Tattwa / Tutur Candrabherawa dengan Yudistira


Śūnyātma nirccani layé.

Terdiam Raja Candrabherawa, dipasanglah intisari kekuatannya serta memutar batinnya, hinngga menembus kekosongan sampai  ke  dasar bumi, tariklah itu Wisarja dan Nungśwarī, Sang Hyang, Sadyotkranti  sebagai wahananya beliau. Melesatlah Sang Hyang Ātma melalui  Nirātmaka, dan akhirnya tiba di alam Śiwa, lalu menghadap Bhaṭāra Guru.

Sabda Bhaṭāra Guru: “Datang engkau Candrabherawa, apa tujuanmu mati”. Menyembah Sang Candrabherawa, katanya; “Ampun Bhaṭāra junjungan hamba, sebabnya hamba mati, sebab hamba mengadu kekuatan batin dengan  Raja Hastina, janganlah diberitahukan tentang tempat persembunyian hamba-Mu. Hamba mohon diri menuju Śūnyaloka”. Bhaṭāra Guru tersenyum. Menyembahlah Sang Candrabherawa lalu hilang.

Udyaktaḥ dhyana dharmātma, Kṛyanté capariyanti,

Naśyanti paramātmanaṃ, Krīyanté dharmani vṛttiḥ.

Kemudian Raja Yudhīṣṭira bersemadi, untuk menangkap Ātma Raja Candrabherawa. Tetapi tidak ditemukannya oleh beliau di alam lingkar tiga, dikiranya sudah lepas olehnya, berkatalah beliau: “Adikku maharaja Kṛṣṇa, bagaimana menurut pendapatmu, terlanjur mati Sang Candrabherawa, Ātmanya telah menampakkan diri di alam kosong”.

Kata Raja Kṛṣṇa: “Ampun Maharaja, ini merupakan tanda-tanda kekekalan Raja Candrabherawa, mengadu kekuatan batin dengan tuanku Maharaja, karena itu malu dikalahkan oleh kewibawaan tuanku Maharaja, demikian tujuannya makanya ikhlas mati. Jika tuanku setuju, bakarlah mayatnya, hamba sangat tersinggung dengan peghinaannya”. Demikianlah kata Raja Kṛṣṇa.

Śrī dharma vaca jayatiḥ.

Kata Raja Yudhīṣṭira: “Wahai adikku Raja Kṛṣṇa, kalahkah Raja Candrabherawa    menurut    pandanganmu,    mengadu    kekuatan    batin dengan

kakakmu, kewajiban Kṣatriya dipegang teguh olehmu. Adapun dari dulu-dulu, tidak ada pernah terkalahkan sang Pendeta yang menguasai ilmu kesunyaan oleh sang Kṣatriya besar, sebab ada perbedaan kewibawaan sang Kṣatriya, yakni lupa dengan kebyudayan ( kesenangan di dunia ) selalu dikuasai oleh Rajah ( nafsu ) dan Tamah ( kegelapan ), menipis sifat Satwam ( kebajikan ) itu, selalu mengharapkan Sorga. Adapun seorang pendeta, besar, yaitu pikiran Samyajnana (ilmu pengetahuan yang benar) selalu dipegang teguh, beliau tidak mengharapkan Sorga ataupu Neraka. Segalanya diketahui melalui Sang Hyang Tiga Jñana. Beliau tidak lupa pada hakekat menjadi manusia, yang dipengaruhi oleh suka da duka. Adapun sekarang, pasti kalahlah kakakmu sekarang, dengan pengetahuan seorang yang bijaksana. Jika tidak ada hidup Raja Candrabherawa, mohon pamit kakakmu sekarang. Tetaplah kalian semua bekerja di sini, kami akan menyusul kematian Sang Candrabherawa’. Demikian kata Raja Yudhīṣṭira.

Vicintyavara dharméndraḥ, Kastaḥ pralīyaté nābhāṃ, Unaḥ śrī nīlakaṇṭasya, Prakamyat manca bhéravah.

Teringatlah beliau dengan nasehat Bhaṭāra Dharma dahulu, lalu beliau menuju ke alam kekosongan, untu menghadap pada duli Bhaṭāra Śiwa. Sabda Bhaṭāra Guru: “Mengapa engkau cucuku Raja Yudhīṣṭira, datang menghadapku”.

Menyembahlah Raja Yudhīṣṭira: “Daulat paduka Bhaṭāra Śiwa, tuluskanlah belas Ksihan Bhaṭāra, pastilah kalah hamba-mu cucu Bhaṭāra, mengadu pengetahuan dengan Raja Candrabherawa, terlambat oleh hamba-Mu, sekarang hamba meminta Ātmanya Raja Candrabherawa, untuk dimasukkan kembali ke jasadnya, kemanakah perginya sekarang”.

Tryambhakaṃ śrībhūḥ mévaca.

Sabda Bhaṭāra Guru: “Wahai cucuku Raja Yudhīṣṭira, janganlah engkau khawatir, sebagai yang engkau perkirakan, tidak benar engkau akan kalah mengadu kekuatan pikiran dengan Raja Candrabherawa, karena malunya Raja Candrabherawa, diketahui kekuatan batinnya. Adapun awalnya Sang Hyang Adi Buddha namanya, hanya ada Yoga Sanyaṣa, tidak ada Karma Sanyaṣa pada dirinya, hanya Niśréyaśa  yang diyakininya. Pastilah  kalah Raja Candrabherawa olehmu,  silahkan  berangkat  sekarang  dari  sini,  silahkan  engkau  mencari ke Antaśūnya”.

Menyembahlah Raja Yudhīṣṭira. Berangkatlah menuju ke Antaśūnya. Sebagai pahalanya ajaran Ṛg Wéda, dirafalnya dalam upacara Pitra Yadnya, sebab beliau benar-benar memahami Śiwagarba ning Ātma. Sang Hyang Samādhitraya sebagai penangkapnya. Adapun panah Candra sebagai pemanahnya, kenalah Raja Candrabherawa, di bagian bawah Aṣṭalingga, bagaikan orang yang bodoh tiada berdaya, dikelilingi oleh Dhyāni Buddha Karṣaṇa.




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

HALAMAN TERKAIT
Baca Juga