengapa para dewa disembah
- 11.1.2.35.3.3. Jumlah dewa-Dewi Hindu
- 12Konsep Pembebasan (Moksha atau Nirvana) Dalam Hindu
- 12.1.1Pembebasan fisik
- 12.1.2Pembebasan mental
- 12.1.3Pembebasan rohani
- 13Keanekaragaman dan Pluralitas Agama Hindu
- 13.11. Pluralitas Hinduisme
- 13.1.11.1. Satu Tuhan dan Tidak Ada Tuhan
- 13.1.21.2. Satu Tuhan dan banyak dewa
- 13.1.31.3. ritual, seremonial dan praktik spiritual
- 13.1.41.4. Penyembahan Melalui Wujud dan Tanpa Wujud
- 13.1.51.5. Banyak jalan Menuju pembebasan
- 13.1.61.6. Iswara dan Shakti
- 13.1.71.7. Purusha dan Prakriti
- 13.1.81.8. Dualisme dan Non-dualisme
- 13.22. kontradiksi dalam Hinduisme
- 14Catur Ashrama - Empat Tahapan untuk Pembebasan
- 14.1empat Tahap dalam Hidup
- 14.1.11. Brahmacarya
- 14.1.22. Grihasta Ashrama
- 14.1.33. Vanaprastha Ashrama
- 14.1.44. Sanyasa Ashrama
- 15Konsep Karma dan Kewajiban dalam Hindu
- 15.11. Jenis-jenis karma
- 15.22. Sebab dan akibat - Nasib dan karma
- 15.33. Solusi Pembebasan Untuk Masalah Karma
- 15.3.13.1. Jnana yoga
- 15.3.23.2. Karma yoga
- 15.3.33.3. Raja Yoga
- 15.3.43.4. Bhakti yoga
- 15.44. kesalahpahaman tentang karma
- 15.4.4.14.1. Karma bukanlah takdir
- 15.4.4.24.2. Dewa dan Karma
- 15.4.4.34.3. Karma bukan hanya tindakan fisik
- 15.4.4.44.4. Karma bukan tentang berbuat baik atau buruk
- 15.4.4.54.5. Karma tidak tercatat di surga atau neraka
- 16Ilmu Politik Agama Hindu dalam Veda (Weda)
- 16.11. Canakya dan Arthasastra
- 16.22. Ajaran Politik Negara dalam Arthasastra
- 16.2.12.1. Teori Saptanga
- 16.2.22.2. Teori Mandala
- 16.2.32.3. Teori Sadgunya - Enam Kebijakan Luar Negeri
- 16.13. Asta Brata - Wujud Ideal Praktik Teologi Politik
- 17Pengukuran dalam Matematika Weda
- 17.1Satuan Ukuran
- 17.1.3.1A. Satuan turunan
- 17.1.3.2B. Satuan waktu
- 17.1.3.3C. Ukuran Panjang
- 17.1.3.4D. Ukuran Empat Persegi
- 17.1.3.5E. Ukuran Untuk Daya Muat/Isi
- 17.1.3.6F. Timbangan
- 17.1.3.7G. Ukuran Waktu
- 17.1Yuga dan Siklus Tahun Kosmik
- 17.1.3.1A. Chatur yuga
- 17.1.3.2B. Alam Semesta dan Seterusnya
- 18Link Referensi Tentang Weda
Zaman Aranyaka Dan Zaman Upanisad
Telah diketahui bahwa dizaman Veda, pelaksanaan keagamaan terutana dalam upacaraupacara, kesemuanya dilaksanakan dengan hanya membaca mantra-mantra belaka sekalipun dalam kebanyakan dari pengikut Agama itu tidaklah mengerti tentang apa arti dan maksud mantra yang dibacanya itu. Mereka hanya hafal tanpa mengerti artinya.
Kemudian di zaman penguasaan oleh para Brahmana, mantra-mantra itu diusahakan dapat dimengerti tentang artinya. Dan disamping itu pada zaman ini timbullah bentukan baru bahwa segala upacara itu harus disertai dengan sesajian. Lebih lanjut lagi bahwa disaat zaman Brahmana ini, orang diwajibkan untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai Catur Asrama. Dalam catur asrama tsb ada suatu kewajiban tentang: Brahmacari dan Wanaprastha.
Dalam kesempatan itu, apa yang dikatakan sebagai kewajiban, terutama masuk hutan sangatlah dimanfaatkan sekali, terutama untuk mendalami maksud dari ”hakekat hidup” merenung sendiri mencari sumber asal dari segala kegaiban yang nyata didunia itu. Disamping itu dilain fihak juga manfaatkan suatu kewajiban untuk beramai-ramai melaksanakan Brahmacari mencari seorang Guru yang sesuai dengan yang diingininya. Guru yang ditemukannya akan bertugas memberikan segala pelajaran yang diingininya oleh seorang murid (siçya = siswa). Memberikan pelajaran atau memberikan pendidikan kepada se orang/lebih siswa termasuk suatu pekerjaan yang memberikan nasehat-nasehat.
Oleh sebab itu maka timbullah pembabakan zaman baru. Masuk hutan menjadi kebiasaan orang banyak. Pergi mencari Guru untuk mendapatkan nasehat juga telah menjadi suatu kebiasaan. Hutan artinya adalah ”aranya“ dan nasehat-nasehat yang diterima dengan duduk menghadap di dekat seorang guru disebut ”upani”. Maka zaman baru yang timbul dan ditimbulkan akibat kebiasaan itu disebut juga sobagai Zaman Aranyaka dan Upanisad.
Dalam zaman ini,pelaksenaan keagamaan tidak lagi dipusatkan atau difocuskan terhadap hafalan mengucapkan mantra-mantra seperti zaman turunnya wahyu Veda atau tidak lagi difocuskan terhadap upacara-upacara atau yajna-yajna dengan banyak sesajian seperti pada zaman penguasaan oleh Brahmana, melainkan bahwa pada zaman ini segala aktivitas keagamaan dititik beratkan kepada Perenungan Bathin Manusia. Dengan demikian apa yang
dikatakan sebagai Agama (Agama Veda = Agama Hindu) pada zaman ini benar-benar telah lengkap dan sempurna dalam arti bahwa Agama Hindu itu sudah benar-benar telah mempersoalkan masalah Lahir dan Bathin. Pada kedua zaman yang terdahulu, agama hanya mempersoalkan masalah yang bersifat lahiriyah belaka. Dan pada zaman yang ini, (Aranyaka dan Upanisad) telah mampu mempersoalkan masalah yang menyangkut bathiniyah. Oleh sebab itu pada zaman ini pula telah lahir konsep-konsep baru mengenai hidup dan penghidupan masyarakat beragama Hindu. Konsep baru itu adalah suatu pedoman hidup yang harus ditaati dan dilaksanakan bagi setiap umat Hindu dimanapun mereka berada.
Konsep itu jumlahnya ada empat hal yang disebut : Catur Warga. Isi daripada Catur Warga itu ialah :
1. Dharma
Dharma itu artinya adalah Agama dan Kebenaran. Ini diartikan dan dimaksudkan bahwa manusia hidup itu supaya selalu berpegang teguh meyakini kebenaran agama dan selalu siap menjalankan kebenaran dalam segala hal. Dharma itu supaya selalu menjadi hukum yang hidup sepanjang masa.
Dharma (agama dan kebenaran) itu jika dipatuhi secara disiplin yang hidup dikalangan masyarakat, maka masyarakat itu akan dapat hidup tenteram menemui kebahagiaan lahir dan bathin. Dharma itu supaya menjadikan dasar dari segala dasar tindakan dan perbuatan manusia. Manusia melakukan sembahyang semata-mata karena mengejar kebenaran dan manusia dalam mengusahakan mencari usaha makan maka hal itu semata karena kebenaran belaka. Begitulah Dharma harus menjadi dasar hidup manusia.
2. Artha
Artha dapat diartikan sebagai harta dan uang. Tetapi dalam hal ini apa yang dimaksudkan dengan artha adalah bahwa manusia hidup itu haruslah mempunyai suatu daya yang mewajibkan mereka untuk selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidup jasmani di muka bumi ini. Usaha apapun harus dapat menghasilkan sesuatu. Hasil itu harus dapat memberikan manfaat terhadap dirinya dan orang lain.
Dalam hal hasil usahanya dapat mencapai hasil yang melimpah ruah, maka sebagian dari sisa hasil itu dapatlah disimpan sebagai harta kekayaannya. Dan harta kekayaan itu jika sekiranya dijadikan atau ditukarkan dengan arta (= uang) maka uang itupun dapatlah disimpan sebagai harta kekayaannya juga. Lebih jauh ditegaskan bahwa dalam mengejar harta, orang tidak boleh meninggalkan dasar dharma itu. Hal ini dimaksudkan bahwa segala usaha itu hendaknya selalu diusahakan dengan cara yang baru dan ditujukan kepada hal-hal yang benar semata. Apabila dalam mengejar harta itu di dasari oleh hal-hal yang tidak benar (adharma) maka segala harta itu yang telah dihasilkannya menjadi harta yang tidak benar juga. Ini namanya dosa besar.
3.Kama
Kama artinya kenikmatan, kesenangan dan kepuasan. Dengan Kama dimaksudkan bahwa manusia hidup itu, disamping berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik bagi sehari-harinya atau untuk jangka waktu yang panjang, maka manusia itupun diwajibkan mencari kesenangan dan kepuasan. Kesenangan dan kepuasan itu untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan jasmaniah dan kehidupan bathiniah. Namun dalam hal mengejar Kama, janganlah sekali-kali melupakan Dharma. Kesenangan yang diusahakan tetapi menyimpang dari dharma, maka selalu akan berakhir dengan kesengsaraan saja.
4. Moksha
Moksha artinya kebebasan, baik kebebasan lahir maupun kebebasan bathin. Apabila kita selama hidup sudah berpegang teguh pada landasan Dharma maka mau tidak mau kita akan merasakan terbebas dari segala masalah yang selalu mengitari kehidupan kita. Hidup kita menjadi tentram terbebas dari segala bencana yang mungkin akan mengancam kita. Kalau kita sudah terbebas dari masalah dunia itu, maka akhirnya datanglah kepuasan batin itu. Bebas dari rasa takut, bebas dari ancaman apapun, dan puaslah bathin kita. Itulah moksha namanya.
Disamping hal-hal yang telah kita ketahui diatas, maka pada zaman ini pula telah timbul pandangan hidup baru bagi manusia. Pandangan ini menyangkut soal batinniyah kita masingmasing. Ini dihasilkan dari adanya kewajiban brahmacari itu, sehingga banyak orang berduyun-duyun mencari guru. Sang Guru dalam memberikan wejangan dan segala ajarannya telah mengemukakan 5 masalah pokok yang disebut : Panca Tattwa (Panca = lima ; tattwa keyakinan). Jadi Panca tattwa itu ialah: 5 keyakinan yang harus dihayati dan diresapi oleh setiap umat Hindu.
Panca Tattwa itu timbul dari suatu sikap pandangan, sebagai berikut:
”Bahwa isi dari alam semesta ini terdiri dari benda-benda hidup dan mati. Benda hidup itu jenisnya berupa mahluk-mahluk seperti manusia, binatang, tumbuhtumbuhan dan mahluk halus lainnya. Adapun benda yang mati ialah batu, bintang, bumi dan sejenisnya. Semua benda yang hidup akan mati. Dan yang mati akan hancur.
Jadi benda-benda tadi sifatnya hanya sementara saja. Dengan begitu benda tersebut dikenai hukum tertentu tentang keadaan, tempat dan waktu. Kalau hukum tersebut sudah berlalu atasnya maka benda-benda tersebut akan hancur dan lenyap kembali seperti sediakala yang asalnya tidak ada lalu ada dan ahkirnya kembali tidak ada lagi. Kalau semua menjadi tidak ada maka yang tinggal ada yaitu hakekat yang selalu dicarinya. Hakekat dicari itu adalah Brahman adanya. (Brahman = Tuhan).
Selanjutnya dipertanyakan apakah hubungannya antara yang ada itu (Brahman) dengan yang ada tetapi sementara itu.
Dan siapa yang menjadi penghubungnya?
Penghubung itu adalah Atman (roh suci). Sedangkan yang menjadikan sebab sampai terjadinya hubungan itu tidak ada lain hanyalah Brahman. Jadi dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa atman itu ibarat percikan api dari api yang menyala yaitu Brahman.
Atman yang telah lekat menjadi satu di dalam suatu wadah apakah berupa daging atau kayu dsbnya, dapatlah disebut sebagai : jivatman. Jivatman inilah yang disebut juga dengan hidup. Jadi hidup itu adalah jivatman. Jivatman yang bersatu secara terus-menerus dengan jasmani akan dapat menimbulkan penderitaan. Penderitaan itu adalah samsara (sengsara). Sebab-musabab mengapa jivatman itu secara terus-menerus terikat dengan jasmani, hal ini dikarenakan oleh adanya perbuatan-perbuatan atau tindakantindakan manusia/binatang/tumbuhan itu. Perbuatan itu disebut ”Karma”. Perbuatan yang jelek harus mendapatkan hukuman. Hukuman atas perbuatan itu baik yang jelek maupun yang baik disebut sebagai : ”Hukum Karma”. Karena hukum karma, jivatman menjadi menderita atau sengsara (samsara).
Adapun terhadap perbuatan yang baik, maka jivatman akan mendapatkan pahala atau anugrah (Anugraha). Anugrah itu dapat berwujud suatu kebebasan – ketentraman secara lahir dan bathin. Kebebasan itu disebutnya sebagai ”Moksha”.
Sedangkan untuk menghindarkan diri dari terkena hukum karma itu, maka manusia yang telah diberikan pikiran yang dapat mengambil pertimbangan mana yang baik dan mana yang jelek, maka Dharma-lah yang harus diutamakan. Semua tindak tanduk kita harus benar-benar mendasarkan diri terhadap Dharma itu.
Dari ajaran seperti tersebut diatas itu, maka didalamnya terkandung 5 masalah yang harus menjadi keyakinan bagi setiap orang pemeluk agama Veda (Hindu). Lima asalah tersebut adalah Panca Tattwa yaitu :
- Yakin bahwa seluruh alam semesta ini ada yang menciptakannya. Pencipta itu adalah Brahman. Brahman itu satu adanya dan tidak ada yang membandinginya.
- kin bahua apa yang hidup didalam tubuh semua makhluk itu adalah yang menyebabkan hidup. Dan itu adalah Atman. Atman yang sudah lekat menjadi satu dengan jasmani adalah jiwatman.
- Yakin bahwa apa yang diperbuat oleh jiwatman akan mendapatkan hukuman atau anugerah. Tindakan jiwatman yang jelek akan menerima hukuman perbuatan atau disebut sebagai Hukum Karma.
- Yakin bahwa hukum karma itu dapat menyebabkan suatu penderitaan yaitu sengsara atau samsara. Hal ini dapat dibuktikan dengan jiwatman itu menitis kembali kedunia dan dapat berbentuk seperti apa yang pernah diperbuatnya.
Yakin bahwa jivatman yang telah mendapatkan anugrah akan merupakan suatu kebebasan yang bersifat lahir dan bathin dan sering disebut sebagai Moksha.
Ajaran dan Pandangan Tentang Atman – Brahman
Dalan zaman ini, banyak sekali tumbuh Guru-guru yang mengajarkan keagamaan terutama keyakinan menurut pandangan sendiri-sendiri. Sehingga dengan demikian banyak timbul pandangan-pandangan baru tentang Atman dan Brahman. Pengetahuan tentang Atman itu disebut sebagai Atmawidya.
1. Pandangan Secara Vedanta
Pandangan Wedanta ini bertujuan ingin menyempurnakan pandangan yang termuat didalam Veda. Isinya membahas tentang Atman dan Brahman. Dijelaskan bahwa atman itu pada saatnya menjadi satu dengan Brahman. Terpisahnya atman ini dari Brahman, karena disebabkan atman terkena hukum karma. Sehingga dengan begitu atman harus secara terus- menerus terikat oleh penderitaan (samsara).
Kesengsaraan yang diderita oleh atman itu dapat dibuktikan secara nyata bahwa atman itu seringnya menitis kembali kepada manusia kepada binatang atau kepada tetumbuhan sekalipun. Oleh sebab itu satu usaha untuk dilakukan agar tidak terkena hukum karma itu, maka segala perbuatan dan tindakan kita haruslah selalu mengambil dasar berbuat sesuai dharma yang telah ditetapkannya. Perbuatan yang mendasarkan diri terhadap Dharma maka kita dapat segera bersatu kembali bersama dengan Brahman.
2. Pandangan Secara Visista-Dwaita
Pandangan Filsafat tentang Visista-Dwaita ini, diajarkan oleh Ramanuja sekitarr abad ke XII Masehi. Sebelum pandangan seperti disebutkan itu lahir, telah didahului adanya sikap pandangan dari Çankaraçarya yang terkenal dengan filsafat Adweta-Çankara. Menurut pandangan Adweta-çankara dikatakan bahwa Tuhan itu adanya hanya satu, dan lain-lainnya adalah impian belaka. Tidak ada jiwa lain kecuali Tuhan semata yang merupakan kebenaran mutlak. Dunia yang kita lihat ini bukanlah merupakan suatu kenyataan, tetapi berupa impianimpian. Seorang yang sedang bermimpi tidak dapat merasakan apa yang terjadi dalam impian itu. Tetapi setelah ia terjaga dari tidur barulah ia sadar bahwa apa yang dialami selama mimpi tadi adalah bukan suatu kenyataan yang benar.
Berbeda dengan pandangan Visista-Dwaita, maka Ramanuja mengatakan bahwa memang Tuhan itu adanya hanya Satu. Tetapi disamping yang satu itu, didunia ini terdapat juga Jiwa dan Alam yang disebutnya alam sama dengan Maya. Maya itu merupakan perintang utama bagi jiwa dalam tujuannya untuk mencapai Moksha. Perintang-perintang itu selalu mengikat erat-erat terhadap jiwa itu. Perbuatan yang tidak baik di alam maya adalah yag menjadi sebab pengikat erat jiwa itu sendiri. Adapun jalan atau cara untuk dapat memutuskan tali pengikat erat terhadap jiwa itu adalah : Kemurahan Tuhan Yang Maha Esa. Dan untuk mendapatkan kemurahan dari Tuhan Yang Maha Esa, harus dicapai dengan jalan berbakti dan mengabdi kepada-Nya. Pandangan dan Ramanuja itu, diikuti oleh Pendeta berikutnya ialah Ramananda dalam hal mengadakan pembaharuan agama Hindu.
Ramananda berpendapat bahwa untuk melaksanakan bakti dan mengabdi kepada Tuhan Yang Esa, haruslah dilaksanakan oleh semua orang tanpa pandang bulu. Dan dalam mengabdi kepada Tuhan itu, orang harus menjauhi dan tidak melaksanakan segala pandangan yang menyesatkan.
Dalam pengabdian yang benar, maka orang harus tidak membuat sesaji yang terlalu mahalmahal, sistem kasta atau warna harus ditentang dan tidak dipercaya lagi, sebab Tuhan tidak mengadakan perbedaan semacam itu. Ajaran Karma Marga harus banyak yang ditinggalkannya karena hal itu tidak sesuai lagi dengan hakekat dan pengabdian dan kebaktian. Semua orang tanpa dipandang dari statusnya harus dapat melakukan pengabdian dan kebaktian secara nyata dan benar.
Kemudian pendeta lain Vallabgacarya (1479 Masehi) juga mengajukan ajarannya yang di beri nama Sudha Adweta ( = Faham tiada rangkap secara murni). Semua pelaksanaan keagamaan ditandai dengan adanya tanpa pandang bulu oleh siapapun dan harus dapat dilakukan oleh siapapun. Karena Tuhan Yang Tunggal itu tidak membedakan siapa yang berbakti kepadanya.
3. Pandangan Secara Yoga
Keyakinan secara yoga (Yuj artinya menghubungkan /penyatuan) ini mengajarkan bahwa untuk mencapai suatu kebebasan haruslah selalu ingat dan makin dekat kepada Sang Brahman. Caranya ialah kita selalu secara terus menerus dan berurutan melakukan hubungan langsung dengan Brahman. Cara mengadakan hubungan langsung itu ialah antara lain:
- Kita harus hidup teratur artinya makan, tidur dengan melakukan gerakan-gerakan selalu diatur dengan suatu peraturan yang tertentu.
- Kita harus mengusahakan menjauhi segala perbuatan yang dapat mengakibatkan orang lain menjadi sedih duka dan gelisah.
- Kita harus mengusahakan dalam berbicara separlunya saja, yang pokok-pokok saja dan tidak boleh berbicara kotor atau yang tidak layak diucapkannya.
- Harus melakukan tapa brata secara teratur pula.
- Dapat melakukan semadi secara benar.
4. Pandangan Secara Samkya
Samkya mengajarkan bahwa dialam semesta ini yang ada dan terjadi dari unsur Prakrti dan Purusa belaka. Keduanya bersifat kekal dan abdi. Persatuan atau tercampurnya kedua unsur tersebut dapat menyebabkan adanya hidup. Sesuatu yang hidup, maka badan kasarnya itu adalah merupakan percikan dari unsur Prakrti, sedang badan halusnya adalah percikan dari unsur Purusa. Oleh karena awidya (tidak tahu) maka dapat menimbulkan persenyawaan yang berwujud manusia, binatang, tumbuhan yang dapat berbuat atau bergerak. Perbuatan yang adharma (tidak berdasarkan kebenaran) ialah dapat melanggengkan persenyawaan itu untuk selama-lamanya. Oleh karena itu maka segala karma perbuatan kita selalu dituntut agar selalu mendasarkan diri pada segala perbuatan yang dharma saja.
Dari berbagai pandangan dan keyakinan seperti tersebut diatas, maka masyarakat sangat haus ingin mendalami segala ajaran dan pandangan tsb.Untuk keperluan itu maka telah diusahakan mengumpulkan dan membukukan segala hasil pandangan yang telah diajarkan oleh para Guru, sebingga terciptalah Buku-buku yang berisi upanisad sebagai berikut :
- Rg.Veda adalah : Aitareya; Kausitaki; Nanda Bindu; Atmapraboda; Nirvana; Mudgala; Aksamalika; Tripura; Saubagya; Bahweca.
- Sama Veda adalah : Kena; Chandogya; Aruni; Maitrayani; Maitreya; Vajrasucika; Yogasudamani Vasudeva; Mahat; Samyasa; Awyakta; Kondika; Sawitri; Rudraksyajabala; Darsana dan Jabali.
- Yajur Veda Hitam : Kathawali; Taittiriyaka; Brahma; Kaiwalya; Swetasvatara; Garbha; Sukharahasya; Dhyanabindu; Yogattatwa; Skanda; Yogasikha; Aksi; Katha; Yogakundalini; Pranagnikotra; Kalisandarana; Narayana ; Amretabindu; Asartanada Kalgnirudra; Kausika; Sarvagara; Tejobindu; Brahmawidya; Daksinamurti; Sariroaka; Ekaksara; Awadhuta; Rudrahrdaya; Pancabrahma; Waraha; Saraswatirahasya.
- Yajur Veda Putih : Içawasya; Jabala; Paramahamsa; Mautrika; Trisikhibrahmana; Adwanyatarak Bhiksu; Adhyatma; Brhadaranyaka; Hemsa; Subata; Niralambha; Mandalabraha; Pingala; Turiyatika; Tarasara; Yajnawalkya; Muktika; Satyayani.
- Atharva Veda : Prasna; Mandukya; Atharwasiksha; Vresimhatapini; Sita Mahanarayana; Ramatapini; Paramahamsa; Pariwrajaka; Sunya Pasupata; Tripuratapini; Bhawana; Ganapati; Gopalatapini Hayagriwa; Garuda Upanisad; Manduka; Atharwasira; Brhajjabala; Narada; Sarabha; Remarahasya; Sandilya; Annapurna; Atma; Parabhalasma; Devi; Brahma; Mahawakya; Krshna; Dattatreya.
Gambaran masyarakat pada zaman ini sudah jelas bahwa mereka disibukkan oleh adanya upaya untuk mencari hidup yang hakiki atau hakekat kehidupan. Kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan dalam hal mencari dan merenungkan hakekat hidup itu sering dilakukan pada malam hari. Dan pada siang hari mereka sibuk untuk mengusahakan mencari kebutuhan hidup sehari-hari bagi keperluan jasmaninya.
Ajaran Aranyaka dan Upanisad menjadi meluas dan tersebar kemana-mana ke seluruh penjuru India dan bahkan sampai penjuru dunia lainnya. Akibat adanya ajaran itu, maka disana-sini muncullah berbagai faham. Faham baru tersebut seperti misalnya faham Buddha yang di kemudian waktu menjadikan dirinya sebagai Agama baru yaitu Agama Buddha. Kemunculan faham Buddha tersebut disebabkan adanya suatu pandangan yang mengatakan bahwa ketika zaman masih turunnya Veda, maka agama yang terjadi adalah Agama Veda. Dan dikala zamannya Brahmana, maka agama yang ada disebutnya sebagai Agama Brahmana. Begitu pula zaman Aranyaka dan Upanisad, maka agama itu semua disebut sebagai Agama Aranyaka dan Agama Upanisad.
Untuk menghindari segala tafsiran yang hanya mengikuti faham sendiri-sendiri itu, maka tumbuhlah suatu niatan untuk menamakan Agama yang dianutnya itu adalah Agama yang lahir semenjak Bangsa Arya menginjakkan kakinya di India. Mengingat awal mulanya bahwa bangsa Arya itu datang di India yang pertama telah berdiam didaerah Panjab (Punjab), sedangkan daerah Punjab itu berada ditengah 5 aliran sungai yang menjadi satu pada Sungai Sindhu, maka agama yang timbul berdasarkan wahyu yang diterima didaerah itu dinamakan sebagai Agama Hindu. Istilah Hindu itu diambilkan dari kata Sindhu yang artinya air. Hal ini disebabkan bahwa upacara dalam pelaksanaan keagamaan agama itu selalu disertai dengan percikan air. Oleh sebab itu Agama yang tumbuh dan berkembang didaerah aliran sungai yang menuju kearah satu sungai yaitu Sungai Sindhu sangatlah layak bila dinamakan sebagai Agama Hindu.
