Tattwa / Tutur Candrabherawa dengan Yudistira


Brahmāca vaca gaśati.

Kata Brahmā: “Salah pertanyaanmu Bhīma, disini terdapat catur wangśa. Manakah catur wangśa itu? Barangkali demikian pertanyaanmu. Adapun Sang Brāhmaṇa disini, adalah dia yang mengetahui ajaran Brāhmaṇa  tattwa, mengetahui tujuan pūja mantra, dan hakekat Sapta Ganggā dan Mudranya selengkapnya, luput dari keinginan pada wanita terlarang, luput dari perselisihan, tidak berbohong, tidak memfitnah, tidak cacat jasmani, tidak berjudi, hanya Dharmasāstra-lah yang dibicarakan tiap-tiap hari. Ia makan serba suci, tidak menyombongkan diri. Demikianlah kelahiran Brāhmaṇa.

Adapun Sang Kṣatriya disini, adalah dia yang mengetahui tentang tugas- tugas raja, dan asta aaiswarya, memanfaatkan caturdasa upayu ( empat belas siasat ) sayang kepada rakyat, paham akan hakekat catur wangśa, berusaha mensejahterakan masyarakat, mencermati pancadrěta, tetap memberikan sumbangan, tepat menjatuhkan hukuman, tidak tunduk pada yang bertentangan dengn dharma, setia pada tindakan dan kata-kata, tidak takut pada musuh yang sakti, tahu membimbing rakyat, menaruh kasih sayang pada mereka yang sengsara, tidak menyantap setiap makanan, tidak mau mengawini  wanita terlarang, menerapkan kandungan ini ajaran suci, mengajarkan dharma kebajikan kepada masyarakat, yang demikian itulah kelahiran Kṣatriya namnya.

Adapun yang berkepribadian Wésya lapangan kerjanya ialah bertanam di lahan kering dan sawah, tahu akan umur umbi-umbian dan buah-buahan, selalu mengusahakan kemakmuran negara, mengetahui tepat atau tidak tepatnya sumbangan, setia bhakti kepada sang dwijāti, ( manakah yang disebut dwijāti ? Sang Brahmana dan Sang Ksatriya ) cakap berbahasa Sor ( bahasa untuk sesama atau merendahkan diri) dan Singgih ( bahasa untuk orang yang dihormati),  paham

akan sifat dasar masyarakat, basah keringnya tanah, tahu akan umur tuanya padi, itulah dharmanya kelahiran Wesya.

Adapun tugas Śudra, patut akraya, wikraya, kraya wikraya ialah jual beli, berdagang berlayar dengan perahu, membuat makmurnya rakyat, mengusahakan upabhoga untuk rakyat, upabhoga adalah segala macam pakaian dan kain-kain, mendatangi negeri-negeri yang jauh, membawa jauh apa yang dekat, bakti kepada sang tri wangsa dapat menjadikan kaki tangan sang prabu. Demikianlah dharma kelahiran Śudra namanya.

Adapun kami Brahmā dan adikku Wiṣṇu, karena mengetahui akan hakekat Kṣatriya, Nawanatya, dan Taṇḍa Mantri, dan tahu melayani atasan, maka wangsa kami adalah Taṇḍa Mantri. Walaupun seseorang keturunan Brahmāṇa pada awalnya sakti pada zaman dahulu, tetapi pada zaman dahulu, tetapi tidak tahu akn hakekat seorang Brahmāṇa itu bukan Brahmāṇa. Demikian kata ajaran suci. Meskipun Kṣatriya besar, keturunan raja sakti pada zaman dahulu, bila ia tidak tahu hakekat seseorang Kṣatriya, ia itu bukan seorang Kṣatriya. Demikian menurut ajaran kitab suci. Demikianlah Sang Narārya Bhīma.

sparśakaḥ tanūjé dinaḥ, tévyah amaṃ pariyanti, kénaścit paṇḍitah śitaṃ, pratipah śruti caranti.

Sang wrěkodhara tercengang dalam hati, ditahan-tahannya hatinya, salah atau tepat kata-katanya banyak malang melintangnya Sang Bhimā tidak tahu mengucapkan kata-kata, dikungkung oleh pikirannya.

Katanya: “ wahai engkau Brahmā dan Wiṣṇu, antarkanlah aku dalam junjunganmu, pada Śri Natha Bérawa, karena sudah lama aku ingin mengenal junjunganmu, agar aku tahu akan swadharmanya”.