Diketahui bahwa sejak mula timbulnya agama ini, pelaksanaan keagamaan dsbnya selalu dilaksanakan dengan persembahan kepada suatu zat Maha Gaib dan abstrak sekali (tidak nyata). Tetapi dalam zaman ini yaitu Zaman Hindhuisme, para ahli agama terutama kaum Purohitanya ingin sekali mengalihkan persembahan kepada Yang Maha Gaib secara abstrak tersebut untuk diwujudkan seakan-akan bahwa Yang Maha Gaib itu adalah dapat dilihat dengan mata secara Nyata.
Namun usaha itu terbentur terhadap beberapa pendapat, antara lain : bahwa bentuk perwujudan Brahiman itu tidak dapat dilekati oleh adanya Atman sehingga dapat hidup sesungguhnya seperti bayangan yang direncanakan semula. Dan pandangan lain juga mengatakan bahwa perwujudan Brahman yang diharapkan itu adalah sekedar perantara bagi penyatuan pikiran untuk alat konsentrasi belaka.
Brahman bukan perwujudan dari benda itu, dan benda itu adalah sekadar alat konsentrasi segala pikiran, rasa dsbnya dari manusia dapat berhubungan dengan Brahman Yang Tunggal itu. Perwujudan Brahman yang dibuat oleh tangan manusia itu, bahannya berasal dari Batubatuan, kayu-kayuan dsbnya. Dan dapat juga dari logam lain misalnya seperti: perunggu, perak, emas dan lain-lain.
Perwujudan itu sering disebut sebagai : PATUNG. Patung Brahman itu dikatakan sangat unik sekali, karena bentuk dan wujudnya dapat menyerupai manusia yang sangat super sekali. Bentuknya seperti manusia tetapi manusia yang menpunyai gayagaya tertentu sehingga tampaknya sangat seram. Keseraman disebabkan karena adanya suatu Kekuasaan dan Kekuatan yang tidak dipunyai oleh manusia biasa. Dengan adanya akal nanusia atau gambaran/image dari manusia, bahwa Tuhan atau Brahman itu dapat diwujudkan, maka lebih lanjut manusia dapat pula membayangkan dan mempunyai kesimpulan bayangan bahwa pada inti-pokoknya Kekuasaan dan Kekuatan Brahman itu hanya ada tiga raja yang hakiki. Tiga kekuasaan itu ialah: Mencipta, Memelihara dan Membinasakan.
Kekuasaan Brahman yang mencipta disebut sebagai Brahma, kekuasaan Brahman sebagai pemelihara disebut Wishnu dan Kekuasaan Brahman yang membinasakan/memeralina disebut sebagai Çiwa. Ketiga kekuasaan itulah yang disebut sebagai Trimurti – Tiga Kesatuan Kekuatan menjadi Tunggal/Esa.
Maka oleh sebab itu, patung-patung (arca) yang dibuatpun adalah menggambarkan ciri-ciri tersendiri dari masing-masing Kekuatan dan kekuasaan itu. Patung Brahma berciri tersendiri, patung Wishnu juga berciri tersendiri dan patung Çiwa juga begitu. Inilah corak dan ciri dari faham dalam Zaman Hinduisme.
Akibat adanya tiga perwujudan tersebut diatas, maka didalam kalangan masyarakat pemeluknya, juga timbul perbedaan-perbedaan yang sangat dipengaruhi oleh adanya tiga perwujudan itu. Sebagian masyarakat dalam melaksanakan ritual keagamaannya ada yang memuja Brahma saja, ada yang memuja Wishnu saja dan adapula yang memuja Çiwa saja. Tetapi diantara yang tiga itu, Wishnu dan Çiwa banyak pemujanya jika dibandingkan dengan Brahma. Akhirnya timbul pula kelompok-kelompok pemuja Brahma, kelompok pemuja Wishnu, dan kelompok pemuja Çiwa.