Demikian kata Sang wrěkodhara. Brahmā dan Wiṣṇu mengiyakan. Maka berjalanlah mereka bertiga. Disanalah Sang wrěkodhara memperhatikan setiap deretan rumah orang, tidak memperhatikan Sanggar Děngěn dan Sad Kahyangan. Sang Bhīma berkata: “ Wahai Brahmā dan Wiṣṇu, sambil berjalan apakah nama agama disini, di sebelah wilayah Bumi Déwāntara? Katakanlah padaku”

Wiṣṇu menjawab: “ Baiklah Bhīma. Adapun nama agama disini adalah Déwāntara, ialah Aji Pěgat ( pengetahuan suci pemutus ). Tidak lagi ada ajaran, tidak lagi ada sesaji di Parhyangan, maka itu tidak ada Sanggah Děngěn, pada semua rumah penduduk, atas perintah Śri Candrabherawa. Hanya dharma saja yang dipegang teguh dalam diri. Berhenti berguru, berhenti mempunyai Bhuta Kala, hanya manusia sakti saja yang ditrapkannya dalam diri oleh semua orang”. Demikian kata Wiṣṇu. Dibenarkan oleh Brahmā.

Udgataḥ Bhīma śaścaté, Patéyé végancédāni, Brāhmaśca kandamirājyé, Viśṇué Bhīma vivārjjitaḥ.

Tidak diceritakan perjalanan Sang Bhīma, sampailah ia pada sebuah pintu besar, masuklah Brahmā ke dalam keraton sedangkan Wiṣṇu dan sang Bhīma ditinggal berada di Wungutur. Kebetulan Śri Candrabherawa dihadap  oleh delapan pembesar Déwāntara.

Maka datanglah Brahmā, segera menyampaikan adanya utusan dari raja Hastina, Sang Prabhu berkata, disuruh agar segera masuk segeralah Brahmā, Sang Pembantu menyampaikan hal itu kepada sang Bhīma dan Wiṣṇu. Segeralah mereka masuk ke dalam keraton, menyembahlah Bhīma dan Wiṣṇu pada kaki Sang Candrabherawa, yang bergelar Bhaṭāra Guru.

Kata Śri Candrabherawa: “Wahai, cucuku engkau Bhīmaséna! Bahagialah engkau datang kesini. Duduklah engkau disampingku, pada kursi tempat dudukmu”.

Kata Sang Bhīma: “Daulat Śri Aji, ampunilah hamba oleh tuanku, baru sekarang pernah datang kesini”. Kata Sang prabhu: “Ya duduklah tuan Sang Bhīma”.

OṀ karaṃ pranukāré, Abhaḥ sthané patidvayam, Paścat catat déva patik, Tulyaḥ aṣṭa déva sthitaḥ.

Tidak diceritakan mereka itu, sama-sama duduk Śri Bhérawa, dengan Sang Bhīma dengan tata krama, diiringi oleh taṇḍa mantrinya, yang merupakan Aṣṭa Déwata ( Déwata yang delapan).

Kata Śri Candrabherawa: “ Hai kamu Taṇḍa Mantri semua , engkau Iśwara, Mahéśwara, Brahmā, Rudra, Mahādéwa, Sangkāra, Wiṣṇu, Sambhu dan Caturlokapāla, Panca Rṣi, jangan lupa akan pesanku kepadamu sekarang, sebab pertemuan Dwapara, umur dunia sekarang. Bila ada raja melaksanakan dharma, dikasihi oleh dunia, mengusahakan ajaran suci, paham akan asal-usul dharmaku, janganlah engkau kawatir, benar-benar satulah diriku dengan dia, janganlah engkau menentang, sembahlah kaki teratainya, apa yang dikatakannya supaya dituruti. Bila ada raja yang benar-benar demikian itu, akan menjadi tanggaku pulang kembali ke alam śūnia. Agar ada yang engkau jadikan jungjunganmu, ini anakku, wanita yang kecantikannya amat sempurna, yang bernama Dyah Ratna Śaśangka. Dialah yang kujadikan taruhan, mengabdi pada suksma (sari-sari) ajaran dharma. Berbaktilah engkau padanya, yang semuanya itu sebagi tuah raja perempuan. Demikianlah engkau semua, sebagai tanda setiamu padaku, kemudian pada kematianmu pada hari yang akan datang, harus setia sekata dengan aku lagi, menjadi teman akrabku di sorga kemudian hari. Ingatlah pesanku kepadamu sekalian.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga